Beberapa negara Eropa Timur, seperti Siberia, Bulgaria serta Jepang dan Korea Selatan dicatat oleh KADIN tertarik untuk merekrut tenaga perawat dari Indonesia (Rencongpost, 17/10, 2019).Â
Ironisnya, dibandingkan dengan kondisi di negara Asia terpilih, rasio jumlah perawat dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia ternyata paling rendah, di bawah Singapore, Malaysia, Thailand, dan juga Srilangka.
Berdasarkan WHO, rasio perbandingan tenaga kesehatan per jumlah penduduk yang disarankan adalah pada 18:10.000 penduduk. Sementara, rasio tersebut masih berada pada level 10:10.000 di Indonesia.Â
Rasio rendahnya jumlah perawat dibanding jumlah penduduk ini tidak sepenuhnya menggambarkan pasokan tenaga perawat di Indonesia, mengingat Indonesia mencetak cukup banyak lulusan pendidikan keperawatan setiap tahunnya. Apa yang salah?
Persoalan Utama Ketenagakerjaan Perawat di Indonesia.
Terdapat beberapa persoalan ketenagakerjaan perawat di Indonesia, antara lain :
- Maldistribusi tenaga kerja perawat. Salah satu kontributor pada persoalan ini adalah masa transisi desentralisasi sektor kesehatan yang tidak berkesudahan.
Kementerian Kesehatan selaku lembaga di pemerintah nasional adalah yang merekrut dan menetapkan standar perawat. Sementara itu, pendanaan penggajian tenaga perawat merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Ini memang implikasi dari diberlakukannya undang-undang otonomi daerah tahun 2000.
Ada kemungkinan pemerintah pusat tidak mempercayai pemerintah daerah dalam hal perekrutan. Padahal pemerintah daerah dapat diasumsikan lebih memahami situasi wilayah masing-masing.
Sementara itu, 'Deployment' dan pendistribusian juga pada umumnya tergantung pada 'formasi' nasional, yang bergantung pada jumlah alokasi staf berdasar ketersediaan pendanaan, tinimbang sejumlah kebutuhannya. (HSR, 2018). - Sulitnya mendapatkan izin praktik mandiri. Ini disebabkan oleh kurangnya modal di antara perawat dan juga terbatasnya ketrampilan. Di samping itu, profesi perawat pada umumnya tidak berdiri sendiri, namun terintegrasi dengan layanan rumah sakit, klinik, puskesmas, dan fasilitas kesehatan lainnya.
- Status tenaga keperawatan. Terdapat jumlah yang tinggi dari perawat yang statusnya terkatung-katung. Mereka adalah perawat yang masih memiliki status honorer dan juga tenaga sukarela.
Sering kita baca adanya kelompok perawat yang mengadakan demonstrasi kepada pemerintah daerah terkait kejelasan status dan juga gaji mereka. PPNI menilai selama ini pemerintah masih berfokus pada dokter dan bidan untuk dapat menjadi PNS.
PPNI menemukan jumlah yang besar dari perawat yang masih berstatus tenaga sukarela (TSK), yang artinya tanpa status dan tidak digaji. Sering juga tenaga keperawatan TSK disebut sebagai perawat honorer. Jumlah TKS ini relatif tinggi.
Di RS di Kendari saja, misalnya terdapat hampir separuh perawat adalah TKS, (Merdeka.com, 16 Maret 2019). Untuk perawat yang masih berstatus honorer, kontrak atau status yang lainnya, Biro Kepegawaian Kementerian Kesehatan menetapkan bahwa mereka diarahkan untuk mengikuti tes CPNS maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) di masing-masing daerah. (Wartaperawat.com, Mei 2019).
Sekiranya pemerintah daerah dapat merekrut dan kepala desa perlu menyediakan anggaran untuk membayar gaji tenaga keperawatan dengan menggunakan Dana Desa, maka isu ini bisa dikurangi. - Perawat Menganggur. Dalam tahun tahun terakhir ini, jumlah tenaga keperawatan yang menganggur tinggi. Di tahun 2017 saja, hanya 15.000 dari 40.000-an lulusan yang terserap. Artinya, terdapat sekitar 25.000 orang perawat yang menganggur.
- Penggajian. Terdapat beberapa harapan dari PPNI terkait penggajian. Memang ideal perawat adalah sebesar tiga kali UMP, namun untuk mendapatkan minimal di atas UMP saja PPNI menemukan kesulitan.
Pemerintah juga diharapkan kembali mengangkat perawat menjadi PNS. Tidak heran bila ditemukan perawat bekerja ganda, baik di fasilitas kesehatan milik pemerintah maupun di fasilitas kesehatan milik swasta. Ini dilakukan perawat untuk mencukupi kebutuhan sehari harinya. - Fasilitas dan Peralatan Kerja. Fasilitas kerja perawat, termasuk Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker masih merupakan persoalan.
Di wilayah yang terpencil yang aksesnya sulit, perawat sering bekerja dalam keterbatasan. Meski staf kesehatan dan perawat paham tentang risiko penyakit menular, termasuk HIV/AIDS, dan risiko infeksi melalui alat kesehatan, namun praktik yang dilakukan para perawat di lapang masih buruk.
Di suatu puskesmas di wilayah Arfak di Papua Barat yang kami lakukan penelitian di tahun 2007, meski alat bedah dan instrumen dicuci dengan alkohol, tetapi perawat yang baru saja melakukan operasi kecil tidak mencuci tangannya sesuai prosedur, melainkan hanya mengusap tangannya dengan kasa yang dicelup alkohol. Tentu ini merupakan hal yang kurang tepat.
Kondisi puskesmas di Indonesia sangat beragam. Data menunjukkan terdapat 380 puskesmas (sekitar 4,2%) di wilayah terpencil seperti Papua, Papua Barat. Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara dan NTT, banyak puskesmas tanpa listrik dan air. (Health System Review, 2018). Puskesmas ini juga tidak dilengkapi perumahan staf kesehatan (bidan dan perawat) yang memadai.
Diperkirakan terdapat sekitar 1.200 perumahan staf kesehatan di Indonesia yang alami kerusakan. Ini membuat kesejahteraan petugas kesehatan, termasuk perawat juga kurang memadai.
Merebaknya virus corona membuktian sekali lagi bahwa APD kurang. Memang kekurangan APD disebabkan pula oleh kepanikan warga yang hendak melindungi diri. Namun, ketersediaan untuk jangka menengah dan panjang bagi fasilitas kesehatan rupanya memang masih terbatas. - Pengetahuan serta Praktek Kerja. Dalam konteks Indonesia yang mengalami berbagai jenis bencana, baik bencana alam maupun bencana lain, termasuk wabah virus corona, perawat perlu diberikan pengetahuan dan keterampilan dalam merespon bencana dan kedaruratan. Artinya, pemerintah pun perlu menerbitkan standar dan prosedur untuk perawat merespons bencana dan kedaruratan dengan baik.Â
Apa Prioritas yang Pemerintah Perlu Perhatikan oleh Pemerintah
- Pemerintah pusat perlu mendelegasikan perencanaan dan kebutuhan tenaga keperawatan kepada pemerintah daerah. Tugas Kementerian Kesehatan perlu lebih difokuskan pada penetapan standar.
- Secara umum, pemerintah perlu belajar dari kesuksesan program Bidan Desa di masa Soeharto, Kementerian Kesehatan perlu bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk mengupayakan agar tiap desa menyediakan anggaran Dana Desa untuk dapat menggaji staf keperawatannya. Begitu banyak perawat honorer dan Tenaga Sukarela yang sedang membutuhkan pekerjaan. Pemerintah perlu memprioritaskan upaya kecukupan tenaga keperawatan pada kondisi darurat, termasuk kondisi bencana maupun wabah penyakit seperti Covid-19;
- Pemerintah memudahkan perawat membuka izin praktik mandiri di tingkat desa agar dapat mendukung kerja puskesmas yang di beberapa wilayah telah kewalahan untuk melayani pasien;
- Harmonisasi dan sinergitas undang-undang keperawatan, undang-undang kesehatan, dan undang undang pemerintah daerah, serta membuka kemungkinan agar pemerintah daerah dapat merencanakan dan mendanai tenaga perawatnya;
- Membuat kajian beban kerja dan pengupahan profesi keperawatan dan mengupayakan pengupahan untuk kelompok professional kesehatan;
- Pemerintah perlu serius memenuhi kebutuhan kelengkapan fasilitas dan perlengkapan kerja tenaga medis, termasuk perawat.
Pustaka : Satu , Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, Delapan, Sembilan, Sepuluh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H