Dalam salah situs yang digunakan untuk sharing atau berbagi informasi, terdapat satu laman yang mengemukakan pertanyaan 'Apa alasanmu menyukai atau tidak menyukai puisi?'. Pertanyaan itu membawa jawaban menarik salah satu pengguna yang memaparkan argumennya tentang ketidaksukaan pada puisi. Katanya,
"Saya tidak bisa memahami puisi dan tidak mengerti apa yang membuat suatu puisi begitu indah/menggugah/mengharukan/bikin baper/dsb. Mungkin karena puisi, menurut saya, adalah rangkaian kata-kata perumpamaan yang memiliki penafsiran tiada batas. Begitu banyak personifikasi, metafora, hiperbola yang tidak masuk akal. Untuk penikmat puisi ini indah, untuk saya ini memusingkan."
Pernyataan tersebut merupakan salah satu argumen yang terdapat di media internet, namun dapat mewakili masyarakat tentang puisi, yakni puisi yang sulit dipahami dan memusingkan.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab masyarakat awam tidak menyukai puisi adalah karena bagaimana pandangan dan pemahaman mereka terhadap puisi. Jika dilihat dari sudut pandang Semiotika menurut Roland Barthes, terdapat jawaban analisis mengenai mengapa sebagian masyarakat merasa sulit mengapresiasi puisi. Barthes memandang karya sastra, termasuk puisi, sebagai sistem tanda yang kompleks dan memiliki banyak lapisan makna.
- Konsep Denotasi dan Konotasi
Dalam konteks puisi, denotasi adalah makna langsung dari tanda seperti kata-kata secara harfiah, sedangkan konotasi makna yang lebih dalam yang bersifat emosional dan simbolik seperti penggunaan majas dan simbol. Masyarakat yang tidak terbiasa membaca puisi mungkin hanya melihat denotasinya saja, sehingga mereka tidak dapat memahami atau merasakan keindahan yang terletak pada lapisan konotasi.
- Teks sebagai "Polisemik"
Barthes menjelaskan bahwa teks sastra bersifat polisemik atau mengandung banyak makna dan sangat memungkinkan untuk memiliki makna yang bersifat terbuka. Dalam konteks puisi, polisemik terdapat pada metafora atau simbol yang dapat ditafsirkan berbeda oleh setiap pembaca. Pembaca yang tidak terbiasa dengan kompleksitas ini sangat berpotensi merasa bingung dan tidak puas karena mengharapkan makna yang eksplisit dan tunggal.
- "Death of the Author"
Gagasan lain dari Barthes mengenai hal ini adalah teks tidak sepenuhnya ditentukan oleh penulis, tetapi oleh pembaca. Dalam puisi, pembaca bebas dan perlu aktif untuk menafsirkan makna berdasarkan pengalaman dan perspektif mereka.
Salah satu penyebab kurangnya minat dan apresiasi puisi adalah perkembangan teknologi. Khususnya bagi anak muda, mereka lebih memilih hiburan yang cepat dan langsung seperti unggahan dan video pendek di media sosial.
Berdasarkan teori tersebut, didapatkan relevansi terkait kesulitan memahami puisi karena belum mengetahui konsep-konsepnya. Hal ini tentu perlu dikritisi khususnya bagi anak muda di Indonesia, karena puisi merupakan sumber inspirasi dan hiburan bagi anak muda, serta membantu mereka untuk memahami pentingnya apresiasi karya sastra Indonesia, nilai-nilai luhur, dan budaya bangsa.
Kehidupan anak muda zaman Gen Z dan Gen Alpha tidak dapat lepas dari teknologi dan internet. Hampir seluruh kehidupan mereka didominasi oleh hal tersebut. Maka dari itu, teknologi dapat dimanfaatkan sebagai media edukasi serta apresiasi mengenai karya sastra khususnya puisi.
Sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, atas dasar kasus tersebut kami terinspirasi untuk membuat suatu karya yang dapat menjawab serta memanfaatkan teknologi. Dengan berbekal dasar ilmu dari mata kuliah Kajian Puisi Indonesia, masyarakat perlu mengetahui bahwa puisi bukan hanya sekadar kata-kata yang indah. Selain itu, teori Barthes pun masih berkaitan dengan hal ini.
Teknologi yang kami manfaatkan adalah media audio, yakni podcast. Podcast adalah rekaman audio yang dapat diundur dan diputar kapan saja melalui internet, sehingga siapapun dapat mengaksesnya. Salah satu media aplikasi yang ramai digunakan untuk podcast adalah Spotify. Maka dari itu, hasil rekaman audio kami diterbitkan di Spotify yang memang sudah banyak digunakan dan sukses oleh para podcaster Indonesia.
Pokok dan tujuan dari pembuatan podcast tentang kajian puisi Indonesia ini adalah untuk memberi gambaran dan informasi bahwa karya sastra khususnya puisi sangat luas. Seperti yang dikatakan Barthes, karya sastra merupakan polisemik dan tidak melulu bergantung kepada penulis. Selain itu, di balik tangan penulis, puisi memiliki hakikat dan fungsinya tersendiri yang dapat dikaji dengan dalam. Hal ini juga tidak bermakna tunggal, setiap orang yang mengaji puisi dapat memiliki kajian dan pemaknaan yang berbeda. Hal tersebutlah yang perlu diketahui oleh masyarakat agar dapat merasakan keindahan dan mengapresiasi puisi Indonesia.
Podcast kami dapat ditemukan di Spotify dengan kata kunci "Sajak Tiga Suara". Topik pada bagian satu ini kami mengusung pengkajian puisi dengan menggunakan puisi ternama dan dapat relate dengan kehidupan anak muda zaman sekarang. Kami berharap hal tersebut dapat menjadi daya tarik serta pesan yang kami sampaikan dapat tersampaikan dengan baik.
Secara kebetulan, puisi yang kami kaji pada bagian satu di Sajak Tiga suara sama dengan contoh puisi yang dijadikan contoh oleh penulis di laman mengenai ketidakpahamannya terkait puisi ini. Kami membawakan topik kajian puisi ini dengan menggunakan puisi "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono (SDD). Puisi ini adalah puisi yang sukses dikenal dan banyak sekali yang dapat merasakan emosi di dalamnya berdasar pada pengalaman masing-masing. Namun, belum semua orang dapat memaknai hal yang sama. Argumen lain dari jawaban atas pertanyaan 'Apa alasanmu menyukai atau tidak menyukai puisi?' adalah
"Puisi ini disebut-sebut sebagai salah satu karya SDD yang paling terkenal dan banyak disukai karena menyentuh perasaan dan bikin baper. Namun saya telah membaca puisi tersebut dari atas ke bawah, bawah ke atas, err..saya tidak merasakan apa-apa tuh."
Dengan demikian, bagian satu dari podcast Sajak Tiga Suara dapat menjadi gambaran untuk pemahaman dan pandangan dari beberapa orang mengenai puisi karya SDD ini.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai karya podcast tentang kajian puisi Indonesia, kembali pada teori Semiotika Barthes yang relevan dengan puisi yakni polisemik dan death of the author. Dalam puisi, ada yang disebut dengan metode dan hakikat puisi. Hal inilah yang menjadi poin-poin untuk mengkaji sebuah puisi agar dapat memaknainya secara dalam dari segi pandang pembaca atau pengkaji. Tentu saja hal tersebut bersifat polisemik alias dapat memiliki banyak makna sesuai dengan pengkajinya. Termasuk juga pada bagian pemahaman puisi tidak terpaku pada apa makna yang hendak disampaikan penulis, tetapi seluruh kajian sebuah puisi dikembalikan sepenuhnya pada pembaca. Pengkaji bahkan lebih baik tidak mengetahui makna yang dimaksud oleh penulis agar proses pengkajian dapat lebih subjektif. Berikut metode dan hakikat puisi yang dapat menjadi acuan dalam mengkaji sebuah puisi.
Metode Puisi
- Diksi
Diksi adalah kata-kata yang dipilih dan diusahakan oleh penyair. Diksi yang digunakan dapat bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata tersebut dapat mendukung maksud dari puisinya.
