Saya rasa tidak. Bahkan hari ini, kamu tidak tahu apa yang dia lakukan sementara dia baru saja memberi kabar kepada saya apa yang sedang ia lakukan. Namun semua rentetan kejadian itu hanya tertahan dalam ruang di kepala saya. Tak pernah keluar melewati lidah.
"Aku hanya minta dia agar bekerja lebih keras. Aku meminta dia mencari cara agar cepat dapat uang, cepat kaya."
Sambil menyimak dia bercerita, saya merangkai cerita sendiri dalam pikiran. Tentunya dari perspektif dia dan suaminya.
Biar saya teruskan ceritanya dalam imajinasi. Hubungan kamu merenggang pada empat bulan ini, bukan? Dihari ulang tahunmu, dia sengaja tak pulang kerumah. Ada keperluan di kota Malang.
Hubungan kalian sangat sulit di awal. Namun, satu tahun terakhir, pendapatan suamimu melonjak tinggi. Semuanya menjadi manis dalam hal materi. Hingga sebetulnya, ia sudah memberikan apa yang kamu mau.Â
Saya rasa kamu sudah cukup banyak berbagi cerita di jejaring sosial tentang bagaimana kamu berlibur di luar negeri hingga berziarah ke tanah suci. Memposting jalanan macet dari dalam mobil bermerek tiga berlian dengan tangan kiri bergelang emas memegang setir. Segala hal berbau materil sudah kamu dapatkan.
Sekar pun melanjutkan. "Don, rasanya baru kemarin hidupku penuh warna bersamanya. Ia telah mencukupi aku. Tapi Don, sekarang aku merasa bukan menjadi pilihan utamanya. Sampai hal seperti nafkah batin dia enggan.
"Apakah saya sudah tidak menarik. Dia mulai jarang pulang dan sering izin pergi ke Malang untuk urusan bisnis. Apa dia punya selingkuhan di kota itu. Apa karena aku belum bisa memberinya buah hati," tanyanya.
Saya membatin seraya ingin menjawab pertanyaan itu. Tapi saya tak kuasa. Tak mungkin saya mengobral aib kawan karib saya sendiri pada orang yang paling dicinta. Saya putar tangan sedikit. Nampaknya, sudah hampir satu jam kamu bercerita. Saya masih menebak berapa lama lagi kamu akan mencurahkan hati.
***
"Cara cepat kaya?" Tanya Aryo, suami Sekar, kepada saya. Pria yang selalu memiliki konsep dalam setiap tindakannya. "Ada ide Don?" lanjutnya.
Sebuah pertanyaan pembuka obrolan satu setengah tahun yang lalu. Sementara sang pramusaji belum sempat membuat racikan latte yang saya pesan, pertanyaan itu terlontar cepat dan memburu. Aryo mengerutkan dahi seraya memimilin beberapa helai jenggotnya seolah sedang mencoba memecahkan teka-teki alam semesta.