Mohon tunggu...
Lidon Siagian
Lidon Siagian Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berbagi dan melayani

Salt and light of the world

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sebagai Penyintas Stroke, walau Sangat Berisiko tetapi Ribuan Alasanku untuk Terus Berlari

4 Juni 2021   13:01 Diperbarui: 4 Juni 2021   13:18 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sejak mulai bisa berjalan mandiri tanpa bantuan walaupun saya harus berjalan pincang dan badanku lumpuh sebelah akibat stroke, setiap ada kesempatan saya selalu latihan. 

Latihan menguatkan otot kaki dan tangan. Hampir setahun lamanya rutinitas itu saya lakukan, sungguh membosankan karena ruang yang terbatas, dan rutinitas yang begitu begitu saja. Walaupun efek yang saya rasakan secara fisik makin kuat, tapi fisikis saya tergangggu. 

Saya ingin bebas bergerak kemana saja, ingin bebas bertemu siapa saja, ingin bebas melakukan apa saja. Tetapi keinginan besar saya tetap kembali lagi ke titik nol karena keterbatasan itu.

Suatu hari setelah setahun penuh seperti terpenjara, terbersit dipikiranku bagaimana kalau saya latihan berlari. Tetapi bagaimana caranya? karena kakiku sebelah kiri masih terasa sangat berat melangkah, badanku sebelah masih kaku dan saat berdiri saja masih terasa tidak seimbang dan masih lemah. 

Pertama sekali yang saya lakukan adalah latihan berjalan cepat sambil pegangan di selasar besi yang ada di taman. Setiap ada kesempatan saya latihan berjalan cepat sambil sekali sekali berjalan seperti melompat yang lama kelamaan seperti berlari. 

Hampir tiga bulan lamanya saya latihan berjalan cepat sambil melompat lompat lompat kecil. Saatnya saya melepaskan pegangan dan berlatih berlari mengikuti gaya orang berlari secara normal.

Saat itu banyak juga orang yang tidak tahu saya sakit stroke, melihat saya berlari dan bertanya kenapa kaki masih pincang tapi dipaksakan berlari? Nanti bisa bisa jatuh dan keseleo. Saya hanya menjawab dengan senyuman dan kadang saya jawab singkat “saya sedang latihan ingin masuk tentara”.

Hampir enam bulan saya latihan berlari. Saya berlari di jalan raya, di perkampungan dimana saja saya selalu berlari. Saat panas matahari , hujan deras, pagi, siang atau sore saya berlari terus. Bahkan meski dalam kondisi lumpuh, saya pernah berlari  jauh dari kampung ke kampung di daerah Pondok Jagung, Tangerang selatan.

Saya berlari terus, dan saya memaksa diri berlari karena saat itu ada beban di pikiran saya yang sangat berat. Berlari saat itu tanpa ketakutan lagi untuk jatuh, berlari bukan untuk mencapai dan menuju suatu tujuan, berlari hanya untuk berusaha melupakan dan melepas. 

Berlari untuk mengakhiri semuanya. Karena beban yang luar biasa berat saat itu, saya berontak, saya merasa hidup tidak adil, saya merasa bahkan Tuhan tidak adil. 

Berlari hampir 3 jam tanpa henti walau pincang dan lambat. Saat itu saya berlari sendiri, berlari tanpa memikirkan waktu dan jarak. Berlari sambil menangis, berteriak dan kepala dipenuhi pertanyaan kenapa dan kenapa?

Olah raga lari adalah salah satu olah raga yang tidak dianjurkan untuk penyintas stroke. Dikategorikan olah raga beresiko tinggi karena olah raga ini membutuhkan fisik dan mental yang sehat dan prima. Orang yang dalam kondisi fisiknya sehatpun kalau mentalnya tidak kuat bisa beresiko. Apalagi untuk berlari sampai berkilo kilo meter.

Mampu berlari juga bukan jadi sebuah acuan untuk pemulihan penderita stroke. Dikatakan Pulih dari stroke bukan karena sudah mampu berlari. Kepulihan hanya bisa diukur dari tingkat kemandirian yang sudah dicapai.

Pertama sekali saya berlari 10 km yaitu  2 tahun sejak saya stroke. Saat perlombaan dimulai, mental saya langsung down karena pelari pelari yang lain saya lihat lincah dan agresif. 

