Maka, tidak heran bila dikatakan bahwa tak ada satupun kebijakan yang efektif untuk mengurangi konsumsi tembakau di Indonesia.
Saya pernah bertemu pak Idris di suatu desa kecil di Bone Bone, Baraka, Enrekang, Sulawesi Selatan. Desa itu adalah desa bebas rokok. Kesadaran pak Idris yang pernah jadi kepala desa menjadikan aturan perdes larangan merokok di desa itu berhasil.Â
Ini pernah saya tulis di Kompasiana pada tautan ini.
Di desa ini terdapat hukum yang berlaku. Tidak ada satupun warung di desa itu yang menjual rokok. Perokok juga dikenakan sangsi sosial.
Aturan dilarang merokok didasari kondisi desa yang pernah sangat miskin selama bertahun tahun karena tereksklusi tanpa bantuan dana pembangunan karena mendapat cap sebagai desa DI/TII.Â
Pak Idris menemukan bahwa kondisi rakyat makin miskin karena masyarakat punya pengeluaran rutin yang menggerogoti pendapatannya, yaitu untuk rokok.Â
Banyak keluarga di desa ini yang mengorbankan belanja keluarga hanya untuk 2 pak rokok sehari. Tapi larangan ini kan hanya ada di 1 desa kecil di suatu wilayah terpencil di Sulawesi Selatan. Sementara, wilayah Indonesia yang lain rokok adalah komoditas yang legal.
Sekjen Asosiasi Produsen Rokok, Hasan Aoni Aziz, juga menyebutkan kepada the Jakarta Post pada tahun 2016 bahwa rokok adalah produk legal di Indonesia. Dan, perusahaan bebas melakukan pemasangan iklan rokok dalam bentuk apapun.Â
Bagi industri rokok, usaha mereka dilindungi undang undang, bahkan konstitusi.
Bisnis.com menyebutkan bahwa Djarum, Gudang Garam, HM Sampoerna menjadi pengiklan terbesar untuk kategori rokok.Â
Memang, biaya iklan tembakau di Indonesia terus meningkat, dari USD 202 juta di tahun 2010 ke USD 474 juta di tahun 2016 (Nielsen and AdsTensity).Â