- Kata Konkret
Kata konkret adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya.
- Pencitraan
Pencitraan adalah kemampuan kata-kata yang digunakan penyair untuk menyampaikan tulisannya kepada pembaca untuk mampu merasakan. Pencitraan digunakan sesuai dengan indra manusia yaitu, citra penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, dan pengecapan.
- Majas
Majas dalam puisi adalah gaya bahasa yang menggunakan kiasan atau perbandingan untuk menyampaikan perasaan dan pikiran penyair. Majas dapat membuat puisi lebih indah dan "hidup" sehingga pembaca dapat merasakan emosi yang ingin disampaikan penulis. Terdapat banyak jenis majas yang dapat digunakan untuk mendukung isi puisi.
- Rima
Rima adalah persamaan bunyi dalam puisi. Rima memiliki banyak jenis, sebagai contoh yang paling dikenal rima dapat berbentuk persamaan bunyi pada suku-suku kata terakhir, misalnya a-b-a-b (dalam penulisan gambaran rima menggunakan vokal A dan konsonan B).
Irama ialah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur.
- Matra
Matra adalah jumlah dari suku kata pada setiap larik (baris) pada puisi. Beberapa penyair terkadang memanfaatkan matra untuk menciptakan makna dari jumlah suku kata di dalam puisinya. Misalnya sebuah puisi dalam setiap lariknya memiliki jumlah suku kata yang sama, hal tersebut dapat juga dimasukkan pada analisis puisi.
- Irama
Irama dapat menciptakan aliran perasaan atau pemikiran yang terus menerus dan terfokus, sehingga menghasilkan imaji yang jelas dan hidup. Irama ini tercermin melalui penekanan-penekanan pada kata-kata.
- Tipografi
Tipografi adakah bentuk metode puisi secara visual. Hal ini berhubungan teks puisi seperti dari jenis huruf, ukuran, tata letak, penempatan, bentuk teks, dan sebagainya. Tipografi juga dapat berfungsi sebagai penyampaian makna. Misalnya, puisi yang menceritakan tentang sebuah kisah di sungai, maka teks puisi tersebut dapat dibentuk seperti aliran sungai.
Hakikat Puisi
- Tema
Tema adalah pokok persoalan yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
- Amanat
Amanat dapat berupa pesan yang ingin disampaikan oleh penyair. Amanat ini kadang-kadang merupakan tujuan yang tidak disadari, misalnya dapat bergantung pada cita-cita, pandangan hidup, atau keyakinan penyair.
- Feeling
Feeling merupakan sikap penyair terhadap tema atau isu yang disampaikan dalam puisinya. Setiap penyair memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menyikapi suatu persoalan.
- Nada dan Suasana
Nada dan suasana merujuk pada sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya secara umum. Penyair dapat menunjukkan sikap rendah hati, angkuh, persuasif, atau sugestif kepada pembacanya.
Demikian metode dan hakikat puisi yang dapat menjadi acuan untuk analisis dan mengkaji sebuah puisi. Poin-poin ini juga dapat digunakan oleh para juri pada saat menilai karya puisi dalam sebuah lomba. Puisi yang baik dan unik adalah puisi yang memiliki metode dan hakikat puisi yang terbentuk secara pribadi oleh pengarang.
Kembali pada podcast Sajak Tiga Suara, kami belum sempat membawakan kajian puisi secara detail dari segi metode dan hakikatnya. Meskipun begitu, bagian satu ini dapat memberikan pandangan bahwa pemaknaan setiap puisi dapat berbeda setiap orang dan tentu tidak ada salah benarnya. Setiap orang memiliki pengalaman dan pemikirannya masing-masing yang dapat menjadikan arti dalam setiap kata berbeda.
Judul dari episode pertama dari podcast Sajak Tiga Suara ini adalah Halaman satu -- Aku Ingin: Romansa di Setiap Kata. Mula-mula dibuka dengan pembukaan dan perkenalan yang kemudian akan menjadi template tersendiri untuk podcast Sajak Tiga Suara. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan singkat mengenai teori metode dan hakikat puisi dan puisaku ingin i yang akan dibahas, lalu puisi tersebut dibacakan. Selanjutnya, podcaster akan membacakan pandangan, argumen, pemaknaan, dari beberapa pembaca tentang puisi Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono ini. Pada bagian ini dapat terlihat jelas bahwa pemaknaan setiap orang dapat berbeda-beda.
Orang pertama memaknai salah satu bait dengan
"dari diksinya ngegambarin juga kalau kamu cinta sama orang itu harus disampaikan, misalnya 'dengan kata yang tak sempat diucapkan' sama dengan 'isyarat yang tak sempat disampaikan', nah menuruku ya si aku liriknya ini sebelumnya menyesal karena gak sempet nyampein perasaannya, jadi lah dia memutuskan untuk berubah dan nyatain perasaan."
Selanjutnya orang kedua memiliki pendapat atas maknanya yang masih sejalan dengan orang pertama.Â
"Contohnya pada diksi bait ke-6 'awan kepada hujan menjadikannya tiada' perasaan-perasaan sederhana yang dimiliki penyair terlihat kepada orang yang dicintainya. Mengibaratkan seseorang yang mencintai orang yang dicintai dengan hal-hal sederhana yang tak bisa disampaikan."
Berbeda dengan orang ketiga yang berpendapat bahwa menurutnya
"pasalnya dalam bait kedua 'dengan kata yang tak sempat diucapkan' itu seperti sebuah doa yang dipanjatkan meski tak berani diungkapkan."
Dari ketiga pendapat yang mengemukakan pemaknaan pada puisi "Aku Ingin", dapat dilihat perbedaan makna pada setiap orangnya. Pendapat orang pertama pokok dari puisi ini adalah cinta yang tak sempat disampaikan, namun pada akhirnya tersampaikan juga. Memiliki kesamaan dengan orang kedua tentang cinta yang tak bisa disampaikan, tetapi menurut orang kedua cinta itu tidak pernah tersampaikan sehingga itulah yang disebut mencintai dengan sederhana. Sementara itu, berbeda dengan orang ketiga yang memaknainya, yakni perasaan cinta itu bukan tidak sempat atau tidak bisa disampaikan, namun menurutnya itu adalah sebuah doa karena ketidakberanian aku lirik untuk mengungkapkannya.
Puisi sering dianggap sulit dipahami karena memiliki lapisan makna yang kompleks. Seperti yang diungkapkan oleh seorang pengguna di sebuah laman diskusi yang merasa kesulitan memahami puisi. Pandangan tersebut dapat mencerminkan sebagian masyarakat dalam mengapresiasi karya sastra khususnya puisi karena kompleksitasnya. Berdasarkan teori Semiotik Roland Barthes, terutama puisi, karena lapisan makna yang kompleks. Berdasarkan teori Semiotika Roland Barthes, puisi mengandung makna denotatif dan konotatif yang bisa diinterpretasikan berbeda oleh setiap pembaca. Hal ini memperlihatkan bahwa pemaknaan puisi memang bersifat polisemik, di mana pembaca dapat memiliki pemahaman yang beragam.
Melalui media yang memanfaatkan perkembangan teknologi dan era digital,  podcast Sajak Tiga Suara dapat menjadi salah satu gambaran bahwa setiap pembaca dapat memberikan interpretasi yang berbeda terhadap puisi yang sama, seperti yang terlihat pada pemaknaan puisi "Aku Ingin" karya SDD. Dengan demikian, media seperti podcast dapat membantu menjembatani kesenjangan pemahaman ini, sehingga masyarakat dapat lebih menghargai keindahan dan nilai yang ada dalam puisi Indonesia.
Puisi laksana kehidupan, penuh dengan lapisan makna yang menunggu untuk diungkap. Setiap individu memiliki jalan kehidupan yang berbeda, sama halnya dengan puisi, perasaannya dalam setiap orang beragam. Mungkin bukan puisi yang sulit, melainkan keberanian kita untuk memaknainya perlu diperdalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H