Para pelari yang ada di depan, di samping kiri dan kanan dan yang dari belakang saya  semua berlomba lomba  mendahului saya, saya tertinggal dan saya hampir berhenti, mental saya down. Mata saya menengadah ke atas, melihat gedung gedung tinggi di sekitar daerah Kuningan, Jakarta. 

Seakan saya minta bantu ke gedung gedung pencakar langit itu agar saya diangkat ke depan. Tetapi pada akhirnya semua membisu, saya harus berlari dan berjuang sendiri. 

Selama lintasan 10km akhirnya bisa saya lalui walau sudah tidak masuk range waktu jadi finisher. Saat masuk garis finish, saya bangga, saya merasa terangkat dan merasa saya masih bisa seperti manusia normal lainnya dan saya masih bisa pulih.

Sejak perlombaan lari marathon pertama itu, saya semakin semangat untuk latihan. Saat saya merasa kelelahan, saya kembali flashback 10km yang sudah pernah saya lewati. 

Saya berlari terus dan mengikuti beberapa even marathon sampai ke luar kota. Saya latihan perhari 12km -15km. Sebenarnya itu jarak yang sangat jauh, tapi saat berlari saya selalu berusaha tidak menghitung jarak. Kalau pada saat saya berlari selalu menghitung jarak, mental saya akan lemah karena akan banyak godaan untuk berhenti. 

Pertanyaan pertanyaan akan muncul dalam benak saya,”  kapan sampainya?, masih jauh gak ya? Apa saya istirahat dulu?dll. Tentunya hal itu akan mengganggu konsentrasi  dan akhirnya akan berhenti. Ternyata saya hanya perlu berlari dan berlari terus.

Puncak dari pencapaian saya adalah pada lari  Marathon pada akhir tahun 2019 sebelum pandemi Covid -19 melanda Indonesia dan Dunia. Saya mengikuti Half Marathon 21km pada  event Danamon Run 2019. Saya bisa menyelesaikan lari 21km dalam waktu 2 jam 16 menit. Saat iru saya diliput majalah Bahana dan diberitakan menjadi Pelari Marathon stroke pertama di Indonesia.

Saya sangat bersyukur dalam kondisi tubuh yang belum normal, kaki tangan masih lemah dan kaku saya bisa melampaui pencapaian dari 6000 orang normal  peserta. Banyak dari orang normal dan sehat itu yang jauh ketinggalan di belakang saya,banyak yang tidak mencapai garis finish. Hal ini menaikkan kembali kekuatan dalam diri saya dan kepercayaan diri saya. 

TERNYATA Saya bukan manusia lemah, saya tidak pantas “dikasihani”, saya masih bisa seperti orang normal dan bahkan bisa lebih. Saat ada orang yang melihat saya sebelah mata karena sakit ini, hati saya berkata:” ayok berlari kejar saya 2km saja tidak usah 21km”. Ini tentu bukan hal baik karena setiap ada yang berkata “kasihan” kepada saya, dalam hati saya selalu berkata ayo berlari he..he..he, tetapi hal ini lumayan efektif memulihkan mental dan kepercayan diriku.

Pada awal April 2020 saya berencana mendaftar untuk mengikuti even Borobudur Run 2020 untuk kategori Full Marathon. Tetapi even itu batal dilakukan karena pandemi sudah terjadi dan lockdown sudah diberlakukan. Tetapi semangat Martahon masih  tetap ada bergelora dalam diriku, setiap 2 hari sekali saya tetap latihan walau rasa sakit masih kerap terasa. Hanya ini yang saya miliki, hanya ini yang bisa menguatkan aku dan hanya lari ini yang akan bisa mengubah dan memulihkanku.

Saya harus berlari bekerja untuk membesarkan anak anak yang masih kecil dan memenuhi kebutuhan keluargaku, saya harus berlari menghadapi beribu masalah hidup dan pekerjaan, saya harus berlari untuk menahan rasa sakit yang tidak kelihatan tapi saya rasakan, saya harus berlari untuk mengantarkan anak anak sampai mereka dewasa dan mandiri, saya harus berlari untuk menepis banyak hal, saya harus berlari untuk menghadapi  hal hal yang merendahkan, saya harus berlari  menjaga dan menguatkan hati dan pikiran, saya harus terus berlari .........

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun