Menjadi seorang istri adalah dambaan hampir setiap wanita. Karena ada juga wanita yang memilih untuk tidak menikah dan itu artinya,mereka memilih untuk tidak menjadi istri.
Aku menjadi seorang istri,sekitar 7 tahun yang lalu. Ketika tanpa aku duga,seorang pemuda ganteng dan sederhana mengajakku menikah. Menjadi istri pada awal pernikahan bukan hal yang mudah buatku. Aku dan suamiku sempat berpisah tempat karena kami masih bekerja di kota yang berbeda. Dan ketika aku positif hamil,aku mengambil keputusan untuk resign dan mengikuti suamiku.
Setelah anak pertama lahir dan aku kembali memutuskan untuk bekerja,tugas menjadi seorang istri mulai berat kurasakan. Aku harus berbagi peran, waktu dan tentu saja tenaga.
Dalam karierku, boleh dibilang aku termasuk karyawan yang gesit,cepat tanggap dan bisa mengambil keputusan dengan baik. Aku memiliki totalitas dalam pekerjaanku dan aku sangat menikmatinya. Karena aku memang suka bekerja. Di rumah, aku seorang wanita beranak satu yang harus menyediakan waktuku untuk merawat anakku, menemaninya bermain dan memberikan kedamaian yang selayaknya diberikan seorang ibu kepada anaknya. Aku juga seorang istri yang harus melayani dan mengasihi suamiku,menyiapkan baju kerjanya,menyiapkan bekalnya ke kantor dan tugas tugas lain sewajarnya seorang istri.
Waktu terus berjalan dan aku mulai mengalami banyak sekali tekanan. Baik dalam pekerjaan ataupun dalam rumah tanggaku. Konflik bermunculan satu per satu bahkan kadang bersamaan. Ketika aku pulang kantor,aku mendapati rumah yang berantakan, aku mulai emosi. Aku paling benci berantakan!! Akhirnya mau tidak mau,aku harus membersihkan rumah diantara lelahku sepulang bekerja. Karena saat itu aku mempunyai pembantu yang sore hari dia pulang. Belum lagi anakku yang minta aku membacakan buku cerita untuknya. Belum lagi suamiku yang meminta aku memasakkan sesuatu, Sampai sampai aku sering nggak mandi sepulang kantor,karena setelah urusan rumah selesai,aku langsung tertidur. Dan itu kualami setiap hari. Dan jujur saja,aku lebih enjoy berada di kantor daripada di lingkungan keluargaku. Kantor tempat aku melampiaskan penatku menjadi seorang istri. Di kantor,aku menjadi wanita yang bebas dan mandiri.
Hingga aku mencapai pada suatu titik kejenuhan yang teramat sangat!! Aku marah pada diriku sendiri jika aku mengerjakan pekerjaan rumah tanggaku. Imbasnya,aku menjadi emosi kepada anakku. Aku ingin pergi,aku ingin istirahat,aku ingin mempunyai waktu hanya untukku. Aku lelah menjadi seorang istri..... Sampai pada puncak kekesalanku menjadi seorang istri,aku berkata pada Tuhan, "Tuhan....aku bosan menjadi seorang istri!!" Lalu aku cuma bisa menangis,entah apa yang aku tangisi. Dan tak ada jawaban apapun dari Tuhan atas keluhanku. Justru yang muncul adalah pertanyaan pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu jawabnya. Saat aku menangis,meratapi nasibku,hati kecilku bertanya...
Lalu,kalo kamu bosan menjadi istri,kamu mau bagaimana?
Apa kamu akan pergi begitu saja dari rumah,meninggalkan anak dan suamimu?
Apa kamu mau bilang ke suamimu, "Aku bosan,Mas jadi istrimu. Kita sudahi saja pernikahan ini"?
Ini bukan pacaran,ini pernikahan,nggak semudah bilang putus kayak orang pacaran.
Aku bergulat dengan perasaanku sendiri. Aku tak tahu kemana aku mencari jalan untuk mengusir rasa bosan yang rasanya sudah menggunung itu. Meski orang lain tak pernah tau apa yang terjadi dalam batinku. Mereka selalu melihat aku baik baik saja,lancar lancar saja membagi waktu antara karier dan rumah tangga. Mereka tidak pernah tau,di relung hatiku yang terdalam,aku sering menjerit, meronta dan ingin melawan keadaan ini. Apalagi,aku tak lagi punya tempat untuk melampiaskan penatku menjadi istri,seperti saat aku masih bekerja dulu.
