Mohon tunggu...
Lia Shoran
Lia Shoran Mohon Tunggu... Lainnya - Bacotholic

Berceloteh, tanpa ada lagi yang bilang 'li, suaranya kecilin dong'

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Badai 2020

30 Desember 2020   00:33 Diperbarui: 24 Januari 2021   07:54 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Vitamin yang aku beli kemaren mana ya?" Najma sibuk mengacak-acak kotak p3k yang sengaja kami letakkan di setiap sudut ruangan. Loker kayu kecil berbentuk kotak itu menjadi furniture wajib di rumah ini. Pun di rumah kami yang sebelumnya. Kami juga menyiapkan dua washtafle pencuci tangan lengkap dengan handwash rasa Strowberry, di depan setiap pintu masuk. Rumah ini juga dilengkapi dengan ventilasi udara yang baik dan jendela kaca besar di setiap ruangan. Saya buat ketika tahu bahwa Najma mengidap phobia terhadap ruangan sempit dan gelap.

"Kamu liat nggak yang?" tanyanya, ketika saya sedang sibuk memakai jaket denim berwarna blue jeans membalut kaos putih polos saya.

"Apa sayang apa, kamu nyari apa?" saya berbalik memunggungi cermin, menemukannya sedang berjongkok di depan laci meja kecil sampimg tempat tidur kami. Najma terlihat anggun dengan setelan gamis berwarna merah muda dan pashmina yang bagian ujungnya dililit ke belakang leher.

"Vitamin," Najma mengambil jeda nafas "Tadi malem udah aku siapin."

Najma memang menyukai hal-hal sederhana terkait penampilan. Tapi tentang kesehatan, wanita lulusan sekolah farmasi 15 tahun lalu ini, sangat detail dan teliti. Terkesan agak berlebihan kadang. Tapi kami sudah terbisa. Kedua anak kami sedikit banyak mewarisi kebiasaan kami. Mereka terbiasa melakukan protokol kesehatan yang berlebihan dibanding orang pada umumnya. 

Seperti mencuci tangan dengan sabun setiap saat. Memakai masker sebelum keluar rumah. Menggunakan hand sanitizer setelah bersalaman dan memegang fasilitas umum, juga membawa alat makan sendiri ketika pergi ke restoran. Tidak ada yang salah. 

Maksud saya, kebiasaan baik ini seharusnya diterapkan oleh setiap individu. Bukankah, semua orang tahu bahwa kuman dan virus dapat berpindah lewat sentuhan-sentuhan fisik yang kita lakukan sehari-hari.

"Mending kita undur aja perjalanannya. Kita nggak mungkin pergi tanpa itu" setelah beberapa menit berkutat dengan pencarian terhadap vitamin yang ia maksud, akhirnya Najma bangkit. Wajahnya terlihat lemah dan pasrah.

"Sayang..." saya memegang tanganya menenangkan. Najma mengangkat kepalanya yang sebelumnya tertunduk dalam. Saya paham sekali perasaannya.

"Kita tetep pergi. Nanti kita beli di apotek sepanjang jalan," kata saya meyakinkan.

"Kita nggak bakal kemana-mana dengan satu saja perlengkapan yang kurang," tegasnya.

"Ayolah sayang, semuanya bakal baik-baik aja"

"Dulu juga gitu, semuanya baik-baik aja awalnya" Najma menunduk lagi lebih dalam. Tangan lembut yang sebelumnya saya genggam mulai bergetar. Nafasnya berantakan.

"Kamu kan tau, badai terjadi bahkan dari yang awalnya baik-baik aja."

Pertahanannya runtuh. Najma terisak. Tubuhnya luruh ke lantai. Ya Allah. Hal ini sudah sering kali kami alami ketika hendak bepergian. Post Traumatic Syndrome Disorder atau PTSD yang ia derita sangat mengganggu kehidupan keluarga kami secara umum. Saya ikut terduduk memeluknya. Mendekap tubuh Najma yang bergetar hebat. Ini sudah lebih dari 10 tahun sejak kejadian mengerikan itu. Namun rupanya Najma sama sekali belum bisa melupakannya.

2020, tahun itu merenggut kebahagiaan kami secara singkat. Semuanya terjadi setalah kami baru saja merayakan syukuran 7 bulanan almarhum calon anak kami. Semuanya berjalan sebagaimana seharusnya pada awalnya. Seperti kata Najma, badai datang ketika semuanya baik-baik saja. Hari itu, Najma yang mengenakan gaun putih tulang lengkap dengan jilbab sorban berwarna senada tersenyum bahagia. Manik matanya berbinar. Jangan lupakan tentang lubang mirip lesung di kedua belah pipinya. Manis.

Dia berjalan kesana kemari dengan lincah. Beberapa kali saya ingatkan untuk istirahat. Lihat saja perut berisi kehidupan yang membuncit itu, membuat saya mengernyit khawatir. Setiap kali saya menegurnya, hanya senyuman hangat balasnya.

Jika ada orang yang paling bahagia pada hari itu adalah saya orangnya. Setelah kurang lebih 3 tahun kami merayu Allah agar dipercayai titipan seorang anak, akhirnya Najma mengandung. Seorang bayi laki-laki dengan beban kehidupan yang banyak. Bahkan sebelum mengenal apa itu kehidupan. Kami selalu berdoa semoga kelak menjadi seorang ksatria gagah pembela palestina. 

Membawa Islam pada kemenangan yang telah dijanjikan. Saya dan Najma mendapatkan ucapan doa dan selamat dari tamu yang datang. Acara itu hanya kami siapkan untuk keluarga dekat saja. Tanpa disangka, tamu yang hadir melebihi perkiraan. Rekan kami dari berbagai daerah juga hadir. Meskipun tanpa undangan. Mungkin ini akibat dari kabar hamilnya Najma yang sangat mengejutkan itu. Mereka semua tahu betapa berat perjuangan kami mendapatkannya.

