"Ayolah sayang, semuanya bakal baik-baik aja"
"Dulu juga gitu, semuanya baik-baik aja awalnya" Najma menunduk lagi lebih dalam. Tangan lembut yang sebelumnya saya genggam mulai bergetar. Nafasnya berantakan.
"Kamu kan tau, badai terjadi bahkan dari yang awalnya baik-baik aja."
Pertahanannya runtuh. Najma terisak. Tubuhnya luruh ke lantai. Ya Allah. Hal ini sudah sering kali kami alami ketika hendak bepergian. Post Traumatic Syndrome Disorder atau PTSD yang ia derita sangat mengganggu kehidupan keluarga kami secara umum. Saya ikut terduduk memeluknya. Mendekap tubuh Najma yang bergetar hebat. Ini sudah lebih dari 10 tahun sejak kejadian mengerikan itu. Namun rupanya Najma sama sekali belum bisa melupakannya.
2020, tahun itu merenggut kebahagiaan kami secara singkat. Semuanya terjadi setalah kami baru saja merayakan syukuran 7 bulanan almarhum calon anak kami. Semuanya berjalan sebagaimana seharusnya pada awalnya. Seperti kata Najma, badai datang ketika semuanya baik-baik saja. Hari itu, Najma yang mengenakan gaun putih tulang lengkap dengan jilbab sorban berwarna senada tersenyum bahagia. Manik matanya berbinar. Jangan lupakan tentang lubang mirip lesung di kedua belah pipinya. Manis.
Dia berjalan kesana kemari dengan lincah. Beberapa kali saya ingatkan untuk istirahat. Lihat saja perut berisi kehidupan yang membuncit itu, membuat saya mengernyit khawatir. Setiap kali saya menegurnya, hanya senyuman hangat balasnya.
Jika ada orang yang paling bahagia pada hari itu adalah saya orangnya. Setelah kurang lebih 3 tahun kami merayu Allah agar dipercayai titipan seorang anak, akhirnya Najma mengandung. Seorang bayi laki-laki dengan beban kehidupan yang banyak. Bahkan sebelum mengenal apa itu kehidupan. Kami selalu berdoa semoga kelak menjadi seorang ksatria gagah pembela palestina.Â
Membawa Islam pada kemenangan yang telah dijanjikan. Saya dan Najma mendapatkan ucapan doa dan selamat dari tamu yang datang. Acara itu hanya kami siapkan untuk keluarga dekat saja. Tanpa disangka, tamu yang hadir melebihi perkiraan. Rekan kami dari berbagai daerah juga hadir. Meskipun tanpa undangan. Mungkin ini akibat dari kabar hamilnya Najma yang sangat mengejutkan itu. Mereka semua tahu betapa berat perjuangan kami mendapatkannya.
Petaka dimulai saat itu. Kami menduga salah satu dari tamu, mungkin terpapar virus baru yang sedang ramai diperbincangkan di pelbagai media kala itu. Seperti yang diungkapkan, virus ini menyerang mereka dengan imunitas rendah, seperti perempuan hamil dan lansia. Padahal saat itu di kota kecil kami belum ada yang berubah, semua berjalan normal.Â
Sekali lagi, badai datang pada saat kita mengira semuanya baik-baik saja. Singkatnya tepat tiga hari setelah acara itu Najma mengeluh sesak nafas. Saya panik kemudian memutuskan membawanya ke rumah sakit. Pihak rumah sakit yakin bahwa Najma harus mendapatkan ruangan khusus isolasi yang hanya terdapat di rumah sakit rujukan penanganan Covid-19, letaknya di luar kota. Tanpa banyak berpikir saya menyetujuinya.
"Ya Allah ujian apalagi ini?" keluh saya ketika ambulans yang membawa kami terpaksa memutar arah dua kali lebih jauh karena penutupan jalan akibat demo buruh besarbesaran hari itu. Indonesia memang sedang kacau hari itu. Bangsal rumah sakit penuh, petugas medis kewalahan mengatasi ledakan jumlah pasien, kelaparan akibat PHK, dan kekacauan di jalan-jalan raya.