Bahkan sampai aku melahirkan anak keduaku,aku masih saja memendam kemelut itu di hidupku. Apalagi aku memutuskan untuk tidak bekerja dan full time mengurus rumah tangga. Rasanya,pekerjaan rumah itu kok lebih berat daripada pekerjaan di kantor. Ditambah lagi,aku punya bayi kecil dan berat badanku mulai overweight. Tapi aku mau menyalahkan siapa???? Memang itulah kondisi yang harus aku alami kan??
Akhirnya pada suatu malam,saat anak anak dan suamiku sudah tidur. Aku terdiam, merenungi apa yang sedang aku alami,aku bertanya tanya apa sih yang salah dalam hidupku..... Saat itu satu per satu benang kusut yang membelenggu batinku mulai bisa ku urai..... Dan setelah perenungan itu,aku mulai mencari "wangsit". Tentu saja aku tidak mencarinya sambil bersemedi di kuburan ataupun di gunung atau di tempat tempat yang dianggap mampu memberikan wangsit. Saat suamiku bekerja,anak pertamaku sekolah dan bayiku tertidur,saat itulah aku mencari wangsit. Aku membaca buku buku tentang spiritualitas seorang wanita. Aku membaca buku favoritku sejak aku kuliah, Chicken Soup. Buku yang berisi kisah kisah inspiratif.
Dan suamiku tahu betul,aku adalah seorang wanita yang aktif, yang selalu haus akan wawasan. Dia tidak ingin,setelah aku melepas karierku,aku menjadi wanita yang pasif, yang buta akan berita dunia dan mati gaya. Lalu,suamiku membelikan aku DVD tentang kisah para ibu rumah tangga, Desperate Housewives. Dan suamiku membelikan aku seperangkat komputer, agar aku bisa browsing kapanpun aku sempat. Dari apa yang aku baca, aku dengar dan aku lihat,aku mengambil satu kesimpulan bahwa, dimana mana setiap istri pasti mempunyai konflik batin dalam hidupnya. Sekarang bagaimana kita saja menyikapi hal itu. Apakah kita akan tetap membiarkan diri kita tenggelam dalam konflik yang tak berkesudahan? Atau kita memilih jalan damai,mencari solusi untuk menyelesaikan konflik itu? Pilihan ada ditanganku. Dan aku memilih untuk mencari jalan damai.
Sejak itu hidupku mulai berubah. Aku mulai bisa mengambil satu per satu ilmu yang aku dapatkan dari buku,internet bahkan dari curhatan teman. Aku mulai menyadari kodratku sebagai seorang istri. Dan setelah aku merasakan bahwa aku sudah menemukan wangsit itu,aku mulai nyaman menjalani hari hariku. Aku melangkah riang dan penuh senyum di hati saat aku harus memberikan kasih sayangku bagi suamiku. Seolah tak ada lagi beban di hatiku. Hingga suatu malam,aku bersujud dalam doa,aku berkata, "Tuhan,menjadi seorang istri itu tenyata indah. Dan aku bersyukur karena Engkau memberiku "jabatan" sebagai sorang istri."
Suatu proses yang cukup menyita waktu,tenaga dan pikiranku untuk bisa menyadari dan menerima dengan tulus posisiku sebagai istri. Dan kini, tak ada yang aku sesali lagi. Terlebih saat aku menyadari peran suamiku dalam hidupku. Dia memang bukan lelaki yang romantis,tapi dia selalu memberiku kejutan kejutan kecil yang bisa meluluh lantakkan hatiku. Dia memang bukan lelaki yang bisa menjagaku 24 jam,tapi dia mengajarkan aku untuk menjadi istri yang mandiri. Yang tetap bisa survive saat suami dalam kondisi terburuk, yang tetap kuat dan tak manja..... Dan aku menyadari betul dia adalah lelaki terbaik yang telah dipilihkan Tuhan untuk menjadi suamiku. Dan aku bersyukur tiada habisnya, karena aku telah menjadi istrinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H