Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Pramugari, Korban Seksis, Ketimpangan Relasi Kuasa, dan Eksploitasi Profesi

12 Desember 2019   06:00 Diperbarui: 12 Desember 2019   11:09 3507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pramugari Korban Seksis dan Ketimpangan Gender (Foto : AFP)

Skandal Direktur Utama Garuda yang Membawa Serta Relasi Tidak Profesional dengan Pramugari 

Skandal penyalahgunaan wewenang menyelundupkan Harley Davidson pada penerbangan Garuda yang melibatkan Direktur Utama Garuda, AA, pada akhirnya membawa serta skandal perselingkuhan dengan salah seorang pramugari.

Tak hanya itu, media sibuk memberitakan beberapa kasus yang didakwakan sebagai prostitusi yang melibatkan Pramugari. Kemudian, mediapun memberitakan banyak hal seputaran pramugari. 

Misalnya, memuat soal daftar pramugari Garuda yang cantik dan tampil mempesona (popbela.com). Dan, pada akhirnya diulas pula persoalan adanya pelecehan seksual yang dihadapi pramugari, di samping jam terbang yang panjang yang tidak memungkinkan pramugari memiliki waktu istirahat yang memadai. (Jawapos.com, 11 Desember 2019).

Berita terkait skandal Direktur Utama Garuda yang melibatkan pula hubungan percintaan dengan pramugari yang di'blow up' media terus meningkat. Bagi media, hal ini tentu terkait dengan tujuan mendapatkan banyak "viewers". 

Namun, bagi pramugari dan profesi pramugari, pemberitaan tersebut sangatlah merugikan citra dan profesionalisme kelompok perempuan yang bekerja sebagai pramugari. 

Ini sempat menjadi kegalauan dik Tenik Hartono, redaktur senior Femina Group di laman Facebook. Dik Tenik mengharapkan agar Garuda Indonesia berbenah bukan hanya kinerjanya tapi juga pada citra negatif yang muncul dari kasus tersebut dan 'penggorengan' oleh banyak media. Tulisan ini melanjutkan kegalauan kami.

Seperti kita ketahui, Garuda mendapat banyak penghargaan terkait layanan terbaik awak kabin untuk kelas ekonomi selama bertahun tahun oleh Skytrax. Ini merupakan capaian profesionalisme awak kabin Garuda, termasuk pramugarinya.

Skandal serupa pernah meramaikan media di Jepang. Berita tersebut juga mencatat laporan yang menyebutkan flight attendance, baik perempuan dan laki laki yang bersedia 'tidur' dengan pilot untuk mendapatkan uang tambahan. 

Dilaporkan bahwa beberapa orang yang lain melakukannya agar mendapatkan 'perintah terbang'. Juga, muncullah tulisan bahwa di maskapai Jepang tersebut, pramugari diperlakukan sebagai pelacur. Ini berita fuka bagi perempuan yang bekerja sebagai pramugari.

Isu yang ditemukan pada dunia penerbangan sebenarnya bisa terjadi dan ditemui di profesi lain. Kita mendengar isu serupa terkait relasi murid perempuan sekolah dengan gurunya, antara mahasiswa perempuan dengan dosen di universitas, antara pekerja perempuan dengan pimpinan di kantor-kantor.

Lalu, mengapa berita tentang pramugari menjadi sorotan tersendiri? Apa yang terjadi sebenarnya? Dan, bolehkah media, termasuk media sosial dan kita turut 'menggorengnya'?

Peran dan Ciri Pramugari adalah Hasil Imajinasi Laki Laki  

Suatu studi berjudul "Winged Women: Stewardesses, Sexism, And American Society" yang disusun oleh Michele Martin di Kalifornia pada Mei 2017 menyebutkan bahwa di tahun 1950 sampai 1980, pramugari maskapai digambarkan sebagai profesi untuk menggembirakan dan melayani keinginan laki-laki. 

Mereka dipilih karena usianya yang muda, kecantikannya, dan kemampuannya untuk melayani. Aturan dan persyaratan penerimaan kerja pramugari pun mensyaratkan tinggi badan, berat, usia, status perkawinan. 

Pramugari diharapkan memenuhi tipe dan stereotipi peran perempuan, termasuk peran sebagai ibu, perawat, yang membuat nyaman, dan istri ideal. Pramugari dituntut senyum. 

Senyum dituntut mulai dari memasuki bandara sampai ke pesawat. Siapapun yang bertemu pramugari mau tidak mau memperhatikan lenggang pramugari, melihat senyumnya dan seterusnya.

Jangan lupa, pramugari harus pula profesional, mandiri, berani, tegas, dan mampu menolong penumpang di kala kondisi darurat.

Apa yang digambarkan di atas terus terjadi sampai saat ini. 

Pramugari adalah mimpi dan imajinasi laki laki tentang perempuan yang ideal. Ia mewakili narasi femininitas perempuan yang diharapkan penumpang pesawat terbang, yang mayoritas adalah laki laki. 

Ia dibentuk oleh laki-laki berdasarkan pada standar normatif. Ia adalah stereotipe yang disederhanakan secara luar biasa kepada suatu profesi. Ini konsisten dengan Teori "Male Gaze" yang ditulis Laura Mulvey.

Jelasnya, pramugari adalah korban seksisme dan obyek yang secara paksa diterakan, yang akhirnya menjadi warna yang diharapkan oleh laki-laki di sektor kerja. Pramugari adalah profesi dengan stereotipe kuat, selain profesi bintang film dan model. 

Salah seorang sahabat saya (laki-laki) pernah mengomentari kawannya, seorang notaris cantik dan bertubuh langsing dengan "Kamu lebih pantas jadi Pramugari". Di sini sangat jelas betapa stereotipe dan konstruksi standar itu tertera di kepala laki-laki. 

Kesenjangan Relasi Kuasa dan Diskriminasi Berbasis Gender

Studi yang dilakukan oleh Universitas Swanseea di Inggris menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan gender di pekerjaan pekerjaan di maskapai penerbangan. 

Pekerjaan sebagai pilot dan teknisi pesawat dianggap lebih memerlukan ketrampilan, dan oleh karenanya mendapat gaji lebih tinggi daripada pekerjaan yang biasanya diisi oleh perempuan seperti pramugari.

Studi yang dilakukan oleh Uni Eropa terkait gaji pekerja laki laki dan perempuan di Italia, Norwegia, dan Inggris menunjukkan bahwa kesenjangan gender terbesar ditemukan di Inggris. 

Kesejangan gaji itu adalah sekitar 1.400 Poundsterling. juga, gaji perempuan seringkali hanya separuh dari pekerja laki-laki di maskapai penerbangan yang sama.

Ditemukan pula, pekerjaan paruh waktu bukan hanya terbatas tapi juga tidak memberikan upah yang memadai. Padahal, karena beban atas tugas di rumah, perempuan memerlukan pekerjaan dengan waktu yang lebih fleksibel. 

Proporsi yang tingi dari pramugari yang diwawancarai studi itu (44.1%) menyebutkan bahwa mereka biasanya diberikan informasi kurang dari 24 jam terkait perubahan jadwal terbang, sementara 34,3% mengatakan diberi tahu antara 24 sampai 48 jam terkait perubahan jadwal. Ini tentu sulit bagi pramugari yang berkeluarga.

Kontrak kerja pramugari juga lebih ketat dibandingkan dengan laki laki terkait persyaratan pada tampilan, penggantian pekerjaan ketika hamil dan lain lainnya.

Pramugari Hadapi Ketidakadilan Gender Berlapis 

Dengan melihat beberapa hal di atas, sebetulnya pramugari di banyak maskapai, termasuk di Garuda menghadapi ketidakadilan gender yang berlapis.

  • Pertama, peran pramugari diberi pelabelan dan dikonstruksikan sebagai perempuan yang melayani laki-laki, baik itu pilot maupun tamu laki-laki. Pramugari juga diharapkan memiliki kriteria kriteria berdasar imajinasi laki-laki terkait fisiknya.
  • Kedua, stereotipe seakan pramugari melakukan relasi dengan staf dan pegawai di maskapai penerbangan sebagai ciri mereka.
  • Ketiga, peran pramugari yang melayani dianggap sebagai pekerjaan dengan peran kelas dua, dibanding peran sebagi pilot yang dianggap sebagai peran utama. Jadi, peran pramugari seakan peran yang marjinal. 
  • Keempat, pengupahan yang dibedakan dan pramugari menerima gaji di bawah posisi lain di perusahaan penerbangan, misalnya pilot dan teknisi. Ini bisa dikatakan bentuk diskriminasi. 
  • Kelima, pramugari sering mengalami pelecehan sosial di samping juga diposisikan sebagai obyek seksual. Dalam konteks yang dilaporkan oleh beberapa surat kabar, sebagian pramugari diperlakukan sebagai perempuan prostitusi, misalnya harus melayani pilot agar diajak terbang ke rute tertentu.

Saya pernah menulis artikel tentang studi yang menunjukkan bahwa sebanyak 68% pramugari melaporkan pernah dilecehkan secara seksual selama karirnya, kurang lebih antara 3 sampai 5 kali. Artikel tersebut ditemui di sini. 

Pada artikel tersebut, terdapat rangkuman hasil studi menunjukkan bahwa pramugari mengalami pelecehan di sepanjang karir mereka, mulai dari proses rekrutmen sampai ketika sudah bekerja.

Status pramugari di maskapai penerbangan belum dianggap setara dengan posisi lainnya, termasuk pilot dan staf lainnya maupun dengan mereka yang 'dilayani ' yaitu penumpang yang pada umumnya adalah laki laki.

Seperti pada profesi lain, pramugari dilindungi Konvensi Terbaru ILO tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja yang diperbarui pada 21 Juni 2019 yang lalu. 

Konvensi ini  mengharuskan agar negara anggota PBB mengadopsi "The ILO Convention on Violence and Harassment", dan sekaligus mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasinya.

Konvensi ini memperluas definisi pelecehan seksual di tempat kerja dengan cakupan serangkaian perilaku dan praktek, baik tindakan yang dilakukan satu kali atau dilakukan berulang yang menyebabkan adanya pelecehan seksual secara fisik, psikis, verbal, seksual ataupun secara ekonomi, serta kekerasan berbasis gender lainnya.

Cakupan apa yang disebut sebagai pelecehan seksual bukan hanya yang ada di dalam ruangan kerja, tetapi juga bentuk kekerasan dan pelecehan seksual di fasilitas transportasi, atau ketika sedang melayani pelanggan.

Menteri BUMN Erick Tohir sempat mengatakan untuk memperhatikan kasus pelecehan seksual yang sering dilaporkan. Bahkan, Erick berjanji akan menindak pejabat yang melecehkan pramugari. Ini bisa dilihat pada artikel ini. 

Namun, Indonesia perlu melakukan langkah yang lebih strategis. 

Apa Rekomendasi kita? 

  1. Sebagai negara, Indonesia harus segera merativikasi konvensi ILO ini. Meski kita telah merativikasi CEDAW, yaitu konvensi menolak segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, namun pelanggaran terus terjadi. Pelecehan seksual juga tercantum dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang sedang diperjuangkan. Namun, upaya melalui ratifikasi ILO secara khusus akan melindungi pekerja, khususnya perempuan.
  2. Perusahaan, termasuk BUMN dan juga Garuda harus memiliki ruang pengaduan atas kasus kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja.
  3. Kementrian BUMN mengidentifikasi sektor di BUMN yang paling rentan dengan pelecehan seksual dan perlu melakukan langkah pencegahan dan mitigasinya.
  4. Semua pekerja, apakah itu pramugari, pilot ataupun direktur suatu BUMN perlu memahami etika kerja profesional. Memanfaatkan posisi dan relasi kuasa yang besar kepada mereka yang punya relasi kuasa lebih lemah untuk tujuan seksual, bisa dikategorikan mengeksploitasi profesi tersebut secara seksual. 

Profesionalisme BUMN bukan hanya dilihat dari etika, kinerja, dan anti korupsinya tetapi juga bagaimana memperlakukan pekerjanya, perempuan dan laki laki. 

Pustaka: Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima

*) Tulisan diinspirasi dari tayangan kekesalan dan kekecewaan dik Tenik Hartono, redaktur senior Femina Group di Facebook soal generalisasi seakan semua pramugari melakukan relasi tak profesional seperti yang diberitakan media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun