Kerajaan Buton terletak di Sulawesi Tenggara, tepat di Kota Bau-Bau sekarang, Kerajaan Buton memiliki banyak peninggalan-peninggalan sejarah, seperti Masjid Kraton Buton, Benteng terluas di Dunia sampai sekarang bentuknya masih utuh, Batu Popaua, dan lain –lain. Peninggalan-peninggalan ini menjadi bukti bahwa Buton secara teritorial memiliki wilayah kekuasaan sebelum Nusantara menjadi Negara Indonesia.
Kerajaan Buton berdiri pada Abad 14 M, keberadaan Kerajaan Buton dalam lintas kerajaan-kerajaan di Nusantara, lebih awal tercantum dalam kitab Negara Karta Gama yang disusun oleh Empu Prapanca di Kerajaan Majapahit pada Tahun 1364. Kerajaan Buton berdiri pada tahun1332 M yang di pelopori oleh sepuluh orang pigur terkenal yang berasal dari kerajaan terkenal pada masanya. Yaitu:
- Kekaisaran China (Ratu Wakaaka).
- Kerajaan Majapahit (Si Panjonga, Si Jawangkati, Si Tamanojo dan Si Malui), Mia Patamiana.
Sebelum Kerajaan Buton menjadi Kesultanan, pada awalnya di pimpin oleh seorang Ratu yang bernama Ratu Wakaaka, selanjutnya di Pimpin oleh Ratu Bula Wambona sebagai Raja kedua, kemudian Raja Bancapatola, Raja Tuarade dan Raja Rajamulae, berturut-turut Kerajaan Buton di Pimpin oleh lima orang Raja sampai tahun 1451, di tahun inilah Kerajaan Buton berubah menjadi kesultanan Buton karena pengaruh ajaran Islam.
Yang menjadi Sultan pertama yaitu Sultan Murhum Kaimuddin, masa kepemimpinan beliau inilah Agama Islam dicetuskan sebaga Agama Resmi dan ajaran-ajarannya harus di anut oleh seluruh Rakyat Buton saat itu.
Sejak menjadi Kesultanan, Sultan-Sultan Buton bergelar Kaimuddin ini diberikan oleh Syarif Makkah yang berstatus sebagai Khalifatul Khamis yang di beri legitimasi oleh Sultan Turki selaku Khalifah Islam yang mewakili dunia.
Namun, Kekuasaan zaman Kesultanan Buton dihapuskan secara Teritorial (Bagian dari Wilayah Hukum Negara Indonesia) setelah meninggalnya Sultan Muhammad Falihi Kaimuddin pada tahun 1960. Disesbabkan, konon Kesultanan Buton secara defakto tidak pernah di Jajah oleh Belanda dengan itulah Kesultanan Buton di Hapus atas nama Republik Indonesia.
Dalam bidang politik, Kesultanan Buton menjalin hubungan dengan beberapa kerajaan, antara lain Kerajaan Majapahit, Bone, Ternate dan Tidore.
Kerajaan dan Kesultanan Buton telah mencapai 7 Abad hingga kini, Kesultanan Buton memiliki peninggalan monumen sejarah yang luar biasa, antara lain:
Benteng Pribumi yang terluas di Dunia ( Benteng Wolio ).
Benteng Wolio memiliki panjang sekitar 2,7 Kilo Meter, yang mengelilingi pusat kekuasaan Kesultanan Buton, Benteng ini di bangun pada tahun 1634 oleh Sultan ke 6 La Buke. Menurut La Ode Muh Syarif Makmun, Sultan La Buke di sebut juga Sultan Abdul Ghafur, ia bersama rekan-rekan dan masyarakat menyelesaikan Benteng Wolio dengan 2 pintu Gerbang, Salah satu pintu Gerbang itu bernama La Wana Kapebhuni, pintu ini pernah di lewati oleh Raja Bone yang bernama Arung Palaka.
Menurtu Dr.La Ode M Kamaluddin, Persaingan-persaingan kerajaan di Sulawesi Selatan, Sultan Bone dengan Raja Talo yang di Pimpin Hasanuddin melakukan persaingan, Karena Raja Bone tidak kuat melawan Sultan Hasanudin, akhirnya Raja Bone pergi meminta bantuan kepada Sultan Buton, Arung Palaka kemudian bersembunyi di dalam Gua di Buton.
Persembunyiaan itu disebabkan karena pengejaran utusan Raja Gowa Talo yaitu Laksamana Karaeng Bonto Maranu, dengan suatu argumentasi yang masuk akal, maka Sapati Bhalu yang bernama La Ode Arafani akhirnya bersumpah, “bahwa pada hari ini Arung Palaka tidak ada di atas tanah Buton, entah dilain hari, tapi pada hari ini tidak”ada. Atas sumpah ini, kemudian utusan Raja Gowa Tallo percaya bahwa Arung Palaka tidak berada di atas tanah Buton, namun pada kenyataannya Arung Palaka bersembunyi di suatu gua dbawah tanah. Inilah taktik agar pejabat dari Kesultanan Buton tidak terkena sumpah, peristiwa inilah yang menyebabkan Arung Palaka tinggal di Buton selama kurang lebih 4 tahun.
Sistem Kesultanan Buton senantiasa melindungi siapa saja yang berada di atas tanah Buton, semua menjadi resiko Kesulutanan Buton terhadap lawan-lawannya, bahkan terhadap kerajaan Gowa maupun Belanda, sistem Kesultanan Buton yang melindungi siapa saja pada akhirnya menjadi politik Luar Negeri.
Merupakan Sistem Pemerintah Islam Demokratis tertua di dunia setelah Khulafa Urrasyidin (Empat Khalifah Utama Nabi).
Menurut Dr. Ir. Mudjur, seorang Buadayawan Buton, yang namanya Kerajaan yang memiliki Struktur Parlementer refrensinya hanya ada di Kesultana Buton, hampir di katakan di seluruh dunia, karena Semua Monarki itu adalah Absolut, sedangkan di Buton tidak pernah mengenal ada Putra Mahkota. Memang bisa saja seorang anak Raja di angkat juga menjadi Raja, akan tetapi harus berdasarkan hasil pemilihan, dalam Bahasa Wolio di sebutFali, Faliberarti di seleksi, namun sistem seleksinya tidak ada pemimpin yang datang dalam istilah modern disebut Ujuk-Ujuk (tiba-tiba menampilkan diri dan bisa membeli suara Rakyat), yang seperti ini tidak ada di Buton. Sistem pemilihan Raja atau Sultan Buton sebelumnya sudah diamati sejak kecil, diantara beberapa anak itu, siapa yang bisa menjadi pemimpin. Penseleksian itu dimulai sejak usia 7 tahun.
Struktur Kekuasaan Buton ditopang oleh dua Golongan Bangsawan, yaitu Golongan Kaumu dan Walaka, wewenang pemilihan dan pengangkatan Sultan berada di tangan golongan Walaka namun yang menjadi Sultan harus dari Golongan Kaumu. Fungsi golongan Walaka antara lain mendidik dan mengamati perilaku para calon Raja atau calon Sultan.
Menurut Dr. Tony Rudyansiah seorang antropolog, ia memberikan komentar bahwa, Sultan itu sebetulnya yang berasal dari golongan Kaumu (bangsawan yang paling tinggi) biasanya ketika masih kecil, ia harus bersama dengan kelompok Walaka yang lebih rendah dari mereka, disaat hidup dengan kelompok Walaka, kelompok Walaka mengajari putra yang kira-kira akan di calonkan menjadi Sultan, terutama mengenai adat-istiadat menjadi Sultan yang baik untuk memerintah.
Yang lebih menarik dari sistem Kesultanan Buton ialah, apabila seorang Sultan yang terpilih itu di anggap tidak mampu memerintah dalam hal ini melakukan Korupsi, tidak Adil, dan tidak lagi memperhatikan rakyatnya, maka golongan Walaka bisa memecat Sultan tersebut dan memilih Sulta yang baru.
Dewan Agama.
Pada Dewan Agama terdapat pembagian tugas antara Kelompok Kaumu dan Walaka. Tugas pada kelompok Kaumu lebih pada arah kekuasaan temporer, sementara pada kelompok Walaka terarah pada Adat Spiritual, sistem keagamaan ini termasuk salah satu kearifan masyarakat Buton yang Multikulutural, dengan potensi yang mereka miliki perbedaan tidak di pertentangkan, justru mereka mampu menyatukan perbedaan dalam Musyawarah dan kesepakatan.
Peraturan hukum di terapkan tanpa Diskriminasi, peraturan berlaku sama untuk setiap masyarakat hingga Sultan atau Raja. Sebagai bukti dari 37 orang Sultan yang pernah memerintah di sana, 12 dianataranya di ganjar hukuman karena melanggar Sumpah Jabatan, satu di antaranya Sultan ke 8, yaitu La Sila yang bergelar Sultan Mardan Ali. Sultan Mardan Ali mengakhiri masa jabatannya karena di maksulkan oleh Dewan Syara Kesultanan Buton, akibat melakukan Bebulayaitu perbuatan Asusila sehingga di jatuhi hukuman mati disebuah pulau kecil, bahkan jasadnya tidak diperkenankan di Makamkan di atas pulau Buton.
Peninggalan Masa Keemasan Kesultanan Buton.
Banyak peninggalan-peninggalan Kerajaan atau Kesultanan Buton, dianataranya berasal dari Kerajaan Majapahit, selain itu simbol-simbol kesultanan bernuansa budaya China, Misalnya Malige atau Mahligei, Malige adalah Istana Negara kediaman Sultan sebagai Mokenina Kapuli kekuasaan tertinggi. Menurut asal-usulnya Model konstruksi Mahlige adalah perpaduan Arsiktektur China dan Buton, Malige ini merupakan Istana yang termegah, namun kemegahan bangunan istana tergantung kemampuan ekonomi dari sultan yang berkuasa saat itu. hal ini, Bangunan Malige terdiri tiga tingkat yang menggambarkan tiga tingkat Strata sosial di masyarakat Buton.
Kaummu (Golongan Bangsawan), Walaka (Golongan Penasehat dan Pengatur sistem pemerintahan), dan yang terbawah adalah Papara (Golongan masyarakat biasa). Selain itu peninggalan Buton adalah Batu Popaua yaitu sebagai tempat pelantika 6 orang Raja dan 37 Sultan Buton, adapun peninggalan Buton yang penting menurut penulis adalah Masjid Kesultanan Buton yang di bangun pada Abad 18 tahun 1542,dimasa pemerintahan La Ingkariari bergelar Sultan Sakiudin Daru Alam, namun masjid itu sekarang sudah di renofasi, ukuran Masjid itu sekitar 20 x 21 M.
Tidak tertinggal juga, disisi kiri Masjid terdapat Tiang Bendera yang didirikan tidak lama setelah Masjid itu di bangun, adapun kayu Tiang Bendera diambil dari Tailan yang dibawa oleh pedagang dari Patanisiam atau Tailan, dan peninggalan yang tidak kalah penting adalah Tari-Tarian yang sering di pergelarkan di depan tamu Kesultanan, Tarian-Tarian itu menggambar para Bidadari turun dari kayangan.
Inilah sekilas sejarah Peninggalan Kerajaan dan Kesultanan Buton, masih banyak lagi peninggalan-peninggalan yang tidak sempat dituliskan.
Sebagai kesimpulan, di Buton sangat terkenal “Bholimo Harta Sumano Karo (janganlah harta di utamakan jika berhadapan dengan harga diri Anda, harus di korbankan itu harta untuk membela harga diri Anda, artinya Martabat” selanjutnya Bholimo Karo Sumano Lipu Tetapi diri anda secara Pribadi harus di kalahkan oleh kepentingan bersama kepentingan Kampung halaman atau Negara, dan yang ketiga Bholimo Lipu Sumano Agama artinya kepentingan Negara bisa di kalahkan oleh kepentingan Agama”. Jadi di buton kepentingan Agama tetap menjadi Prinsip utama dari kepentingan-kepentingan yang lain.
Waalahu A’lam.
Makassar, 09/11/2016
Penulis: Anin Lihi
Sumber, Video Sejarah Buton Negeri 1000 Benteng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H