Juga, rupanya pemilihan foto ilustrasi tulisan itu juga memerlukan ketrampilan. Memang admin akan bantu moderasi bila tulisan kita akan HL sih. Namun, foto dan ilustrasi yang pas juga ternyata memberi bobot tulisan kita. Kita memilih foto dan ilustrasi dengan rasa dan jiwa, khan? Sementara, AI hanya akan gunakan estimasi estimasi saja. Itu kata studi di atas.Â
Rupanya, kita sebagai Kompasianer perlu mengasah kemampuan dan ketrampilan, dengan pendalaman serta jiwa yang baik. Sementara, Etika kitalah yang mendikte mau apa dengan tulisan kita.Â
Tampaknya, kita juga perlu terbuka dengan kritik. Kalau tulisan saya dikritik lalu saya mutung, yo repot. Dan, pemenangnya adalah AI. AI menang karena ia bisa direkayasa untuk perbaikan dan penyempurnaan. Sementara saya tidak berubah?Â
APA KAITAN AI DAN KOMPASIANIVAL 2020?Â
Agar kita tidak diganti AI, saya merekomendasikan beberapa hal untuk acara Kompasianival 2020.
- Kompasiana perlu merancang dan menyusun agenda acara secara proaktif melawan kekuasaan AI. Artinya, seting panggung, susunan agenda, pendekatan acara perlu mengedepankan rasa dan jiwa manusia, yang menjadi keunggulan kita. AI bisa lakukan apa yang kita buat bertahun tahun yang lalu. Artinya, kita tidak bisa lagi hanya berfokus pada agenda panjang berisi rangkaian 'talk show'Â dan malam penganugerahan seperti tahun tahun sebelumnya. Dialog jadi kunci, dan AI tak bisa dialog.Â
- Perlu panggung yang humanis dan interaktif untuk bisa memunculkan banyak dialog itu. Ini agar kita bisa mengisi ruang kosong ketika dua atau tiga narasumber berbicara. Nararumber berbicara bergantian selama 20 menit di panggung yang begitu luas bisa membuat nuansa melompong. Pendekatan humanis akan mencegah penonton sunyi menunggu jeda sesi tanya jawab. Panggung humanis yang interaktif bisa dirancang dengan dinamis ala warung kopi, lesehan misalnya. Atau disesuaikan dengan tema yang akan dipilih untuk 2020. Buat yang informal.
- Juga, beri selingan musik jalanan dan pembacaan puisi dari Kompasianer 'Best in Fiction". Ini untuk mendorong kegairahan fiksi, yang sering dikeluhkan dan dianggap 'anak tiri'. Artinya, puisi Kompasianer harus jadi bagian penting dari perhelatan Kompasianival.Â
- Undang UKM kuliner yang menarik, semenarik apa yang dituliskan Kompasianer. Ada menu Mangut seperti yang ditulis mbak Wahyu Sapta. Ada menu Ketoprak, Es Doger, Coto Makassar, Papeda dan makanan lain. Juga kopi Banyuwangi Osing yang ditulis indah dan HL oleh Mbak Prih dan Asita DK. Lelah kita dengan menu 'global' yang bisa kita dapatkan di mall dan gerai manapun. Ini membuat kita 'lebih Nusantara', dengan harga rakyat Kompasianer, seperti tulisan tulisan Kompasianer selama ini.Â
- Buat gubuk literasi. Buat pameran dan festival buku karya Kompasianer. Buku buku boleh dijual atau dinikmati dan dibaca. Kompasianer tak perlu malu malu tunjukkan buku dari balik ranselnya seperti kemarin. Kompasiana juga bisa catat, berapa buku digenerasikan melalui proses literasi dan "civic engagement", media warga.Â
- Libatkan universitas yang dosennya memberikan tugas untuk menulis. Siswa tayang artikel di Kompasiana dan Admin menilai mana yang bisa HL. Mahasiswa itu tentu harus mendaftar sebagai Kompasianer. Mereka bukan hanya meramaikan acara, tetapi menambah jumlah Kompasianer. Recruite - Recreate - Regenerate. Jumlah akun kompasianer dan bacaan "view" akan bertambah. Ini akan membesarkan Kompasiana. Bravo!!
- Hadiah untuk penerima Award? Meski E-Book meraja, harum kertas dari buku buku terkini, atau buku klasik, termasuk buku impor adalah hadiah mahal, istimewa dan relevan bagi kami. Buku "Animal Farm" dari George Orwell? Gadis Pantai dari Pramudya? Atau buku karya Kompasianer disumbangkan sebagai hadiah?. Mauuuuu! Kaos juga keren sih. Sedih, tak ada T Shirt Kompasiana di dalam goody bag semalam. HiksÂ
Jadi, panggung Kompasianival kita buat sebagai panggung media, seni budaya serta literasi yang merefleksikan Kompasiana yang baru. Yang relevan menjawab masanya.Â
Panitia dan relawan Kompasianer bisa turut menyeleksi pembaca puisi dari karya Kompasianer fiksi terbaik pilihan redaksi. Sang Juara akan tampil pada malam Penganugerahan. Guyub. Indah. Saya kok bergairah sekali membayangkannya.Â
Ingat lho, relawan tidak hanya mereka yang muda muda, yang berlari lari untuk mempersiapkan acara. Ada relawan ide. Ada relawan berjejaring donatur. Ada relawan kuliner. Gotong royong ini tidak dimiliki AI, tapi kita bisa.Â
Lalu, karya puisi oom Mim, Syahrul Chelsky, mas S Aji atau puisi mbak Liliek serta mas Pringadi dibaca di panggung Kompasianival 2020. Atau puisi pak guru Ropingi, Prof Felix Tani, Prof Pebrianov? Syaratnya, harus yang terbaik. Boleh edan, asal tetap waras dan bermutu!
Jadi, saya 'kekeuh' Kompasianer dan Kompasianival 2020 tidak boleh digantikan oleh AI.Â
Sebagai penutup, mohon terima saya apa adanya.Â
Jangan saya diharapkan untuk menulis artikel Opini yang harus selalu HL. Izinkan saya menulis apa saja, termasuk menulis fiksiku yang picisan itu.Â