TUHAN adalah hal yang abstrak. Anak tidak dapat melihat, meraba, ataupun merasakanNya, jika bukan orang tua yang mengenalkannya sejak dini.
Tanpa mengetahui tentang TUHAN, bagaimana seorang anak mampu mengerti segala pengetahuan di dunia ini? Akankah ilmu-ilmu yang dipelajarinya menjadi berkat untuk dirinya sendiri? Atau dapatkah ilmu-ilmu itu digunakan untuk perbuatan baik?
***
Hingga saat ini, putri kecil belum mengenal sekolah. Beberapa kali saya tawarkan untuk sekolah, namun dia menolak. Dia memilih untuk belajar di rumah.
Banyak orang yang kontra dengan keputusan saya. Mereka memperdebatkan tentang standarisasi pengetahuan dan ijasah. Kemudian tentang kemampuan bersosialisasi, seperti berkomunikasi dengan kawan-kawan.
Yang saya tahu dari Undang-Undang Pendidikan di Indonesia, sekolah formal bukan satu-satunya tempat menimba ilmu. Bahkan untuk mendapatkan ijasah tamat belajar pun, ada yang namanya Kejar Paket.
Tentang standar pengetahuan, Google dan sederet mesin pencarian lainnya adalah tambang ilmu pengetahuan. Asalkan ada kata kunci pencarian, mesin-mesin itu akan menyuguhkan data-data publik ataupun data-data berbayar yang disimpan di internet.
Kemudian, sebuah pondasi selesai ketika dasar bangunan mulai terlihat di atas tanah. Begitupun pondasi pendidikan, cukup hingga usia anak berkisar 11 tahun.Â
Sebelas tahun, saya yakin itu waktu yang cukup untuk memahat karakter anak. Sebab bagaimanapun, pembentukan karakter memerlukan pelatihan yang sungguh-sungguh.
Pada saatnya nanti putri kecil tetap perlu mengecap pendidikan formal. Lepas dari peran orang tua sebagai teladan dan pelatih.
Dan saya melihat, sekolah adalah wadah mengasah keterampilan hidup. Tempat dimana putri kecil dapat menerapkan semua pondasi ilmunya.