Jika ada orang yang tidak peduli politik, aku adalah salah satunya. Aku lebih memilih mendatangi lelaki yang baru saja kukenal di aplikasi kencan daring daripada harus mendonasikan suaraku kepada salah satu pasangan presiden.Â
Aku tak peduli siapa yang akan memimpin bangsa ini. Toh, sudah beberapa kali aku mengikuti pemilihan umum, tidak ada perubahan yang berarti bagiku kecuali umurku yang menua. Ungkapan yang mengatakan suara anda sangat berarti adalah omong kosong. Bukankah sudah diketahui siapa yang menang?
Dari aku lahir sampai sudah bekerja, penguasa di negeri ini hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu. Mereka bekerja untuk kelompoknya. Apa ini yang dimaksud dengan oligarki? Sedangkan rakyat, semakin hari, semakin dipersempit ruang geraknya. Padahal ruang kebebasan dijamin oleh undang-undang. Rasa-rasanya lebih baik pergi berlibur. Ada harapan yang besar pada liburan kali ini. Tentu  bukan pada pemerintah yang sering kali menjejali janji lalu mendustai. Harapanku sederhana, semoga aku mendapat jodoh saat berlibur.
Sudah berkali-kali hubunganku diakhiri sepihak. Alasan yang sama. Katanya, aku terlalu sibuk. Terlalu jual mahal. Alah, padahal kalian semua yang mudah menyerah. Tak mau memperjuangkan perempuan. Bukankah semua perempuan ingin diperjuangkan?
Biar kuberi contoh, Jika lelaki ingin memiliki perempuan jelita, tentu ia harus bekerja keras karena biaya perawatan perempuan tidak murah. Â Jika para lelaki ingin memiliki perempuan yang pintar, tentu saja lelaki itu harus pintar, bukan? Agar pembicaraan mereka satu frekuensi.Â
Menjadi orang pintar bukan perkara mudah. Jika ingin memiliki perempuan berharta, tentu saja dia harus juga berpunya. Ada kerja keras untuk menjadi berpunya. Ah, sudah sebegitunya kondisi zaman ini. Jika hal di luar itu terjadi, itu hanya di cerita fiksi. Jika bukan cerita fiksi, itu adalah anomali.
Ah, sudah cukup aku melamun dalam kabin pesawat. Pramugari sudah mengabarkan bahwa pesawat akan segera mendarat. Kupandangi lautan lepas di luar jendela pesawat dan rasanya aku sudah tak sabar bertemu pantai serta melepas bosan setelah setahun penuh membanting tulang dan memeras otak mengurusi pekerjaan yang takkan pernah usai. Apa yang terjadi di kantor saat ini, biar saja lah. Aku hanya menggunakan hak sebagai babu korporat.
Sesuai apa yang telah aku dan lelaki itu sepakati. Kita akan bertemu
"Hari pertama kita ke Kafe artchive saja," katanya mengusulkan tempat. Aku tak keberatan.
Barang-barangku sudah kutempatkan di hotel pukul 11 lalu. Sore ini aku keluar hotel untuk bertemu Aldi untuk pertama kalinya. Aku merias diriku sedemikian rupa agar terlihat pantas. Aku dan Aldi sudah menjalin komunikasi selama 3 minggu. Dari percakapan melalui pesan singkat dan aplikasi kencan online, tampaknya ia orang yang supel dan artsy . Dia selalu mengetahui dengan detail topik pembicara. Bahkan sampai segala jenis peralatan rias wanita.
***
Aku tiba di sebuah kafe setelah perjalananku yang agak tersumbat karena di banyak tempat, di pinggir jalan, orang-orang sedang menghitung suara. Dari kejauhan, seseorang lelaki melambaikan tangan seperti seorang kawan lama yang sedang memanggil. Aku mencoba menghampirinya.
"Hallo, kamu Diah ya," ujarnya. Suaranya berat dan tegas.
"Hallo. Eh. Hai. Aldi kan?" ujarku agak sedikit kikuk.
"Betul. Silahkan duduk. Eh sebentar." Ia pun berdiri dan menarik bangku di depannya untuk tempatku duduk. Sungguh manis caranya memperlakukanku. "Bagaimana perjalanannya, kamu nyoblos nggak tadi?" lanjutnya.
"Eh, aku, tidak. Aku dapat tiketnya pagi. Jadi tidak sempat," ujarku menghindar.
"Wah, sayang sekali. Suara kamu berarti sekali loh untuk kemajuan negara ini. Tapi tidak apa. Silahkan dipesan dulu makanan dan minumannya," dengan nada optimis.
Kuamati dia pelan-pelan. Aku tidak menyangka. Foto dan aslinya sedikit berbeda. Dia lebih tampan dengan rambutnya yang licin disisir ke belakang. Wajahnya yang tirus dengan sedikit kumis dan jenggot seusai dipangkas membuatnya agak sedikit lebih maskulin. Alis yang tebal dan sorotan matanya yang tajam membuatku tak kuat menatapnya berlama-lama. Tidak seperti biasanya, banyak lelaki yang sering mengalihkan perhatian ketika kutatap matanya dalam-dalam. Tapi kali ini aku kalah.
"Mudah-mudahan dia tidak kecewa denganku. Sebab, kuakui, fotoku lebih terlihat seperti model. Terima kasih untuk aplikasi editing foto dan alat make up yang mahal," ujarku dalam hati.
Kita berbincang. Dari pernyataannya, ia  bekerja di Perusahaan Negara (PU) dan sedang mengambil gelar magister di bidang public relation.Â
Aku kagum sekaligus merasa sedikit rendah. Kini ia seperti sedang memberiku kuliah tentang kondisi sosial, politik dan bisnis saat berbincang. Aku tak tahu banyak tentang itu. Aku hanya tahu lingkup pekerjaanku. Ah, aku hanya mengangguk seperti mahasiswa baru. Ia begitu cerdas dan aku berdebar-debar. Biasanya, aku selalu mendominasi pembicaraan dan banyak lelaki yang sungkan berbicara ketika tahu aku adalah seorang manajer disebuah perusahaan besar. Aku merasa Ini tak seperti biasanya.
Aku kalah. Menunduk seperti perawan desa yang sedang ditatap jejeka. Luluh. Aku merasa rendah. Aku seperti rakyat yang siap menerima penindasan dari penguasa. Pasrah. Sebab aku tahu aku tak bisa berbuat apa-apa. "Ah kekuatan apa yang ada di dalam dirinya yang membuatku runtuh seperti ini," pikirku.
Pelan-pelan, kucoba angkat derajatku dengan bertanya mengapa ia begitu tahu tentang kosmetik dan segala tentang hal make up. Meskipun aku sudah bisa menebak. Mungkin mantan pacarnya adalah beauty vlogger atau reviewer produk kosmetik sehingga dia tahu tentang itu.Â
Baik. Kuuji pengetahuannya.
"Eh kamu tahu tentang kosmetik dari mana?"
"Oh itu, penelitianku tentang semiotika dan dekonstruksi kosmetik no testing animal dan kosmetik halal. Tapi belum pasti sih," ujarnya
"Hah? Apaan tuh?" sial, tebakanku salah. Aku menyerah. Ia pasti lebih tahu kosmetik dari pada seorang konsumen kosmetik sepertiku. Aku semakin jatuh. Jatuh sejatuh-jatuhnya. Mungkin jatuh cinta. Aku menyerah. Ia membuatku terpukau berkali-kali.
"Nanti saja kalau sudah jadi kamu baca penelitiannya. Jangan sekarang,"
Aku pun mengangguk untuk menutup topik kosmetik. Aku tak mau terlihat bodoh berkali-kali. Sudah cukup aku terlihat bodoh dalam politik, sosial, bisnis, serta kosmetik. Aku terdiam. Seperti anjing yang dielus-elus kepalanya, merebahkan badan dan memejamkan mata. Menurut. Jinak.Â
"Jika, begini, Aku rela kau ajak kemanapun, pergi kemanapun. Aku rela. Aku rela," ujarku dalam hati. Aku seperti orang mabuk.
Usai menghabiskan berjam-jam saling mengenal. Ia menggandeng tanganku keluar kafe dan mengajakku menelusuri pantai. Apa-apaan ini. Aku tidak semudah itu kau genggam. Sial. tapi aku menurut saja dan diam-diam menikmati.
Ia mengajakku menelusuri pantai saat senja. Sejujurnya, aku adalah orang yang tak pernah percaya sihir senja. Itu hanya akal-akalan penyair yang sedang mendeskripsikan matahari terbenam. Cahayanya memantulkan ke air laut hingga membuat garis jingga. Sudah. Lalu apa?Â
Namun, rupanya aku terkena tulah atas kata-kataku sendiri. Senja kali ini begitu indah. Ditambah suara debur ombak dan buih yang berkejaran.Â
Ah Sekarang aku mengerti mengapa banyak orang-orang yang tergila-gila pada senja hingga banyak puisi, syair dan nyanyian memujanya. Aldi baru saja menunjukkan semua itu padaku. Lelaki yang baru saja kutemui beberapa jam lalu itu sudah mendekapku di atas pasir dengan lembut dan hangat. Kami menonton senja hingga malam menjelang.
Malam ini cerah. Langit memperlihatkan gumpalan awan dan gemintang. Apakah semesta memberkatiku? aku tak bisa memprediksi. Yang pasti, malam ini, Aldi berlabuh di hotelku. Tidak hanya di hotelku. Dia berlabuh di kamarku. Melanjutkan kehangatan yang kami miliki sore lalu.  Berulang setiap hari selama empat hari. Menghabiskan waktu dengan berdialog, menonton senja, dan berdekapan. Aku terhipnotis  dan hatiku berdebar-debar. Aku tak ingin berakhir dengan sekejap.
***
Waktu memang selalu terburu-buru ketika kita sedang berbahagia. Rasa-rasanya ia cemburu. Padahal waktu itu abadi. Alangkah menyenangkan jika waktu memperlambat geraknya pada  kebahagiaan dan mempercepat geraknya pada  kesedihan. Sebab banyak orang yang ingin menyudahi kesedihan dengan cepat, bukan?Â
Sebagaimana ada perjumpaan, waktu juga selalu memberi ruang pada perpisahan. Aku dan Aldi berpisah di bandara. Aku akan kembali menghadapi realita. Sedangkan dia, masih tinggal satu hari lagi karena harus menyapa temannya.
"Jangan lupa menghubungiku ya jika sudah tiba di kotamu!" ujarnya.
"Tentu. Kamu harus datang ke kotaku ya kalau sudah dapat jatah cuti. Harus!"
"Tentu," ujarnya.
Kemudian sebuah pengumuman menyebutkan bahwa pesawatku segera lepas landas. Aku memasukan dompet dan alat komunikasikan ke dalam tas dan kukeluarkan tiket. Ia memelukku keras-keras. Menarikku seolah tak mau kehilangan. Ah aku tersipu. Pelukannya semakin kuat. Tanpa rasa malu. Tanpa sungkan.
Pesawat lepas landas. Pilot dan pramugari bekerja mengantarkan kami ke tempat tujuan. Eh, apakah tujuanku sekarang? Apakah bersama Aldi aku menemukan tujuan? ya, kupikir aku tahu tujuanku sekarang. Aldi pun harus ikut serta. Nanti. Pada saatnya tiba.Â
Akhirnya aku tiba dirumah. Ada sesuatu yang sepertinya tertinggal dan aku tahu betul apa yang tertinggal. Kuhubungi Aldi sesegera mungkin. Sial. Lelaki itu sudah menghipnotisku hingga aku seperti remaja yang sedang digosipkan dengan kakak kelas. Aku tersenyum-senyum membayangkan apa yang aku lalui berapa hari belakangan. Baru saja empat jam berpisah. Tapi aku sudah dibuat rindu begini. Rindu itu sederhana, kambuhan dan tak diundang ternyata.
Aku mencoba melihat foto-foto di handphoneku. Aku ingin membayangkan wajah tampannya. "Sial, tidak ada." Hingga kusadari bahwa semua foto diambil melalui telepon genggamnya. Kubuka aplikasi kencan daring. Aku ingin melihat lekuk wajahnya agar bayangkanku tak meleset walau Satu flek hitam. "Ah sial. Aku baru ingat bahwa aku meminta dia mengganti profil picturenya dan menghapus semua galeri agar tidak ada perempuan lain yang menyapa dia." Aku hanya melihat pemandangan pantai dengan satu pohon kelapa di foto profilnya.
Sambil menunggu balasan dari Aldi, aku mengeluarkan semua isi tasku, memisahkan barang bawaanku dan pakaian kotor. Kemudian aku makan. Aku mandi. Aku pergi ke minimarket. Hingga aku sadari tak ada balasan dari Aldi. Dua jam. Lima jam. Delapan jam. Satu hari. Satu bulan. Lalu menghilang.
***
Hari ini perhitungan suara. Banyak orang di banyak tempat membicarakannya. Di kantorku, di warung makan, di warung kopi, di tempat perbelanjaan bahwa di rumah saya yang tidak sebegitunya dengan politik. Jagat sosial media penuh dengan hasil poling sementara. D sebuah lini masa, kulihat salat satu calon presiden sudah siap mendeklarasikan diri sebagai pemenang meskipun kemenangan itu hanya berdasarkan survei sementara. Sepanjang kutelusuri lini masa, sepanjang itu pula aku melihat berita tentang perhitungan suara.Â
Eh tunggu dulu, secara tidak sengaja, kutemukan foto Aldi di beranda jejaring sosial kawan karibku. Tanpa banyak aba-aba, lekas kucari info agar aku bisa menghubunginya. Sekadar mencari kejelasan. Kubaca deskripsi fotonya lalu kuperjelas dengan membaca komentarnya. Kuhitung, ada 17 orang yang berkomentar.
kuyakinkan diriku atas apa yang terjadi. kupastikan lagi dengan membuka ulang postingan itu. Kucuci mukaku. Sampai akhirnya aku yakin bahwa terdapat 17 orang mempunyai cerita sepertiku. Maksudku, ya pengalaman dengan Aldi, namun tentu saja dengan nama yang berbeda dan ditempat yang berbeda.
"Dasar. Laki-laki brengsek. Bajingan. Â Predator," murkaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H