Beberapa catatan yang ada menunjukkan bahwa pemerintah belum memenuhi standar minimum dalam beberapa bidang utama, antara lain angka investigasi, penuntutan, dan putusan yang mengalami penurunan.
Makin baiknya kinerja di area ini mestinya akan meningkatkan cakupan pelaporan, sehingga kasus yang dilaporkan juga meningkat.
Terdapat beberapa hal yang membuat pelaporan yang tidak purna, antara lain terbatasnya anggaran. Beberapa hal dicatat, antara lain:
- Terbatasnya anggaran sehingga lima Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) tingkat provinsi ditutup karena kekurangan dana, disamping menurunnya alokasi anggaran untuk Gugus Tugas.
- Koordinasi lembaga pemerintah dan pengumpulan data terus menjadi tantangan dan beberapa kepolisian tingkat provinsi melaporkan bahwa anggaran mereka tidak memungkinkan untuk melakukan investigasi lintas provinsi atau lintas perbatasan. Para pejabat juga melaporkan koordinasi yang tidak efektif menghambat kemampuan pemerintah untuk menyidik, menuntut, dan menghukum pelaku perdagangan manusia, terutama ketika kasus-kasus tersebut melibatkan sejumlah wilayah yuridiksi.
- Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) membentuk 13 satuan tugas TPPO tingkat provinsi tetapi tidak melaporkan hasil penyidikan dari satuan tugas tersebut. Satgas TPPO POLRI dinilai tidak memiliki mekanisme untuk melacak investigasi di semua tingkat pemerintahan, sehingga mempersulit mereka untuk menentukan tren dan jumlah investigasi dan kasus yang terselesaikan. Dati tahun ketahun, laporan investigasi kasus terus menurun. Pada thaun 2017, jumlah kasus yang diinvestigasi dalah 123 kaus, sementara menjadi 95 kasus pada 2018. Keputusan Mahkamah agung juga menurun dari 331 di tahun 2017menjadi 123 di tahun 2018. Ditambah lagi, pemerintah tidak melaporkan data penghukuman secara komprehensif.
- Juga, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tahun 2007 dinilai tidak konsisten dengan hukum internasional yang menetapkan syarat penggunaan kekuatan, penipuan, atau paksaan untuk membenarkan terjadinya kejahatan perdagangan anak
Lalu, siapa dan bentuk perdagangan manusia apa saja yang rentan?
Anak-anak adalah kelompok yang dalam potensi menghadapi bahaya adanya perdagangan manusia. Anak-anak yang tidak bisa sekolah di bangunan sekolah dan tidak memiliki paket internet untuk mengikuti sekolah dari rumah sangat rentang untuk diperdagangkan. Mereka adalah kelompok yang bisa saja termiskin di antara anak-anak lainnya.
PBB mengestimasi sekitar 370 juta anak di seluruh dunia tidak bisa sekolah, dan tidak dapat dipantau kualitas kesehatan dan gizinya. Terdapat anak anak yang prioritas untuk mendapat perhatian.
Khususnya, anak anak di lingkungan tenda pengungsian dan hunian sementara sebagai akibat dari pasca bencana ataupun konflik juga merupakan kelompok yang rentan. PBB memperkirakan sekitar 66 juta anak bahkan dalam kondisi sosial dan ekonomi yang kurang menguntungkan.
Ini disampaikan oleh pelapor khusus ‘special rapporteur’, Singhatek, terkait perdagangan dan eksploitasi seksual anak yang ditunjuk UN Human Rights Council di Genewa. (news.un.org, Mei 2020).
Singhatek melaporkan adanya akses yang meningkat pada situs porno yang melibatkan anak. Juga dicatat terdapat layanan seksual anak dengan ‘drive thru’. Anak-anak dijemput mobil dan diantar ke pelanggan lalu dipulangkan. news.un.org, Mei 2020).Â
Ia menambahkan bahwa organisasi yang terorganisir berkenaan dengan perdagangan manusia akan mendapat untung besar dari pandemi ini karena jumlah orang miskin bertambah, yang menambah kerentanannya. Dengan hal ini, kerentanan perempuan dan anak anak miskin meningkat karena aksesnya pada layanan kesehatan adalah rendah.
Selain anak-anak, perempuan kepala keluarga beserta keluarganya juga rentan akan persoalan perdagangan manusia. Mereka dalah kelompok yang bisanya miskin.Â