Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Lainnya - ASN di KLHK

Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Parman (2)

8 Januari 2022   20:38 Diperbarui: 11 Januari 2022   20:24 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jarak kampungku ke Jogja sekitar 250 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda 4 selama 4-5 jam. Jika menggunakan bus dapat ditempuh 2 kali. Pertama dari kampung ke terminal Purwokerto dulu yang ditempuh sekitar 1 jam, dan kemudian lanjut dengan bus jurusan Purwokerto ke Jogja sekitar 4 jam.

Bus patas yang aku tumpangi ini cukup nyaman dengan tempat duduk 2 di kanan dan 2 di kiri, ber AC, ada TV beserta DVD, serta setiap penumpang mendapatkan 1 botol soft drink. Film yang ditayangkan adalah Warkop yang judulnya "Maju Kena, Mundur Kena". Film ini waktu itu sudah termasuk film lama.

Seingatku film itu sudah aku tonton dengan Zaenul waktu SD. Tempat dudukku kebetulan di pinggir sehingga bisa melihat pemandangan selama perjalanan. Kadang aku teringat kembali memori masa SD maupun SMP di kampung.

Kebiasaan main bola pas istirahat dan sore hari mengingatkan aku pada teman-teman SD yang sekarang entah kemana. Waktu SMP, teman-temanku ada yang sama waktu SD dan banyak yang baru. Teman-teman SMP yang teringat adalah saat malam minggu pas bulan purnama mecari belut di sawah malam hari.

Kami biasanya berangkat sekitar pukul 21.00 WIB dengan membawa petromak dan bendo untuk membacok belut yang berenang di sawah yang berair cukup banyak. Yanto, Tomo, Nur Hadi adalah teman-teman mbacok belut. Belut kami goreng di gudang bagian selatan rumahku. Untuk kegiatan ini, bapak membolehkan karena disamping sudah kenal teman-temanku juga untuk mengisi malam minggu untuk refreshing.

Termasuk teman-teman mesjid tempat Mas Ermanu membina anak-anak muda dengan mengajarkan ilmu agama. Rizal, Heri, Japra, Andri, dan Mas Yani tiba-tiba muncul diingatan.

Tak terasa beberapa saat akan segera tiba di kota Jogja. Kernet menyebut nama Gamping sebagai tempat turun pertama para penumpang sebelum masuk kota Jogja. Mas Erfi pun bilang, "Man, iki meh tekan. Bentar lagi kita turun di Wirobrajan."

 "Siap mas!" Jawabku singkat.

Kami turun di depan kantor Pusat Primagama di Wirobrajan. Ini adalah bimbingan belajar paling keren di Jogja waktu itu. Dalam batin, ini tempat Mas Ermanu menjadi salah satu tentornya.

"Kita makan siang dulu ya Man," kata Mas Erfi yang melihat jam tangannya menunjukan pukul 14.00 WIB.

"Njih mas." Jawabku.

"Kita jamak dan qoshor aja ya Man sholatnya?" Usul Mas Erfi.

"Njih mas." Jawabku lagi.

Aku harus menuruti apa saja yang diarahkan oleh Mas Erfi. Tadi bapak menasati. "Koe manut ae karo Mas Erfi dan Mas Ermanu. Ojo ngeyelan."

Kami makan di salah satu warung makan di pingir Jalan Piere Tendean, Wirobrajan. Aku penasaran dengan gudeg yang merupakan ciri khas Jogja pake suir ayam dan gorengan tempe. Ternyata rasa gudeg itu manis dan aneh di lidah. Namun aku doyan juga karena pas lapar-laparnya.

Jarak antara rumah makan dengan kos-kosan Mas Erfi tidaklah jauh. Sebelum sampe kos-kosan adzan azhar sudah berkumandang dan kami putuskan untuk sholat di masjid yang tidak jauh dari kos-kosan. Di masjid kami ketemu Mas Yani, adik kandung dari Mas Erfi dan Mas Ermanu. Mas Yani ini kelas 2 di SMAN II Yogyakarta.

Setelah sampe kos-kosan kami berdua istirahat sejenak dan mandi sore. Kos-kosan cukup bagus tapi kata Mas Erfi relatif murah. Ada 4 kamar dengan ukuran masing-masing 3 x 4 meter, ada ruang tamu dan juga tempat sholat untuk 10 orang. Mas Ermanu belum pulang karena selain kuliah di UGM yang jaraknya jauh dan juga mengajar bimbingan belajar di beberapa cabang Primagama di Jogja.

Setelah sholat magrib berjamaah di Mesjid dan sekalian makan malam di warung yang berbeda dengan makan siang tadi kami ngobrol bersama di ruang tamu. Para penghuni kos-kosan sudah komplit. Kamar pertama dari pintu masuk adalah Soni dari Kebumen yang sekolah di Muhammadiyah 1 (MUHI) bareng Mas Erfi, kamar ke dua dihuni Mas Erfi dan Mas Yani, kamar ketiga Mas Ermanu, dan yang paling ujung adalah Haris dari Bumiayu juga yang sekolah di SMAN I (Teladan).

Melihat NEM aku disarankan oleh Mas Yani dan Haris untuk memilih SMAN IV sebagai pilihan I dan SMAN VII pilihan II. Kata Mas Ermanu,"NEM yang aku raih ini kalau di kampung lumayan tinggi. Tapi kalau di Jogja nilaiku tidak bisa tembus untuk SMAN I, III, dan VIII. Ini SMAN level pertama di Jogja."

"Strategi memilih SMAN ini sangatlah penting. Kalau salah memilih maka ya gagal karena tidak ada gelombang II seperti sekolah swasta," kata Mas Yani berdasarkan pengalaman tahun lalu yang masuk ke SMAN II.

"Kalau gak masuk negri, pilihanya yang dekat sini SMA Muhammadiyah III dan Muhammadiyah VII. Tapi ya lebih mahal dibandingkan negri," saran Soni.

"Kalau gagal di negri aku harus konsultasi dengan bapak dulu, karena apakah mampu untuk biaya di sekolah swasta apa tidak," kataku memperhatikan informasi dan saran-saran yang ada.

Dari perbincangan, saran dari Mas Yani dan Haris adalah pilihan terbaik. Karena besok hari pertama pendaftaran SMAN se Jogja, Mas Ermanu menugaskan Mas Erfi untuk mengantarku ke SMAN IV dan VII. "Sesuk aku mangkat kuliah jam 10, dadi Vespa ne iso dingo ngeterno Parman," kata Mas Ermanu kepada Mas Erfi.

"Ya Mas," jawab Mas Erfi.

Kemudian aku diantar Mas Erfi untuk minta izin aku kepada bapak kos untuk tinggal sampe aku diterima di SMA. Aku tinggal sementara di kamar yang sudah dihuni oleh Mas Erfi dan Mas Yani. Alhamdulillah ada 2 kasur, jika dijejerkan bisa muat untuk 3 orang. Alangkah mulianya keluarga Mas Ermanu. Doaku ke Allah agar memberi pahala pada mereka bertiga atas pertolongan ini.

Dari cerita perjalanan hidup, aku tersadar bahwa pertolongan Allah didelegasikan kepada orang tua dan orang-orang baik yang iklas membantu pada setiap tujuan kecil-kecil sepanjang hidup ini. Termasuk ketika kita meninggal dunia di akhir hayat.  Pertolongan orang baik-baik mulai dari mengkafani sampe mengantar ke liang lahat masih kita butuhkan sebagai makhluk sosial.

Malam pertama di Jogja buatku sangatlah berkesan. Suasana saat minta izin ke pak kos penuh dengan kekeluargaan. Rumah pak kos terpisah sekitar 10 meter berupa bangunan joglo. Acara TV waktu itu Pangkur Jengleng, merupakan acara lokal TVRI Jogja dan favorit pak dan ibu kos. Setelah itu lanjut nonton Dunia dalam Berita dan kamipun pamit untuk beristirahat.

Setelah sampai di kos, rupanya ada yang menyetel radio dengan acara wayang kulit. Ini  juga suasana khas Jogja yang tidak pernah aku temui di kampung. "Sopo sing nyetel wayang mas?" Tanyaku pada Mas Erfi penasaran.

"Oh, itu mbah Mo tetangga sebelah. Dia tidurnya di tempat sholat sambil ndengerin radio, terutama wayang kulit," jawabnya.

"Wis turu sek Man, sesuk isuk kita harus ke SMAN IV dan lanjut ke SMAN VII."

"Njih mas."

Pagi hari setelah sarapan, aku sudah siap membawa berkas-berkas pendaftaran di dua SMAN. Aku mbonceng Mas Erfi mengendarai Vespa milik Mas Ermanu. Tujuan pertama ke SMAN IV yang terletak di Jalan Magelang. Kami melewati SMAN I setelah melewati prapatan Wirobrajan.

"Itu SMAN Teladan," tudin Mas Erfi pada bangunan sekolah yang relatif megah dibandingan SMA di kampung.

Aku cuman bisa menjawan njih mas seperti biasanya. "Dulu SMAN VII sebelum pindah ke Jalan MT. Haryono dekat Alun-alun Kidul, ya di situ. Tapi siang setelah murid-murid Teladan pulang," tambahnya.

"Oya to mas?" jawabku.

Tidak lama sampailah di SMAN IV yang depannya lapangan sepakbola lebih luas dari lapangan Pandawa. Ini pasti sesuai standar lapangan bola. Alangkah senangnya aku sekolah di sini. Tentu hobiku tersalurkan di sini, dalam batin.

Ku beli formulir di panitia penerimaan siswa baru dan harus diisi untuk dikembalikan paling lambat 3 hari dari sekarang dengan dilampiri beberapa dokumen. "Silahkan bapak isi formulir ini dan pilihan pertama dan kedua di rayon ini bisa dilihat di sini," kata panitia menunjukan daftar SMAN yang masuk di rayon B.

"Baik mbak, jika memilih SMAN VII apakah kami harus ke sana juga mbak?" Tanya Mas Erfi.

"Tidak harus pak. Cuman kalau mau lihat sekolahnya ya silahkan. Kita sudah terkoneksi dengan semua SMAN yang masuk dalam rayon B," jawab mbak yang berjilbab putih.

Kami pun membawa formulir untuk diisi di kos dan setelah berkeliling melihat fasilitas yang ada. Selain lapangan bola, ada juga lapangan basket di tengah-tengah ruang belajar mengajar.

"Kita ke SMAN VII yuk, biar mantab koe milihnya."

"Njih mas," seperti biasa jawaban standarku.

Bersambung......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun