Masalah sekolah, saya bukan orang tua kolot. Saya tidak menganggap jika sekolah adalah satu-satunya media agar kelak anak sukses.
Saya lebih memilih untuk menggali lubang dalam, menanamkan pondasi pendidikan. Sebab satu hal yang hilang di masa ini adalah pondasi pendidikan.
Kebanyakan orang tua berlomba-lomba segera mengirim anak ke sekolah. Alasan mereka sepertinya masuk akal, demi masa depan anak.
Lalu, saya melihat fenomena yang luar biasa. Sekolah bermunculan dimana-mana, seperti jamur. Bahkan sekolah untuk bayi pun ada!
Tetapi, seiring jumlah sekolah yang bertambah banyak, saya juga menemukan degradasi kualitas karakter anak.
Realita itu mengingatkan saya pada mutiara-mutiara ilmu, yang ada di Perpustakaan Burung Mandi, Belitung Timur. Dari tempat itulah saya mengetahui beberapa hal tentang parenting.
***
Salomo (Amsal 1 : 7)
Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.
Pondasi pendidikan adalah mengenalkan anak, sekaligus membuat anak begitu gentar, pada sosok TUHAN.
TUHAN adalah hal yang abstrak. Anak tidak dapat melihat, meraba, ataupun merasakanNya, jika bukan orang tua yang mengenalkannya sejak dini.
Tanpa mengetahui tentang TUHAN, bagaimana seorang anak mampu mengerti segala pengetahuan di dunia ini? Akankah ilmu-ilmu yang dipelajarinya menjadi berkat untuk dirinya sendiri? Atau dapatkah ilmu-ilmu itu digunakan untuk perbuatan baik?
***
Hingga saat ini, putri kecil belum mengenal sekolah. Beberapa kali saya tawarkan untuk sekolah, namun dia menolak. Dia memilih untuk belajar di rumah.
Banyak orang yang kontra dengan keputusan saya. Mereka memperdebatkan tentang standarisasi pengetahuan dan ijasah. Kemudian tentang kemampuan bersosialisasi, seperti berkomunikasi dengan kawan-kawan.
Yang saya tahu dari Undang-Undang Pendidikan di Indonesia, sekolah formal bukan satu-satunya tempat menimba ilmu. Bahkan untuk mendapatkan ijasah tamat belajar pun, ada yang namanya Kejar Paket.
Tentang standar pengetahuan, Google dan sederet mesin pencarian lainnya adalah tambang ilmu pengetahuan. Asalkan ada kata kunci pencarian, mesin-mesin itu akan menyuguhkan data-data publik ataupun data-data berbayar yang disimpan di internet.
Kemudian, sebuah pondasi selesai ketika dasar bangunan mulai terlihat di atas tanah. Begitupun pondasi pendidikan, cukup hingga usia anak berkisar 11 tahun.Â
Sebelas tahun, saya yakin itu waktu yang cukup untuk memahat karakter anak. Sebab bagaimanapun, pembentukan karakter memerlukan pelatihan yang sungguh-sungguh.
Pada saatnya nanti putri kecil tetap perlu mengecap pendidikan formal. Lepas dari peran orang tua sebagai teladan dan pelatih.
Dan saya melihat, sekolah adalah wadah mengasah keterampilan hidup. Tempat dimana putri kecil dapat menerapkan semua pondasi ilmunya.
***
Kelak, saya akan dihadapkan pada pertanyaan:
Sekolah Swasta atau Sekolah Negeri?
Dengan latar belakang terdidik di sekolah swasta, saya cenderung memilih sekolah swasta untuk putri kecil.Â
Dengan pengalaman menjadi teacher's pet alias satu-satunya murid, putri kecil akan sulit menyesuaikan diri di suasana kelas yang terlalu ramai. Kemudian, putri kecil juga terbiasa dengan pola belajar yang disesuaikan dengan kekuatan tipe belajarnya (visual-audio-kinestetik).
Disamping itu, ada juga beberapa bahan pertimbangan lainnya, seperti:
Kelebihan sekolah swasta:
- Fasilitas memadai
- Guru profesional
- Cara belajar umumnya lebih menyenangkan dan beragam
- Jumlah murid dalam 1 kelas umumnya lebih sedikit
Kekurangan sekolah swasta:
- Biaya tinggi
- Pergaulan terbatas
- Agak sulit untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri
Kelebihan Sekolah Negeri:
- Biaya ringan
- Punya prestise
- Kurikulum berstandar nasional
- Pergaulan lebih luas
- Lebih mudah untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri
Kekurangan Sekolah Negeri:
- Fasilitas kurang mendukung
- Menggunakan sistem zonasi
- Sistem belajar yang sama rata
- Jumlah murid dalam 1 kelas tergolong banyak
Dari kelebihan dan kekurangan tersebut, yang lebih saya butuhkan dari sekolah adalah fungsinya sebagai media untuk mengasah keterampilan hidup anak. Sebab kelak, anak akan menghadapi kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat.
Sehingga, tujuan saya mengirim anak ke sekolah bukan untuk menitipkan anak, ataupun menempanya menjadi atlit olah raga otak. Tetapi mengobservasi perkembangan karakternya.
Bagaimana kelakuan anak ketika tidak ada orang tua. Apakah anak tetap menunjukkan gentar akan TUHAN. Bagaimana cara dia memecahkan masalah, dan bagaimana caranya menghadapi orang lain. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H