Petaka dimulai saat itu. Kami menduga salah satu dari tamu, mungkin terpapar virus baru yang sedang ramai diperbincangkan di pelbagai media kala itu. Seperti yang diungkapkan, virus ini menyerang mereka dengan imunitas rendah, seperti perempuan hamil dan lansia. Padahal saat itu di kota kecil kami belum ada yang berubah, semua berjalan normal. 

Sekali lagi, badai datang pada saat kita mengira semuanya baik-baik saja. Singkatnya tepat tiga hari setelah acara itu Najma mengeluh sesak nafas. Saya panik kemudian memutuskan membawanya ke rumah sakit. Pihak rumah sakit yakin bahwa Najma harus mendapatkan ruangan khusus isolasi yang hanya terdapat di rumah sakit rujukan penanganan Covid-19, letaknya di luar kota. Tanpa banyak berpikir saya menyetujuinya.

"Ya Allah ujian apalagi ini?" keluh saya ketika ambulans yang membawa kami terpaksa memutar arah dua kali lebih jauh karena penutupan jalan akibat demo buruh besarbesaran hari itu. Indonesia memang sedang kacau hari itu. Bangsal rumah sakit penuh, petugas medis kewalahan mengatasi ledakan jumlah pasien, kelaparan akibat PHK, dan kekacauan di jalan-jalan raya.

Saya menggengam tangan Najma yang dingin. Matanya tertutup. Najma pingsan. Sejak sirine ambulans yang nyaring mulai dibunyikan oleh petugas.. Hati saya terus melangitkan doa untuk keselamatan istri dan calon anak saya. Kami sampai di rumah sakit setelah 3 jam keterlambatan. Najma dibawa ke suatu ruangan yang saya tidak tahu persis letaknya.

Saya kira bumi lepas dari orbitnya dan menabrak semua benda disekitarnya kala itu, tubuh saya seperti melayang, kemana perginya teori gravitasi? Apakah gelombang suara juga hilang? Saya hanya bisa mendengar bunyi "nging" melengking setelah dokter yang menangani Najma keluar, dan mengabarkan bahwa calon bayi saya tidak tertolong. Saya marah.

Andai kami tidak terlambat.

Andai tidak ada kekacauan di jalanan.

"Astaghfirullah...Ya Allah atas izinmu kami bernafas, maka jika Engkau menghendaki salah satu dari kami tidak bisa menghirup oksigen yang Engkau hamparkan di muka bumi ini, buatlah hati saya lapang dan ikhlas. Sesungguhnya kami adalah milik-Mu dan kepada-Mu kami kembali, ucap saya dalam hati. Saya takut membayangkan Najma mendengar kabar itu ketika bangun. Ditambah, dua hari kemudian, saya mendapat kabar bahwa ayah dan ibunya juga mengembuskan nafas terakhir akibat virus yang sama. Keganasan virus itu telah merenggut orang-orang terdekat kami dengan cepat.

Satu-satu berita duka itu saya sampaikan lewat panggilan video dua minggu setela itu. Najma sudah membaik. Namun, sedang dalam tahap sterilisasi virus yang mernggut bayi kami. Saya tak diijinkan masuk. Meski sekedar memeluknya menguatkan. Sayan hanya bisa berhubungan dengannya setelah suster berbaik hati memebrikan gadget untuk Najma. 

Saya lega seklai melihat wajahnya. Seseorang yang sangat saya cintai itu tersenyum dari sana. Bibir saya terasa kaku saat berniat menyampaikan berita yang sebenarnya. Saya masih merindukan senyuman itu. Apa boleh buat. Najma harus tahu.

Benar saja saya tidak kuasa melihatnya menangis histeris di dalam sana. Ingin sekali rasanya saya berlari memeluknya, menjadi sandaran ketika beban berat itu menimpanya. Butuh satu bulan baginya untuk pulih dan meninggalkan ruangan isolasi. Ternyata Allah memberi kami ujian yang lain, Najma didiagnosis mengalami PTSD yang cukup parah. 

Bahkan hingga saat ini, 10 tahun setelah kejadian itu. Kamisaya dan anak-anak sudah terbiasa jika Najma over protektif terhadap kesehatan kami, atau tiba-tiba membatalkan rencana perjalanan dan mendadak histeris seperti saat ini. Ini bukan pertama kalinya. Dan saya sering melakukannyamembiarkan dia tenang secara perlahan dalam pelukan saya seperti ini.

"Udah ya, nggak apa-apa. kita nggak jadi pergi hari ini. Bulan depan kita siapin semuanya lebih mateng" ucap saya tersenyum ke arahnya.

"Maaf mas" Najma tertunduk lagi.

"Hei, nggak ada yang salah. Apapun yang terjadi di hidup kita hari ini ataupun kemarin adalah kehendak Allah, kamu harus ikhlas, harus kuat. Kita camping di halaman bekalang aja" Najma tersenyum kemudian mengeratkan pelukan lagi.

Seringkali kita merasa bahwa rencana kita sempurna. Kita lupa bahwa ada sang "sutradara" kehidupan yang lebih berhak atas hidup kita. Badai yang terjadi di Indonesia 10 tahun lalu akan menjadi kenangan yang tak terlupakan untuk kami, pun orang-orang lain. Semoga menjadi pengalaman berharga bahwa kemungkinan terjadi badai saat awalnya baik-baik saja itu ada. Tugas kita adalah untuk terus menjaga perasangka baik terhadap pencipta alam semesta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun