Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Lainnya - ASN di KLHK

Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Masjid Pathok Negara

17 Januari 2022   19:05 Diperbarui: 17 Januari 2022   19:25 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjanjian Giyanti merupakan sejarah dimana Kerajaan Mataram Islam terbagi menjadi dua wilayah. Sebelah timur Sungai Opak merupakan wilayah Kerajaan Surakarta dan sebelah baratnya merupakan wilayah Kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat.

Sultan Hamengku Buwono (HB) I pada tahun 1757-1758 membangun empat Masjid Pathok Negara di Dongkelan, Mlangi, Plosokuning, dan Babadan sebagai benteng fisik dan pertahanan. Pengelolaan empat Masjid ini sampai sekarang oleh Keraton dan dibantu abdi dalem dan takmir. Bangunan bersejarah ini pada tahun 2010 ditetapkan sebagai Cagar Budaya.

Rohman sudah mengunjungi tiga masjid yang terletak di Dongkelan saat bersilaturahmi bersama teman-teman SMA di rumah Sinta. Masjid di Plosokuning saat Ia ngowes menyusuri Selokan Mataram ke arah timur menuju Prambanan dan seperti ada kekuatan yang mengarahkan ke masjid tersebut. Sedangkan yang di Mlangi saat bersilaturahmi ke rumah Maesaroh.

Masjid Pathok Negoro, menjadi pusat kegiatan masyarakat di sekitarnya, selain sebagai tempat ibadah, juga berfungsi untuk kegiatan sosial kemasyarakatan.

Kata suami Santi, kegiatan pengajian, tadarusan, sarasehan, musyawarah, kajian kitab kuning, bahkan kesenian tradisional. Ketika bulan Ramadan, sejak sore menjelang buka bersama berupa pengajian anak-anak, orang tua, tarawih, tadarus, itikaf, salat malam, dan sahur bersama.

"Bangunan Masjid Pathok Negara sama dengan Masjid Gede di komplek Kraton. Bangunan inti masjid terdapat makam, kolam dan sekolah TK," kata calon abdi dalem yang sekarang sebagai juru kunci makam ini.

Suasana keagamaan di Masjid Pathok Negara Mlangi juga dapat dilihat dari banyaknya pesantren NU di sekitarnya. Saat bersilaturahmi ke rumah Maesaroh, Rohman bertanya kepada bapak-bapak yang sedang mengibrol di depan masjid.

"Nyuwun sewu, ajeng tanglet dalemipun bu Maesaroh meniko pundi njih pak?"

"Maesaroh......?" Nampak bapak-bapak saling berpandangan satu sama lainya tanda tidak mengenal nama yang disebut Rohman.

"Terosipun sekitar Masjid Pathok Negara Mlangi. O njih mangke kulo telpon kemawon. Suwun," kata Rohman sambil mencari tempat duduk untuk telpon Maesaroh.

Begitu duduk, Rohman melihat sosok orang bermotor berhenti dan menerima telpon. Sosok itu sudah dikenalnya walau masih berhelm dan bermasker.

"Koe wis tekan po Pri? Aku wis tekan ngarep Masjid ki."

Nampaknya Ia kebablasen dan disuruh mbalik. "Brati aku kudu mbalik ki?" Kata sosok berbadan gendut ini.

Ketika Ia membalikan motornya, Rohman mencegatnya dan mengagetkannya, "Dor....!"

"Woh... Wedhus..... Kaget aku Man!" Sentak Hendro.

"Endi omahe Maesaroh Dro?"

"100 meteran seko ringroad. Prihatni wis tekan kono. Ayok!"

Mereka berdua balik kanan dan tidak lama sudah nampak perempuan berjilbab ngawe-awe di sebelah kanan jalan.

Rumah Maesaroh tampak besar dengan bangunan dua lantai. Lantai bawah sepertinya untuk tempat tinggal dan lantai atas untuk kos-kosan.

"Aku sering ngedrop penumpang nang kene. Gak ngerti ternyata iki omahmu to May (teman-teman sering memangilnya May)," kata Hendro.

"Omahku ki mburi kono rung dadi. Ngarepan kene ngone kakangku. Aula iki enggo pengajian, pertemuan lan perpustakaan," kata dosen UII ini sambil menunjukan kitab-kitab dalam rak yang cukup besar.

"Sak ngertiku omahmu mbiyen kan cedak Masjid Pathok Negara to May?" Tanya Prihatni.

"Ning aku takon omahe Maesaroh karo bapak-bapak kok do ra reti yo?" Kata Rohman.

"Jenengku ki nang kene dudu Maesaroh, tapi Ema."

"Nanok telat ki. Jare ono gawean tuku lan masak ndas wedhus," ucap Hendro melihat pesan di HP nya.

"Welah wis umur ijih seneng mangani iwak wedhus to cah. Piye pendapate ahli gizi?" Kata Rohman.

"Yo asal kadang-kadang ae gak popo sih. Diokehi buah lan sayur aja di usia menjelang kepala lima seperti kita ini," kata Prihatni.

"Jare makanan berat ki apike sak durunge jam 7 embengi yo Pri?" Tanya May.

"Yo setelah jam 7 ki menu ne sing ringan-ringan ae, koyo buah po sayuran."

Mendengar jawaban Prihatni, Nanok yang baru saja gabung menjawab, "wah nek aku yo gak iso turu. Lah musti cacing neng njero wetengku do protes," kata Nanok.

Setelah ngobrol santai sambil menikmati sajian jajanan pasar dan teh anget, suami May membawakan soto ayam.

"Wah ampun repot-repot pak," kata Mbah Slamet basa-basi.

"Mboten, wong niki soto gawean dewe kok mas."

Setelah sarapan soto, mereka membicarakan uang sumbangan dari rekan-rekan Smaven A. 1.1. yang dilaporkan Nanok selaku pemegang amanah. Mereka sepakat agar dilaporkan saldo terakhir dan meminta pendapat penggunaannya di WAG Smaven. A. 1.1.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun