Aku berjalan kembali ke kursi meja praktek dan memberikan gelas air dingin itu ke Jimmy. Jimmy segera meminumnya seperti kehausan. Ia habiskan air di gelas itu.
"Soal suara yang memintaku membunuhmu...aku tak akan turuti". Jimmy berkata sambil menatapku. Aku mengangguk agar ia tahu bahwa aku percaya penuh kepadanya.
"Bagaimana dengan suara suara yang lain itu?", tanyaku.Â
Jimmy termenung. Pelan ia menolehkan wajahnya ke samping dan matanya terpejam "Suara itu makin keras".Â
"Maksud saya, apa yang akan Pak Jimmy lakukan dengan suara suara itu?", tanyaku mengulang pelan.
"Aku harus mencabut surat PHK itu. Tapi ...", ia terbata berkata. "Suara hatiku berkata, aku harus cabut surat PHK itu. Kasihan mereka dan keluarganya ", katanya.Â
"Aku tahu risikonya. Risiko jabatanku. Mungkin juga risiko nyawaku. Tapi....", ia terputus lagi.
"Aku tidak bisa lakukan ini. Aku punya hati.', sambungnya.
Aku tetap mendengar. "Bila aku dengar kata hatiku, aku yakin suara suara itu akan hilang. Dan, aku tak memerlukan psikhiater lagi", katanya sambil menatapku. Kali ini suaranya makin pelan, namun dengan keyakinan.Â
"Dan, aku tak harus membunuhmu. Karena dokter mendengar suaraku. Suara hatiku". Tiba tiba ia berdiri. Ia berjalan ke arah pintu, meninggalkan ruang praktek.Â
Aku mengangguk, walau aku tahu Jimmy tak melihatku.