Aku tiba di sebuah kafe setelah perjalananku yang agak tersumbat karena di banyak tempat, di pinggir jalan, orang-orang sedang menghitung suara. Dari kejauhan, seseorang lelaki melambaikan tangan seperti seorang kawan lama yang sedang memanggil. Aku mencoba menghampirinya.
"Hallo, kamu Diah ya," ujarnya. Suaranya berat dan tegas.
"Hallo. Eh. Hai. Aldi kan?" ujarku agak sedikit kikuk.
"Betul. Silahkan duduk. Eh sebentar." Ia pun berdiri dan menarik bangku di depannya untuk tempatku duduk. Sungguh manis caranya memperlakukanku. "Bagaimana perjalanannya, kamu nyoblos nggak tadi?" lanjutnya.
"Eh, aku, tidak. Aku dapat tiketnya pagi. Jadi tidak sempat," ujarku menghindar.
"Wah, sayang sekali. Suara kamu berarti sekali loh untuk kemajuan negara ini. Tapi tidak apa. Silahkan dipesan dulu makanan dan minumannya," dengan nada optimis.
Kuamati dia pelan-pelan. Aku tidak menyangka. Foto dan aslinya sedikit berbeda. Dia lebih tampan dengan rambutnya yang licin disisir ke belakang. Wajahnya yang tirus dengan sedikit kumis dan jenggot seusai dipangkas membuatnya agak sedikit lebih maskulin. Alis yang tebal dan sorotan matanya yang tajam membuatku tak kuat menatapnya berlama-lama. Tidak seperti biasanya, banyak lelaki yang sering mengalihkan perhatian ketika kutatap matanya dalam-dalam. Tapi kali ini aku kalah.
"Mudah-mudahan dia tidak kecewa denganku. Sebab, kuakui, fotoku lebih terlihat seperti model. Terima kasih untuk aplikasi editing foto dan alat make up yang mahal," ujarku dalam hati.
Kita berbincang. Dari pernyataannya, ia  bekerja di Perusahaan Negara (PU) dan sedang mengambil gelar magister di bidang public relation.Â
Aku kagum sekaligus merasa sedikit rendah. Kini ia seperti sedang memberiku kuliah tentang kondisi sosial, politik dan bisnis saat berbincang. Aku tak tahu banyak tentang itu. Aku hanya tahu lingkup pekerjaanku. Ah, aku hanya mengangguk seperti mahasiswa baru. Ia begitu cerdas dan aku berdebar-debar. Biasanya, aku selalu mendominasi pembicaraan dan banyak lelaki yang sungkan berbicara ketika tahu aku adalah seorang manajer disebuah perusahaan besar. Aku merasa Ini tak seperti biasanya.
Aku kalah. Menunduk seperti perawan desa yang sedang ditatap jejeka. Luluh. Aku merasa rendah. Aku seperti rakyat yang siap menerima penindasan dari penguasa. Pasrah. Sebab aku tahu aku tak bisa berbuat apa-apa. "Ah kekuatan apa yang ada di dalam dirinya yang membuatku runtuh seperti ini," pikirku.