Mohon tunggu...
Lia Shoran
Lia Shoran Mohon Tunggu... Lainnya - Bacotholic

Berceloteh, tanpa ada lagi yang bilang 'li, suaranya kecilin dong'

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Badai 2020

30 Desember 2020   00:33 Diperbarui: 24 Januari 2021   07:54 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menggengam tangan Najma yang dingin. Matanya tertutup. Najma pingsan. Sejak sirine ambulans yang nyaring mulai dibunyikan oleh petugas.. Hati saya terus melangitkan doa untuk keselamatan istri dan calon anak saya. Kami sampai di rumah sakit setelah 3 jam keterlambatan. Najma dibawa ke suatu ruangan yang saya tidak tahu persis letaknya.

Saya kira bumi lepas dari orbitnya dan menabrak semua benda disekitarnya kala itu, tubuh saya seperti melayang, kemana perginya teori gravitasi? Apakah gelombang suara juga hilang? Saya hanya bisa mendengar bunyi "nging" melengking setelah dokter yang menangani Najma keluar, dan mengabarkan bahwa calon bayi saya tidak tertolong. Saya marah.

Andai kami tidak terlambat.

Andai tidak ada kekacauan di jalanan.

"Astaghfirullah...Ya Allah atas izinmu kami bernafas, maka jika Engkau menghendaki salah satu dari kami tidak bisa menghirup oksigen yang Engkau hamparkan di muka bumi ini, buatlah hati saya lapang dan ikhlas. Sesungguhnya kami adalah milik-Mu dan kepada-Mu kami kembali, ucap saya dalam hati. Saya takut membayangkan Najma mendengar kabar itu ketika bangun. Ditambah, dua hari kemudian, saya mendapat kabar bahwa ayah dan ibunya juga mengembuskan nafas terakhir akibat virus yang sama. Keganasan virus itu telah merenggut orang-orang terdekat kami dengan cepat.

Satu-satu berita duka itu saya sampaikan lewat panggilan video dua minggu setela itu. Najma sudah membaik. Namun, sedang dalam tahap sterilisasi virus yang mernggut bayi kami. Saya tak diijinkan masuk. Meski sekedar memeluknya menguatkan. Sayan hanya bisa berhubungan dengannya setelah suster berbaik hati memebrikan gadget untuk Najma. 

Saya lega seklai melihat wajahnya. Seseorang yang sangat saya cintai itu tersenyum dari sana. Bibir saya terasa kaku saat berniat menyampaikan berita yang sebenarnya. Saya masih merindukan senyuman itu. Apa boleh buat. Najma harus tahu.

Benar saja saya tidak kuasa melihatnya menangis histeris di dalam sana. Ingin sekali rasanya saya berlari memeluknya, menjadi sandaran ketika beban berat itu menimpanya. Butuh satu bulan baginya untuk pulih dan meninggalkan ruangan isolasi. Ternyata Allah memberi kami ujian yang lain, Najma didiagnosis mengalami PTSD yang cukup parah. 

Bahkan hingga saat ini, 10 tahun setelah kejadian itu. Kamisaya dan anak-anak sudah terbiasa jika Najma over protektif terhadap kesehatan kami, atau tiba-tiba membatalkan rencana perjalanan dan mendadak histeris seperti saat ini. Ini bukan pertama kalinya. Dan saya sering melakukannyamembiarkan dia tenang secara perlahan dalam pelukan saya seperti ini.

"Udah ya, nggak apa-apa. kita nggak jadi pergi hari ini. Bulan depan kita siapin semuanya lebih mateng" ucap saya tersenyum ke arahnya.

"Maaf mas" Najma tertunduk lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun