Bahunya menjunjung tinggi bakul-bakul pundi. Berkalang besi, dan hentak kuda sembrani
Ia bisikkan isyarat tak kukenal.
Senyum culas menggantang.Â
Tanpa perduli aku, Ibumu yang kau ucap sayang.
"Atap banua runtuh!".Â
"Atap banua rubuh".Â
Orang kampung berlarian keluar mencari sumbu angin.
Semua ambruk. Berdebam di ujung kakiku.
Mereka terus berlari. Berlari.Â
Terseok. Terayap-rayap di kubangan hitam ingatan. Membayang patok sejarah tercabut di ranggasan akar dan ranting sakral.
Sekarang, rasakan cekik amarah akar-akar. Melilit tubuh. Merajam kemaluan hingga kau kering, rapuh dan mati.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!