Suku ini mengindetifikasi diri terdiri dari enam kelompok, yaitu Basap Selatan, Basap Gagas, Basap Daliun, Basap Riwa, Basap Paleng dan Basap Panyombot.
Mereka masih percaya adanya kelompok masyarakat Basap Marabulan dan Rijeng yang hidup di hutan dan gunung. Masing masing kelompok memiliki bahasa ibu yang berbeda, dan Bahasa Dayak yang umum hanya dipergunakan ketika mereka bergaul di kelompok lebih luas.
Semua ditanam dan hidup liar di hutan sekitar Teluk Sumbang. Sementara perempuan bekerja di hutan dan kebun, laki laki menjerat musang dan babi untuk lauk.
Di perkampungan ini, kami menemui Ibu Hartinah, satu dari lima perempuan Dayak Basap yang menganyam bahan rotan menjadi tas cantik. Rotan rotan itu dibuat tas tas dan keranjang cantik.
Sangat halus. Karya seni yang luar biasa. Proses yang ditunjukkan Ibu Hartinah membuat saya sulit membayangkan. Bila tidak membuat anyaman, rotan dijual Rp 50 ribu seonggok yang dikumpulkan seharinya.
Bila dibuat tas rotan memang memerlukan waktu lama, namun ibu ibu dapat menjualnya dengan Rp 500.000 sebuahnya. Harga yang seharusnya tidak boleh ditawar lagi.
Saya membayangkan bila tas dan keranjang itu dinikmati di pasar yang baik dan menghormati karya tangan, seharusnya tas dan keranjang itu bisa dihargai di atas Rp 1,5 juta. Khususnya bila tas dan keranjang telah diberi lining pelapis kain di dalamnya dan peganggannya diganti kulit atau kain pelapis agar lebih nyaman di tangan dan lebih kuat pula.
Diantar Mbak Nita Roshita yang merupakan konsultan gender untuk program Akuo, akhirnya kami berkenalan dengan ibu-ibu dari Dayak Basap yang lain. Mereka berkumpul di gereja sebagai satu satunya ruang publik yang paling luas untuk membawa tas dan keranjang mereka.