Masing-masing orang pasti punya cerita menarik, dan inilah kisah saya menangani trauma keluarga.
Keluarga inti kami hanya terdiri dari 2 orang, saya dan putri kecil. Dan sebagai seorang single mom yang memiliki kepribadian INFJ sekaligus HSP, saya banyak menuntut kesempurnaan dari anak.
Masalah kami berdua mulai saya sadari sekitar tahun 2018, ketika putri kecil berumur 5 tahun. Saya melihat ada satu jurang pemisah, yang tidak mampu saya sebrangi, di antara kami berdua.
Saat itulah friksi besar mulai terjadi, dan kami berdua sama-sama hancur. Putri kecil mengalami trauma yang dalam. Saya pun koyak berkeping-keping.
Trauma Keluarga
Trauma adalah respon emosional seseorang terhadap kejadian yang amat menyakitkannya. Dimana trauma dapat menyebabkan gangguan mental bahkan penyakit fisik.
Orang dewasa yang mengalami intimidasi fisik, emosi, dan psikologi akan mengalami PTSD (Post-traumatic stress disorder). Yang akibatnya, timbul berbagai macam penyakit fisik untuk jangka panjang.
Ketika trauma menimpa seorang anak kecil, mereka tidak tahu bagaimana mengatasinya. Bahkan alaminya, anak itu tidak mengerti jika sedang mengalami PTSD.
Anggota keluarga yang mengalami trauma tidak mengerti hal yang normal, hal yang tidak normal, bahkan tidak mengerti bagaimana mengubah keadaan tersebut.
Sedangkan, anak kecil yang dibesarkan dengan trauma keluarga akan menganggap 'keanehan' orang tuanya adalah hal yang biasa.
Bahkan, ketika anak itu nanti dewasa, dia tidak mampu memahami perilaku yang tidak wajar atau tidak sehat. Yang artinya, penyimpangan perilaku berlangsung jangka panjang.
***
Saat saya mengetahui fakta itu, baik dari sisi rohani ataupun ilmiah, maka saya segera mengambil beberapa tindakan korektif dan penyembuhan untuk diri sendiri.Â
Berikutnya saya membantu anak, yang belum mengerti apapun, untuk berperang dengan PTSD.
Tips Menyembuhkan Trauma Keluarga
Berikut ini adalah tindakan penyembuhan dan pemutusan penyimpangan perilaku akibat trauma keluarga:
- Menyadarkan diri sendiri dan menggugah anak, bahwa apa yang telah terjadi adalah kejadian yang traumatis.
Meminta maaf dan mengakui kesalahan pada anak bukanlah hal yang memalukan. Seharusnya orang tua malu ketika mengabaikan atau menolak suatu trauma keluarga akibat tindakannya.
Ketika sumber masalah timbul oleh anak, orang tua hendaknya menjelaskan kesalahannya. Minta anak mempelajari dan memahami letak penyimpangannya, serta bagaimana seharusnya dia bertindak.
Baik orang tua maupun anak saling meminta maaf dan memberi maaf. Keduanya belajar menyadari dan menerima kejadian traumatis yang telah terjadi.
- Pacu diri sendiri untuk merawat diri dan dukung anak untuk melakukan penyembuhan mental.
Perawatan kejiwaan orang dewasa dapat dilakukan lewat cara spiritual, membuat diary, dan intropeksi diri. Yang kuncinya adalah mempertahankan konsistensi melakukan perubahan karakter.
Sedangkan pada anak kecil, penyembuhan mental dapat dilakukan dengan melakukan kegiatan yang disukai. Selain itu, meningkatkan spiritualitas anak, memperbanyak waktu bermain, mengurangi beban pelajaran yang kurang penting, menerima kasih sayang juga perhatian yang berlimpah, menerapkan disiplin, dan memberikan makanan sehat.
- Bertumbuh bersama.
Setelah insiden, orang tua dan anak ibarat berjalan di atas papan rapuh yang kapanpun akan patah. Orang tua, yang mengerti tentang psikologi anak, kiranya lebih percaya diri berjalan sambil membimbing.
Mempererat hubungan dengan anak jadi hal yang krusial. Kunci sukses tumbuh bersama ini adalah serius, percaya diri, dan pengendalian diri.
Sepanjang perjalanan bertumbuh, orang tua dan anak tetap berjalan di atas papan rapuh. Sehingga, orang tua butuh peka terhadap kebutuhan mental anak dan dirinya sendiri.
- Membangun rasa cinta pada diri sendiri.
Pada saat trauma, rasa cinta pada diri sendiri memudar. Sedangkan rasa sakit akibat insiden lebih besar.
Maka, orang dewasa ataupun anak-anak, yang mengalami trauma, cenderung merusak dirinya sendiri. Misalnya dengan obat-obatan, rokok, minuman beralkohol, seks bebas, ataupun makanan yang tidak sehat.
Rasa cinta pada diri sendiri dapat bertumbuh ketika kita mengganti kebiasaan tidak sehat dengan gaya hidup sehat. Juga mengalokasikan waktu untuk menenangkan dan menyenangkan diri sendiri.
- Lebih terbuka dan aktif berkomunikasi.
Cara komunikasi terbaik saat trauma adalah membiasakan anak dengan komunikasi yang terbuka. Juga menunjukkan rasa empati pada anak.
Dengan demikan, anak akan belajar untuk membuka diri sehingga dia dapat mengungkapkan emosi-emosinya. Dan merasa aman ketika dia mengutarakan isi hati atau perasaannya.
Sehingga di masa depan, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang terbuka. Ketika dia menyakiti orang lain, dia mampu menerima kenyataan itu saat ditegur. Bahkan memiliki empati terhadap orang yang disakiti dan mampu memperbaiki dirinya.
***
Sebagai orang tua, kita tidak lepas dari trauma. Mungkin masa lalu atau masa kecil kita masih menyisakan trauma. Belum lagi dengan trauma saat ini.
Semua trauma yang bertumpuk-tumpuk itu, pasti mempengaruhi kehidupan kita saat ini. Sehingga, kita punya potensi besar membuat trauma pada anak.
Trauma pada anak, atau penyimpangan perilaku, akan mempengaruhi masa depannya. Baik itu tingkah lakunya, pola pikir, gaya hidup, ataupun karakternya. (*)
Untuk memutus rantai trauma, orang tua perlu aktif menyembuhkan dirinya sendiri dan membantu anak untuk memahami traumanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H