Mohon tunggu...
Lian Dewi Angellia
Lian Dewi Angellia Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Saya ibu rumah tangga dari 1 orang anak laki-laki, yang berdomisili di kota Bontang mengikuti kemana pasangan sayapku terbang. Hobi bersosialisi, menulis, dan memasak.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sebuah Renungan Untuk Orangtua Agar Tidak Berlebihan Mengutarakan Rasa Bangga Terhadap Anak Pada Orang Lain

15 Mei 2011   00:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:41 1656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah wajar kita sebagai orang tua bangga sekali dengan apa yg telah dicapai anak. Suatu perasaan alamiah, apalagi kita yang sehari2 menghadapi anak dari kecil hingga besar kelak. Kenapa kita bahagia dan bangga ketika anak menunjukkan ke^bisa^annya yang baru. Menurut saya karena tadinya anak tidak bisa apa2 kemudian kita sebagai orang tua merasa mengajari ataupun selalu mendampinginya, hingga si anak bisa, hal itu yang membuat kebahagiaan tak terkira bangi orang tua.

Saya sendiri, ketika mempunyai anak pertama yang alhamdulillah lahir normal, dalam setiap pertumbuhannya selalu ada saja sesuatu yang baru dibuatnya. Misalkan ketika bisa mulai memanggil Abi utk pertama kalinya di usia 11 bulan. Rasa bahagia itu menyeruak mendengarkan celotehan demi celotehan di usia selanjutnya walaupun kosakatanya sedikit sekali. Ketika si kecil sudah mulai menyebutkan kata demi kata di usianya skitar 20 bulanan yang terbilang telat dibandingkan teman2nya, bisa makan sendiri, sudah lepas dr popok, belajar angka dan huruf, dan setiap perkembangannya yang walaupun kecil tapi terasa sangat bermakna dan membahagiakan. Tak pelak, kadang di depan abinya yang sehari-hari kerja, saya ceritakan dengan bangga ttg kepintaran si kecil. Dan ketika orang tua saya atau mertua saya menelpon, dengan bangganya saya ceritakan setiap tahap perkembangan si kecil.

Hmmm, tapi semua yang kuceritakan adalah dunia kecilku dengan suami dan anakku. Aku masih mempunyai pandangan yang seharusnya lebih luas keluar, untuk tidak terlalu berlebihan membanggakan anakku. Terkadang suamiku berkata, "wah anak kita pintar ya dek sudah mulai bisa ini itu, tapi anak2 seusianya memang masanya seperti itu kali, malah ada yang bs ngomong lebih cepat lho kayak anaknya si A, si B, si C". Yaaa, aku memang hanya melihat sisi ke^bisa^an anakku saja. Aku tahu, suamiku berkata demikian supaya aku tidak terlalu *berlebihan* membanggakan anak dan supaya aku bersikap biasa ketika bercerita kepada orang lain mengenai pertumbuhan anakku, namun dengan tetap memberikan penghargaan terhadap anak utk sbg motivasi.

Bagaimana dengan anak2 temanku yang lainnya? Memang benar kata suamiku, ketika si kecilku sekarang di usianya 23 bulan baru belajar awal utk menyusun kalimat karena bicara kata per katanya masih belum jelas, anak2 lain seusianya bahkan yang lebih muda pun sudah lancar berbicara dan bercerita. Ketika satu waktu aku bertanya kepada temanku kapan anaknya sudah bs menyebut angka urut, teman berkata di usia 8 bulan anaknya sudah bs nyebut angka 1-10 (hanya bermaksud menjawab pertanyaan saya, tdk bermaksud lebih lho). Dan ketika tanya mama saya, kapan saya dan saudara2 sekandung saya mulai bisa berbicara, mama saya menjawab "Di usia setahun anak2 mama udah pada bisa bicara kok..". Dan ketika saya tanya mertua kapan abinya si kecil mulai bisa bicara, mertua menjawab "Agak telat nduk, di usia 20 bulan lebih, malah yang paling bontot anak ibu, usia 2 th lebih blm bs ngomong sampe ibu takut klo2 bisu. Alhamdulillah sekarang gedhenya udah kuliah malah jd cerewet gitu hehehehe". Itulah, warna warni kekhasan anak. Tidak perlu kita banding2kan cepat atau lambat kemampuan anak dalam melakukan sesuatu. Semoga kelak, anak2 kita nantinya bisa berkompeten mjd insan yang bermanfaat.

Bangga terhadap anak tentu saja sah2 saja, dan menceritakan prestasi anak kepada orang lain juga wajar saja kok selama hal tersebut tidak berlebihan dan tidak bermaksud membanding2kan dengan anak lain. Justru janggal juga kalau dalam bergaul dengan tetangga atau teman, kita sama sekali tidak pernah menceritakan tentang anak, hehehe... (Karena saya paling seneng lho denger cerita ibu2 ttg anak2 mereka beserta warna warninya). Wajar saja menurut seorang ibu bercerita misal demikian "alhamdulillah si kecil dah mulai berdiri, semoga bisa lekas jalan ya", tiap ibu juga pasti girang sekali bukan dg perkembangan buah hatinya yg demikian. Tapi pasti beda rasanya dengan pernyataan seperti ini : "alhamdulillah si kecil dah bs berdiri, sedangkan teman2nya di usia yang sama masih pada merangkak malah ada yang blm bisa merangkak alias masih ngesot lho, hebat ya anak saya, smoga cepat jalan ya".... (contoh fiksi bgt ^^,).. Grrrrrrhhh, yang denger pasti langsung pada ilfil wkwkwk.....

Tidak ada orang tua yang tak ingin anaknya berprestasi di sekolah dan di manapun berada. Kekaguman saya kepada pernyataan seorang kawan : "siapa sih yang ga pengen anak kita pinter dan juara satu, tapi kalaupun anakku memang blm mampu juara satu ya kenapa harus dipaksakan, aku hanya berharap di kehidupannya kelak, anak2ku bs survive berjuang utk hidup di manapun mereka berada dan mempunyai perilaku yang baik. bermanfaat bagi orang banyak dan tidak merugikan orang". Senada dengan suamiku yang pernah mengatakan, "Janganlah menuntut anak2 kita nanti utk selalu menjadi yang nomor satu, tapi didiklah mereka menjadi pribadi yang konsisten dan bertanggung jawab, contohnya konsisten rajin belajar utk mencari ilmu, menekankan lebih pada proses bukan pada hasil".

Pastinya masing2 orang tua mempunyai prinsip berbeda2 dalam pola asuh dan mendidik anak. Itulah warna warni kehidupan. Semoga Alloh senantiasa memudahkan dan melapangkan kita dalam mendidik anak selama kita berusaha dengan baik dan benar, sehingga nantinya ketika anak kita tumbuh jadi manusia dewasa, kita sebagai orang tua dikaruniai kebaikan-kebaikannya (keshalihan, kemanfaatan ilmu, kemuliaan akhlak, dan ketaatannya kepada Alloh, Rasul, dan orang tuanya). Amiin.

(Mohon maaf, di tulisan ini saya tidak bermaksud menggurui atau hal lain lho ya, hanya ingin berbagi karena saya pribadi kadang *tanpa sadar* melakukan kesalahan2 dalam mengekspresikan rasa bangga terhadap anak, mungkin ada hal2 yang kurang dari saya, bisa ditambahi oleh yang berpengalaman) -maklum sy msh muda seperti daun-

Bontang,16 Februari 2011

Umminya Ibrahim

*yang masih harus bijak dan sabar dalam mendidik thole dan adik2nya kelak

***********************

Berikut ini satu artikel yang saya baca dari tulisan yang dikutip oleh drg. Olla Budiarko (Rumahgigiwika Balikpapan)

Dikutip beliau dari buku: Dengan Pujian, Bukan Kemarahan (rahasia pendidikan di negeri Sakura) karya Nesia Andriana

***********************

Coba kita simak beberapa contoh ungkapan yang kerap kali terdengar di kehidupan kita sehari-hari:

* om dulu bisa membaca koran dikelas 4 SD

* anaknya teman itu masih kelas 2 SD sudah fasih membaca dan menulis dalam bahasa inggris

* anakku sudah fasih memainkan piano padahal masih kelas 2SD

* anak saya pinter lho matematikanya

Dsbnya

Ungkapan-ungkapan itu sering saya dengar dan membuat saya sering merasa heran,mengapa orang-orang banyak yang saling adu kemampuan anak-anak kecil mereka?? saya jadi bertanya-tanya, apakah betul kemampuan masa kecil mereka akan menentukan masa depan yang bersangkutan?

Dari apa yang saya lihat, tidak demikian. Cukup banyak saudara, famili, atau sekedar kenalan semasa kecilnya dulu menjadi kebanggaan orangtua: juara satu, cepat membaca, cepat jalan, berbadan montok dan (sepertinya) sehat, bahkan cepat tumbuh gigi, ternyata setelah dewasa, "tertatih-tatih" menjalani hidup. Persoalan yang dihadapi ketika manusia telah dewasa ternyata begitu kompleks dan sulit diperkirakan ketika mereka masih kecil. Persoalan yang umumnya tidak ada lagi hubungannya dengan prestasi masa kecil seperti cepat berjalan, berbadan montok, kuat menghafal, jago matematika, dan sederet prestasi yang banyak orangtua suka pertandingkan itu. Saya jadi berpikir bahwa kebanggaan atas prestasi masa kecil anak, bisa berakibat negatif melemahkan posisi sebagai pendidik bagi para orangtua. Di atas langit masih ada langit, begitu bunyi pepatah, Bila orangtua berbangga-bangga dengan prestasi anak, maka ketika mereka bertemu dengan anak yang lebih hebat, mungkin cara pandang terhadap anak sendiri jadi berubah. Dari bangga atau kagum jadi kecewa dan merendahkan kemampuan anak. Saya pikir ini akan mempengaruhi kebijaksanaan orangtua karena sudah tidak siap lagi menerima kondisi anak apa adanya. Melihat anak dengan tolak ukur orang lain.

Bagaimana dengan anak itu sendiri? yang anak butuhkan adalah penerimaan utuh/total dari orangtuanya sendiri, karena setiap anak adalah individu yang berdiri sendiri, punya kekhasan sendiri. Semoga kita mampu lebih bijak menyikapi hal-hal demikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun