Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Darurat Pendidikan dalam Gelombang Pandemi

1 September 2020   07:57 Diperbarui: 2 September 2020   07:52 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua murid SD belajar di ruang terbuka di pinggir jalan yang ada signal kuat di pelosok Banten. Foto : ANTARA diunggah dari BBC.com

Sistem Pendidikan Kita Belajar dan Bertahan dari Pandemi

 Pandemi yang masih terus berlangung membuat seluruh kegiatan manusia, termasuk kegiatan pendidikan terganggu. Meskipun beberapa wilayah sudah ada pada zoba hijau dan kuning dan mulai mengadakan proses belajar off line, risiko anak-anak untuk tertular COVID-19 tinggi.

Memang, pandemi covid-19 membuat kita mengakui bahwa belajar via daring itu memungkinkan. Pemerintah, melalui Kementrian Pendidikan Nasional pun kemudian meluncurkan subsidi pulsa kepada murid sekolah dan mahasiswa.

Tidak tanggung-tanggung, tiap siswa mendapat subsidi 35 GB dan mahasiswa menerima subsidi 50 GB antara September sampai Desember 2020. Ini akan menelan biaya sekitar Rp 8,9 Triliun. 

Tentu subsidi ini membantu banyak siswa. Akses pada internet yang punya variable harga paket, akses pada sinyal dan akses pada perangkat kerasnya, dalam hal ini HP, adalah sebagian dari tantangan siswa.

Selain dari anggaran pemerintah, kontribusi perusahaan jasa layananan seperti Telkomsel juga meringankan beban keluarga. Persoalan belajar jarak jauh ini memuat persoalan akses yang di dalamnya memuat banyak variabel pendapatan masyarakat, dan sarana serta prasarana pendidikan.

Persoalan akses pendidikan di masa pandemi itupun sangatlah kompleks. Suatu riset untuk mengetahui implementasi kebijakan “Belajar dari Rumah” melakukan survai 300 orang tua siswa sekolah dasar di 18 kabupaten dan kota di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara (Kaltara), dan Jawa Timur. Ini dilakukan di awal bulan Mei 2020.

Hasil survei menunjukkan bahwa 28% responden menyatakan belajar dengan menggunakan daring. Artinya masih ada ketimpangan akses media belajar, khususnya antara mereka yang mampu dan kurang mampu.

Juga, dilaporkan bahwa para ibu lebih banyak menyediakan waktu membantu proses belajar anak, kurang lebih selama 2 sampai 3 jam per hari, dibandingkan dengan para ayah, kurang dari 1 jam per hari (the conversation).

95% responden menyatakan bahwa sekolah anak mereka sudah menerapkan kebijakan tersebut. Bahkan, 76% responden mengatakan bahwa Dinas Kabupaten dan Kota telah mengadakan proses belajar daring sebelum surat keputusan menteri dibuat.

Yang menarik, meskipun media daring digunakan, 66% responden mengatakan bahwa proses belajar offline dengan pelibatan orang tua dan buku ajar lebih dominan tinimbang proses belajar daring. Adalah menyedihkan bahwa 6% responden melaporkan bahwa tidak ada proses belajar sama sekali selama diminta belajar dari rumah. 9

Foto : the Jakarta Post
Foto : the Jakarta Post
Lokasi responden mempengaruhi proses belajar daring. Makin terpencil makin kecil rasio mereka yang belajar dengan metode daring.

Di Jawa Timur, 40% responden menyatakan bahwa anak mereka mendapatkan pembelajaran via daring, sementara di NTB kurang dari 10% dan di NTT kurang dari 5%.

Selebihnya, mereka belajar melalui offline buku dan lembar kerja siswa. Latar belakang pendidikan orang tua tentu juga mempengaruhi bagaimana proses belajar ini.

Di beberapa wilayah, karena keterbatasan sinyal, banyak guru melakukan proses belajar dari rumah ke rumah. Ini demi menjawab kebutuhan yang makin kritis. 

Dengan realitas ketimpangan ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyediakan pembelajaran melalui TVRI  dan RRI mulai 13 April lalu. Pendekatan ini diharapkan bisa menjangkau lebih banyak siswa.

Persoalan murid yang terinfeksi covid19 di pesantren cukup problematik karena jumlahnya tinggi. 

Wisuda murid penyintas covid19 ponpres ( Foto ANTARA diunggah dari Kompas.com)s
Wisuda murid penyintas covid19 ponpres ( Foto ANTARA diunggah dari Kompas.com)s
Semua proses ini tentu tidak mudah, namun pelan berjalan.

PR Lama Sektor Pendidikan dan Masa Pandemi

Sebelum pandemic covid-19, sistem pendidikan kita punya PR besar. Ini sempat saya tulis di Kompasiana pada artikel ini, yang saya tulis di kala Nadiem masih gress menjadi menteri Pendidikan Nasional.

1. Kinerja Pendidikan. Hasil Programme for International Student Assessment ( PISA) untuk kinerja siswa pendidikan menengah Indonesia tahun 2018 telah diumumkan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Hasil PISA tersebut menunjukkan bahwa kemampuan baca siswa Indonesia adalah 371, berada dalam kelompok kurang bersama dengan negara-negara seperti Saudi Arabia, Maroko, Kosovo, Republik Dominika, atau Kazakhstan dan Filipina. 

Demikian juga hasil untuk matematika adalah 379 dan sains 396, masih di bawah reratea anggota OECD yang rerata 489.

Sementara itu, China dan Singapura menempati peringkat tinggi untuk skor matematika, yaitu 591 dan 569. Hasil PISA juga menunjukkan bahwa terdapat disparitas pendidikan di tiap daerah, artinya kualitas pendidikan masih belum merata.

2. Miss-matchedPersoalan miss-matched antara pengetahuan dan ketrampilan dari hasil sekolah dengan apa yang dibutuhkan oleh lapangan kerja makin menganga. Apalagi, banyak tempat kerja tutup atau mengurangi pegawainya karena resesi ekonomi.

3. Infrastruktur - Kerusakan Bangunan Sekolah. Laporan Kilasan Kinerja 2018 Kemdikbud mencatat bahwa 1,2 juta atau 69% dari 1, 17 juta ruang kelas di seluruh Indonesia alami kerusakan.

Di dalam tulisan saya di Kompasiana tersebut saya acu laporan dari Kementrian Pendidikan Nasional dan Kimpraswil pada tahun 2018 bahwa di antara bangunan sekolah SD yang berjumlah 1 juta sekolah, yang rusak adalah sekitar 74% ruang kelas SD, sekitar 10 % diantaranya rusak berat.

Dan persoalan infrastruktur, termasuk air bersih tentu akan menjadi hambatan pertama bagi murid untuk bisa sering mencuci tangan.

Persoalan kerusakan di SLTP dan SLTA juga tinggi. Tujuh puluh persen dari 358.000 gedung SLTP, rusak, sementara 11% di antaranya rusak berat. Lima puluh lima persen dari 160.000 gedung SLTA rusak, 4% di antaranya rusak berat.

Lima puluh tiga person gedung SMK rusak, dan 3% di antaranya rusak berat. Sementara untuk SLB, di antara 22.000 sekolah, 64% di antranya rusak dan 4% di antaranya rusak berat.

Saya duga persoalan kerusakan infrastruktur sekolah akan memburuk di tahun 2020. Implementasi rehabilitasi dan renovasi sekolah di tahun 2018 lambat. Hanya 2 dari 558 SD yang berhasil direhabilitasi di tahun 2018 dan hanya 3.815 SMP direhabilitasi dan 100 SMA direhabilitasi.

Saya juga menduga pada tahun 2020 ini rehabilitasi gedung sekolah akan lebih lambat karena pemerintah sedang memfokuskan pendanaan pembangunan untuk tanggap covid-19.

Belum lagi soal kualitas pembangunan sekolah yang pada umumnya hanya sampai pada ‘nyaris selesai’ (Lizzie Blaisdell Collins, etALL, " Improving School Buildings in Indonesia", Januari 2019). Beberapa laporan menuliskan bahwa penyebab kualitas gedung sekolah yang buruk itu selain karena kualitas pengerjaan yang kurang baik juga karena penyelewengan Dana Bos (Teraslampung.com).

4. Metode belajar di masa pandemi dan Kualitas GuruPandemi menuntut kualitas guru yang baik, yang dapat menyesuaikan diri dengan cepat pada penggunaan daring dan metode yang mengikutinya.

Pada realitanya, kita bukan hanya kekurangan 1,1 juta orang guru (mayoritas dialami di tingkat SD) karena persoalan rekrutmen dan penerapan status honorer serta penggajian yang bermasalah. Persoalan absenteeism berkontribusi pada persoalan kualtias guru.

Di banyak wilayah terpencil, banyak guru bekerja dengan status honorer selama bertahun tahun dan mereka juga ‘nyambi’ kerja lain sebagai fasilitator program nasional seperti PKH dan kadang kadang membantu menjadi enumerator ketika pemerintah membuat survai.

5. Kesiapan Metode Daring. Dengan penggunaan metode daring, bila sistem pendidikan tidak disesuaikan, murid akan mengalami tantangan besar karena selama ini sudah punya beban belajar yang tinggi.

Dalam hal pendidikan tinggi, 90% dari 4.000 lembaga pendidikan tinggi (universitas, akademi, politeknis dan institute) di Indonesia adalah milik perguruan tinggi swasta, sementara 40% dari 6,9 juta mahasiswa memilih untuk belajar di perguuan tinggi pemerintah. Terdapat 235 univseritas di Indonesia yang tidak bisa beroperai karena kualitasnya tidak memenuhi standard pendidikan yang diterapkan.

Ketidaksesuaian jenis pendidikan dengan sektor dan lapangan kerja atau 'link and match' memang persoalan besar.

Bila sektor pendidikan masih terus dalam cengekeraman politik pendidikan seperti yang selama ini terjadi, seperti disebutkan dalam "Beyond access: Making Indonesia's education system work", dan Studi " The Politics of Education in South East Asia: A Comparative Study on Decentralization Policy in Primary Education in Indonesia and Thailand" (Mouliza Kristhopher Donna Sweinstani) maka tantangan  membuka sekolah di masa pandemic menjadi sangat besar.

6. Masa Pandemi dan Situasi Sistem Pendidikan Indonesia. Adalah wajar bila kemudian muncul komentar bahwa anak Indonesia bagaikan tidak sekolah selama setahun penuh di masa pandemi.

Dan, kalau pun proses pendidikan dilakukan melalui daring, maka proses belajar mengajar itu diselenggarakan dengan berbagai kekurangan, baik dari sisi materi, metodologi dan dengan kualitas guru yang belum memadai. Penyesuaian kurikulum juga belum dilakukan. Ini tentu membuat guru kelimpungan.

Dilaporkan bahwa banyak sekolah swasta terpaksa ditutup karena orang tua siswa tidak bisa lagi membayar uang iuran sekolah.

Meskipun saat ini pemerintah sedang mengupayakan subsidi pulsa, terdapat begitu banyak persoalan lain yang menghambat proses belajar terjadi dengan efektif.

Otonomi daerah memang telah membuat transfer kekuasaan dari pusat sepenuhnya diberikan kepada pemerintah daerah di tingkat kabupaten kota dan juga pada tingkat sekolah.

Kesenjangan kapasitas SDM di masing masing wilayah yang diberi otonomi dan pendanaan akan mempengaruhi bagaimana pengelolaan sektor pendidikan ini dilakukan. 

Peran baru kepala sekolah, perekrutan guru, penetapan sistem penerimaan murid baru, serta proses perekrutan dan pemilihan sumber daya manusia di tingkat perguruan tinggi di masa pandemic ini tent juga perlu mendapat perhatian.

Tentu wajar untuk kita tanya bagaimana pemerintah daerah berperan dalam meningkatkan optimalitas sekolah dalam menyelenggarakan proses belajar di masa pandemi yang gelombangnya masih belum berakhir. 

Kebutuhan yang Berubah

The World Economic Forum belum lama ini berkonsultasi secara virtual dengan kalangan muda yang berasal dari beberapa negara, antara lain Algeria, Argentina dan Afrika Selatan dalam forum World Youth Skills Day.

Kelompok muda itu mengajukan perlunya perubahan, desain ulang, dan eksplorasi baru atas jenis ketrampilan dan pengetahuan baru serta sistem pendidikan ke depan. Secara spesifik, perubahan yang diharapkan adalah :

1. Kurikulum yang berbeda untuk para siswa dan orang muda. Ini untuk merespons kebutuhan ketrampilan dan pengetahuan yang lebih modern dan situasi pasar kerja yang berubah dan pandemi yang melanda dunia. 

Perubahan kurikulum tidak hanya menuntut perubahan materi dan metode belajar, tetapi juga guru yang berbeda.

Saat ini guru-guru yang ada adalah mereka yang disiapkan untuk abad 20, sementara murid murid saat ini berada pada teknologi abad 21.

Tuntutan atas cara menstransfer ilmu penetahuan melalui sistem daring di masa pandemic ini merupakan suatu lompatan kebuthan. Sementara guru tidak memiliki bekal melakukannya. Kesenjangan ini tentu menjadi terlalu lebar.

2. Kebutuhan akan ‘soft skill’ berupa kemampuan komunikasi dan advokasi yang lebih kuat serta cara berpikir kritis yang lebih baik menjadi urgen. Ini termasuk kemampuan untuk menuntut hak mereka untuk belajar yang bisa jadi tidak dapat diberikan oleh sistem pendidikan yang kadaluwarsa.

3. Konektivitas dan pembelajaran digital. Memang pandemi pada akhirnya membuktikan bahwa ketika terpaksa, konektivitas dan pembelajaran digital untuk bertukar pengetahuan dan ketrampilan, untuk mengajar dan pembelajatan bisa dilakukan.

Ini dilihat sebagai kesempatan untuk membuka akses kelompok muda di seluruh dunia. Sebagai prasyarat, prasarana internet dan telepon selular menjadi keharusan.

4. Inklusi kelompok rentan, perempuan dan mereka yang terpencil. Di banyak wilayah, khususnya di wilayah miskin, akses pendidikan anak perempuan sering terbatas. Ini mendorong mereka setuju untuk melakukan perkawinan anak.

Di samping itu, anak berkebutuhan khusus dan dengan disabilitas masih banyak yang terbatas aksesnya pada layanan pendidikan. Mereka yang berkebutuhan khusus juga perlu perhatian dan dukungan karena mereka termasuk yang paling rentan di masa pandemi. 

Secara khusus, desentralisasi pendidikan di Indonesia membawa tantangan pada terbatasnya guru di wilayah yang terpencil, tidak tersedianya upah layak bagu guru dan ketersediaan ruang dan fasilitas belajar. Ini belum termasuk  persoalan kekerasan (dan kekerasan seksual) yang dihadapi anak perempuan dan anak anak usia sekolah di dunia pendidikan, baik di rumah maupun di ruang sekolah yang punya wajah khusus di masa pandemi. 

Serangkaian protokol kesehatan yang perlu diimplementasikan dunia pendidikan punya persoalan dan tantangannya sendiri. Ini tentu juga perlu menjadi perhatian, disamping serangkaian PR lama dan juga tugas baru untuk melakukan penyesuaian di masa pandemi.

Ini semuanya tugas yang cukup berat. Kita semua berharap bukan hanya Kementrian Pendidikan Nasional, tetapi juga kementrian teknis lain yang terkait serta para legislator di DPR  dan juga sektor swasta kompak memikirkan dan menindaklanjuti persoalan genting ini.

Ini memang situasi darurat. Di masa sebelum pandemi, sektor ini hadapi kedaruratan. Dan di masa pandemi, persoalan dan tantangan tentu menambah kritis status darurat itu. 

Kedaruratan di sistem pendidikan kita bukan hanya persoalan Nadiem Makarim dan tidak bisa dijawab hanya dengan memberikan paket subsidi plusa.

Masih banyak PR lainnya dan ini soal tanggung jawab kita  untuk membantu pemenuhan hakn generasi baru untuk belajar dan untuk mempersiapkan masa depan mereka, termasuk di kancah persaingan global.

Pandemi merupakan ancaman tapi bisa jadi alarm sekaligus kesempatan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita. 

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun