Sahabatku Zulfa berasal dari Kediri, si bungsu dari tiga bersaudara. Ibunya telah tiada, ayah dan kakak-kakaknya adalah separuh jiwanya, penguat diantara peluruh, semangat penentram disaat semua penuh dendam, everything.
“Kalau kamu bagaimana Nur Farida Ramadhani?”tanya Anjani.
“Aku ingin kembali ke Demak, tempat tinggalku waktu kecil. Rasanya ingin menjadi pengajar di salah satu sekolah tempat aku dahulu menuntut ilmu.” Senyumku pada sahabatku.
“Sudah ceritanya, ayo dimakan pisang gorengnya mumpung masih hangat. Sahabat yang baik akan mengajak kebaikan di jalan Allah. Semoga kalian seperti itu ya.” Zulfa sudah mengahabiskan tiga pisang goreng.
“Menurutku mencari sahabat itu agak susah. Meskipun begitu setiap orang yang aku temui sekilas/sekedar lewat ada yang menjadi teman atau sahabat, mereka masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri bagi hidupku. Termasuk kalian Zulfa dan Farida mempunyai arti bagi hidupku.”Anjani memeluk kami erat.
Kebersamaan bersama mereka sekitar empat tahun banyak menyadarkanku dan berharap silaturahim tetap terjaga sampai kapanpun.
---------------
Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1438 H..
Sang mentari masih bersembunyi di peraduan, sang fajar menyambut adzan subuh berkumandang.
“Fajar, Farida, Aini...ayo berangkat sholat subuh, sudah adzan.” ibuku mengajak sholat jamaah ke masjid Darussalam.
Kabut menyelimuti dan hawa dingin seperti menusuk tulang, tidak menyurutkan langkah kaki kami menyusuri jalan menuju masjid Darussalam. Indahnya sholat jamaah, indahnya kebersamaan. Tilawah bersama menjadi pelengkap ibadah pagi ini. Ibu membiasakan anak-anaknya tilawah sebelum melakukan aktivitas, dengan tilawah hati menjadi tenang. Semangat membumikan Alqur’an di dalam diri.