Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kalimantan Timur, Kerlip Bintang, dan Obrolan Warung Kopi Jakarta

27 Oktober 2019   16:11 Diperbarui: 29 Oktober 2019   18:24 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kota Pelabuhan Baru Srilangka (World Econom8c Forum)

Perumahan Suku Dayak Basap (Dikumentasi Pribadi)
Perumahan Suku Dayak Basap (Dikumentasi Pribadi)
Nama suku Basap mengandung arti tinggal di gunung tinggi. Beberapa catatan menunjukkan kisah kedatangan suku Dayak Basap ke wilayah Teluk sumbang yang semula bermukim di kawasan komunal di gunung kemudian turun ke kawasan teluk. Ini terjadi sekitar tahun 1940 dan 1950-an.

Suku ini mengindetifikasi diri terdiri dari enam kelompok, yaitu Basap Selatan, Basap Gagas, Basap Daliun, Basap Riwa, Basap Paleng dan Basap Panyombot.

Mereka masih percaya adanya kelompok masyarakat Basap Marabulan dan Rijeng yang hidup di hutan dan gunung. Masing masing kelompok memiliki bahasa ibu yang berbeda, dan Bahasa Dayak yang umum hanya dipergunakan ketika mereka bergaul di kelompok lebih luas.

Jalan menembus hutan Teluk Sumbang (Dokumentasi Pribadi)
Jalan menembus hutan Teluk Sumbang (Dokumentasi Pribadi)
Masyarakat warga Dayak Basap sangatlah bergantung pada alam. Mereka hidup dari padi, sayur dan buah buahan yang tumbuh liar di hutan sekitar Teluk Sumbang.

Semua ditanam dan hidup liar di hutan sekitar Teluk Sumbang. Sementara perempuan bekerja di hutan dan kebun, laki laki menjerat musang dan babi untuk lauk.

Di perkampungan ini, kami menemui Ibu Hartinah, satu dari lima perempuan Dayak Basap yang menganyam bahan rotan menjadi tas cantik. Rotan rotan itu dibuat tas tas dan keranjang cantik.

Sangat halus. Karya seni yang luar biasa. Proses yang ditunjukkan Ibu Hartinah membuat saya sulit membayangkan. Bila tidak membuat anyaman, rotan dijual Rp 50 ribu seonggok yang dikumpulkan seharinya.

Bila dibuat tas rotan memang memerlukan waktu lama, namun ibu ibu dapat menjualnya dengan Rp 500.000 sebuahnya. Harga yang seharusnya tidak boleh ditawar lagi.

Saya membayangkan bila tas dan keranjang itu dinikmati di pasar yang baik dan menghormati karya tangan, seharusnya tas dan keranjang itu bisa dihargai di atas Rp 1,5 juta. Khususnya bila tas dan keranjang telah diberi lining pelapis kain di dalamnya dan peganggannya diganti kulit atau kain pelapis agar lebih nyaman di tangan dan lebih kuat pula.

Diantar Mbak Nita Roshita yang merupakan konsultan gender untuk program Akuo, akhirnya kami berkenalan dengan ibu-ibu dari Dayak Basap yang lain. Mereka berkumpul di gereja sebagai satu satunya ruang publik yang paling luas untuk membawa tas dan keranjang mereka.

Karya Qnyaman Ibu Ibu Dayak Basap (Foto : Nita Roshita)
Karya Qnyaman Ibu Ibu Dayak Basap (Foto : Nita Roshita)
Adalah mbak Nita Roshita yang telaten membantu dan mendukung ibu-ibu untuk terus berkarya dan memasarkannya pada pasar yang lebih pantas. Bravo untuk Mbak Nita Roshita yang keren. Mbak Nita menerangkan bahwa ibu ibu menanam sayuran tanpa pupuk buatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun