Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengapa Semua Harus "Di-handle" Wiranto?

4 Oktober 2019   20:47 Diperbarui: 11 Oktober 2019   21:31 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menko Polhukam Wiranto (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/pd. )

Gempa Ambon 
Tampaknya Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan sedang jadi lakon di Indonesia. Selain sibuk merespons isu konflik Papua, demo mahasiswa yang menolak revisi UU KPK dan RKUHP serta beberapa revisi undang undang yang bermasalah, Wiranto juga merespons soal gempa Ambon.

Dalam menyikapi pasca gempa Ambon dengan magnitude 6,5 yang terjadi pada 26 september 2019, Wiranto meminta pengungsi kembali ke rumah agar tak menjadi beban pemerintah.

Menurut Wiranto, yang ditulis oleh Suara.com, hingga saat berita ditulis pada 2 Oktober 2019, masih banyak masyarakat yang memilih bertahan di pengungsian meski gempa sudah tidak terjadi lagi. Banyaknya pengungsi ini disebut Wiranto akibat dampak dari penyebaran informasi yang menakut-nakuti warga akan gempa susulan dan ancaman tsunami.

"Pengungsi ini ditakuti adanya informasi adanya gempa susulan yang lebih besar, ditakuti adanya tsunami akibat gempa, padahal tidak ada badan resmi manapun yang mengumumkan itu," kata Wiranto di Kantor Kemenkopolhukam, Senin (30/9/2019).

Sumber Foto SatuMaluku.com
Sumber Foto SatuMaluku.com
Atas pernyataan Wiranto, muncul berbagai tanggapan, baik dari Walikota Ambon, anggota DPRD maupun dari kalangan masyarakat. Salah satu anggota DPRD Maluku Rovik Akbar Affifudin, misalnya, mengatakan bahwa pernyataan Wiranto terkait pengungsi di Maluku sangat melukai perasaan masyarakat, khususnya yang terdampak langsung dari bencana tersebut (Kompas.com, 4 Oktober 2019). Bahkan, muncul komentar bahwa Ambon dan Maluku perlu dikeluarkan saja dari NKRI mengingat pernyataan Wiranto tersebut. 

Mengapa Pengungsi Tidak Berani Pulang ke Rumah?
Sampai dengan Selasa, 1 Oktober 2019, kantor BPMG Kota Ambon mencatat 821 gempa susulan, dan 90 di antaranya dirasakan getarannya (Kompas.com, 1 Oktober 2019).

Kompas.com menyampaikan bahwa banyaknya gempa susulan yang terus terjadi setiap hari sesudah gempa besar membuat warga panik dan berhamburan dari rumah mereka. Bahkan, sebagian dari mereka muntah muntah karena mual seperti mabuk laut.

Ini mengingatkan saya pada saat saya mendukung kawan kawan Gema Alam NTB untuk membantu penyintas gempa Lombok di Lombok Timur. Saat itu, Lombok Timur adalah wilayah pertama yang terkena gempa pada 29 Juli 2018.

Kemudian terjadi gempa susulan yang besar 6 skala richter di wilayah Lombok Utara dan Lombok Tengah. Juga, terjadi bencana gempa dan tsunami  juga Palu, tak lama sesudah gempa Lombok. Saat itu, Lombok Timur ditinggalkan oleh relawan. Gema Alam NTB lah yang masih ada di Lombok Timur terus membantu warga karena memang dalam prakteknya, jumlah pengungsi yang ada di Lombok Timur adalah sama banyaknya dengan jumlah pengungsi di Lombok Utara dan Lombok Tengah. Sementara itu, baik Bupati dan Gubernur yang baru saja dipilih lewat pilkada belum bekerja efektif untuk memberikan komando dan bantuan kepada warga dengan efektif.

Repotnya, karena alasan politis, pemerintah nasional memutuskan bahwa gempa Lombok bukan bencana nasional.

Saat itu bisa dikatakan, negara tidak hadir di Lombok Timur. 

Ketakutan warga berjalan lama. Warga tinggal di pengungsian sampai bulan kedua dan bahkan bulan ketiga sejak gempa besar terjadi. Pasalnya, banyak warga kehilangan tempat tinggal. Juga gempa susulan masih terjadi hampir setiap hari. Di awal September 2018 pun, relawan seperti kami masih tinggal di tenda. 

Untuk menolong warga, kami harus mendatangkan tim dokter relawan dari desa ke desa, dari gang ke gang, dari rumah ke rumah, karena warga tidak hendak ke puskesmas karena trauma. Dari kajian kami, petugas kesehatan yang ada di Pemda tidak memiliki kesiapan untuk membantu warga pada pasca bencana. Kondisi bencana yang tidak normal, disikapi dengan 'business as usual'. 

Karena trauma yang dialami warga dan pengungsi, kami perlu hadirkan relawan psikolog untuk secara pelan mengembalikan keberanian warga untuk kembali ke rumah. Hal ini memakan waktu cukup lama. Bahkan, masih terdapat warga yang tinggal di tenda di bulan Desember 2018. 

Untuk itulah dapat dipahami mengapa diperlukan upaya khusus untuk membuat warga kembali ke rumah.  Bahkan, banyak di antara penyintas yang tidak berani mengunci pintu rumah setelah mereka kembali ke rumah pada bulan Desember 2018. Mereka berjaga bila terhadi gempa lagi. 

Sementara untuk mereka yang rumahnya hancur, mereka biasanya lebih berani untuk tinggal di hunian sementara (huntara) karena konstruksi yang telah disesuaikan untuk tahan gempa.

Kompas.com pada tanggal 2 Oktober 2019 menuliskan laporan dari Tim BNPB yang menyebutkan bahwa terdapat 105.290 jiwa mengungsi. Selain karena rumah yang rusak,  masyarakat takut terjadi gempa lagi. Apalagi terdapat banyaknya hoaks bahwa akan ternjadi lagi gempa susulan, bahkan tsunami. 

Jadi, anjuran pemerintah lewat media agar pengungsi segera kembali ke rumah tentu saja tidak efektif. Apalagi bila kemudian dilakukan dengan 'tone' bahwa pengungsi yang banyak menjadi beban negara seperti yang disampaikan oleh Wiranto. Klarifikasi telah dilakukan oleh Wiranto. 

Pengungsi Bencana
Adalah penting untuk kita pahami apa yang menjadi tugas negara ketika terdapat pengungsi bencana. 

Terdapat Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2018 tentang Penanganan Pengungsi Pada Keadaan Darurat yang bisa kita tengok. 

Pasal 1 dari aturan tersebut mencakup apa yang disebut penanganan pengungsi, yaitu upaya yang meliputi pengelolaan data dan informasi, perlindungan dan pemberdayaan, penempatan, pemberian kompensasi dan pengembalian hak pengungsi. 

Sementara itu, pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana. 

Dalam hal pengelolaan Data dan Informasi Pengungsi, kegiatan ini meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian, diseminasi serta pelaporan data dan informasi pengungsi. Artinya, data yang adapun perlu terpilah berdasar jenis kelamin, usia dan status serta kondisinya.

Perlindungan pengungsi sendiri meliputi kegiatan yang bertujuan untuk memberikan keselamatan, martabat dan hak asasi korban bencana dengan memperhatikan hak asasi paling dasar dalam layanan kemanusiaan.

Di samping pengumpulan data dan perlindungan pengungsi, negara memiliki peran untuk memberdayakan pengungsi. Peraturan di atas mencakup  pemberdayaan pengungsi sebagai serangkaian kegiatan yang melibatkan pengungsi untuk membangun diri dan lingkungannya secara mandiri melalui pemberian sumberdaya, kesempatan memberikan masukan dalam pengambilan keputusan, serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan.

Apa yang Sering Kita Lupakan dan Abai Ketika Terjadi Bencana?
Berbagai studi, disamping pengalaman pribadi maupun observasi yang saya lakukan atas dampak bencana pada kehidupan warga terdampak, menunjukkan beberapa hal yang penting untuk diperhatikan. 

Pendidikan. Sulitnya akses anak anak pengungsi pada layanan pendidikan. Banyak fasilitas pendidikan rusak dan tidak bisa dipergunakan lagi. Pembangunan kembali atau rehabilitasi atas banguna sekolah yang rusak biasanya memerlukan waktu. Pengalaman pada apa yang dialami penyintas gempa Lombok menunjukkan diperlukannya waktu sekitar 6 bulan untuk memperbaiki kembali sekolah sekolah yang rusak.

Gizi pengungsi. Stop makan mie instan terus. Ini susah sekali. Sumbangan dari berbagai negeri dikirim dalam bentuk mie instan. Pengungsipun senang karena mereka memikirkan cadangan pangan. Aduh mak, gizi warga pengungsi jadi repot. banyak kasus bayi kegemukan, namun gizi tak ada. Ini ada pula dalam studi kami.

Perempuan dan Anak. Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling terancam kematian dan paling menderita ketika terjadi bencana. Studi bencana di berbagai wilayah Indonesia dan dunia mennjukkan bahwa ni menjadi bagian dari laporan BNPB pada Jumat, 29 Maret 2019 yang lalu. Kumpulan 60-70% korban bencana Tsunami adalah perempuan dan anak-anak serta orang lanjut usia.

Perempuan dan anak anak berisiko meninggal 14x lebih besar dari pria dewasa pada saat terjadinya bencana. Pembelajaran di Indonesia, 60-70% korban bencana adalah wanita dan anak-anak serta orang lanjut usia.

Pada bencana Cylone di Bangladesh tahun 1991, total korban 14.000 (90% perempuan). Pada badai Katrina di US, sebagaian besar korban adalah ibu-ibu Afro-American beserta anak-anaknya. Ini menjadi bagian dari BNPB (BNPB, 29 Maret, 2019).

Pengalaman dan studi yang kami lakukan terkait bencana Tsunami Aceh 2004 dan juga studi bersama rekan rekan Gema Alam NTB di Lombok 2018 menunjukkan bahwa relawan yang membantu layanan kesehatan pada umumnya hadir sesekali dan dalam waktu yang pendek.

Sementara kebutuhan layanan kesehatan ibu dan anak hampir dipastikan meningkat bersama berjalannya waktu di pengungsian.

Studi kondisi kesehatan ibu dan anak pasca gempa Lombok menunjukkan bahwa ibu ibu yang hamil, misalnya hanya mendapat layanan kesehatan ketika terdapat tim kesehatan yang datang. Pengungsi pada umumnya tidak hendak meninggalkan tenda pengungsian untuk mencari layanan kesehatan.

Trauma sering menyebabkan penyintas tidak berani meninggalkan tenda pengungsian. Studi dan pengalaman membantu penyintas menunjukkan terdapat juga ibu yang terpaksa melahirkan di bawah tenda. In iterjadi di Lombok, Palu, atau pada pasca Tsunami di Selat Sunda.  Trauma pasca bencana. Studi terkait trauma pasca bencana bencana Tsunami 2004 di Aceh menunjukkan bahwa trauma muncul sekitar 1 bulan setelah bencana dan bisa terjadi sampai 6 tahun setelah bencana terjadi.

Lansia dan orang dengan disabilitas. Akses kesehatan untuk kelompok masyarakat dengan disabilitas dan lansia sering terkendala. Bila dokter dan tim kesehatan tidak melakukan kunjungan, pada umumnya penyintas dari kelompok ini tidak mendapat layanan.

Juga, mereka hampir tidak pernah diajak bicara soal penyediaan rumahnya. Cerita soal lansia dan orang dengan disabilitas yang terpaksa tinggal di tenda yang tak layak sudah kalsik terdengar dan dilaporkan dari studi yang ada. Tapi berulang, layanan kepada mereka masih juga kurang.

Keutuhan keluarga terganggu. Bagaimanapun tinggal di tenda tidaklah senyaman tinggal di dalam rumah masing masing penyintas. Kasus hubungan yang tidak harmonis antara suami istri yang berada di pengungsian sering terjadi. Privasi suami istri tentu hilang di pengungsian.

Terdapat beberapa kasus dilaporkan bahwa laki laki terpaksa melakukan hubungan suami istri di semak semak dekat tenda pengungsian. Juga studi menunjukkan peningkatan kasus penyakit seksual yang menular, seperti sifilis, karena suami 'jajan'.

Memang terdapat lembaga yang menyediakan 'tenda asmara' bagi penyintas. Namun, ini aneh. Bahkan terjadi anak anak menonton dan merekam hubungan suami istri itu.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kekerasan, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan dilaporkan oleh pengungsi pasca Lombok(Lombok Utara dan Lombok Barat). Ini juga dilaporkan terjadi pada saat bencana Tsunami Aceh pada 2004. Kok ya terpikir untuk menggagahi perempuan ketika ada bencana. Kotor sekali otak itu.

Mandegnya kegiatan ekonomi keluarga. Studi dan pengamatan warga penyintas yang tinggal di tenda pengungsian pada umumnya memerlukan waktu lama untuk kembali bekerja. Bahkan cukup banyak penyintas yang tidak bisa kembali ke pekerjaannnya karena lahan pertanian dan kebun yang rusak setelah bencana. Artinya, potensi pengungsi mengalami kemiskinan menjadi tinggi.

Untuk itu, pembangunan hunian sementara atau Huntara sering dianggap sebagai solusi sementara yang efektif karena penyintas dapat segera memulai kembali kehidupan keluarga dan ekonominya. Juga Huntara mencegah adanya kasus kekerasan terhadap perempuan.

Selain itu, penyakit penyakit massal seperti sakit mata, batuk pilek, penyakit kulit dan lain lain dapat dicegah menular luas. Ini merupakan bagian dari hasil studi yang saya lakukan bersama Gema Alam NTB untuk pasca bencana Lombok di tahun 2018.

Layanan kesehatan tidak bisa berhenti pada layanan di fasilitasi kesehatan. Pengungsi tidak berani atau enggan meninggalkan tenda pengungsian. Pembelajaran yang lalu mestinya cukup untuk membuat keputusan bahwa kita terlalu berasumsi bahwa pengungsi dan penyintas mau mendatangi fasilitas kesehatan. 

Mereka akan menghitung uang transport dan biaya ekstra yang selalu muncul dan meningkat selama mereka tinggal di pengungsian.  Belum lagi, tak semua warga memiliki kartu BPJS. Saya sering geregetan pada pikiran dan asumsi orang 'kota dan Jakarta' bahwa kehidupan penyintas di wilayah bencana itu sesuatu yang normal.

Dalam kasus Papua, selain terdapat pengungsi banjir bandang Sentani yang belum kembali ke rumah, terdapat pula pengungsi karena adanya konflik bersenjata di Nduga. Dilaporkan bahwa lebih dari 200 anak sekolah tidak dapat mengikuti ujian nasional. Berkembangnya konflik papua di Wamena membuat pengungsi mencapai ribuan. Ini juga perlu jadi perhatian. 

Persoalan di atas menunjukkan bahwa cakupan layanan bagi pengungsi mencakup multi-sektoral. 

Mengapa Semua Harus Wiranto?
Terdapat kesan bahwa saat ini Wiranto, sebagai Menko Polhukam  melaksanakan banyak tugas dan wewenang. Wikipedia.org mencatat bahwa tugas seorang Menko Polhukam adalah membidangi koordinasi perencanaan dan penyusunan kebijakan, serta sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan.

Melihat aspek yang perlu dicakup dalam penanganan pengungsi pada keadaan darurat, sebetulnya koordinasi dukungan pengungsi mestinya bukan hanya pada Menko Polhukam, tetapi melibatkan Menko Kesra dan Menko Sumber Daya Manusia.

Bahkan observasi menunjukkan bahwa pada beberapa (banyak) kesempatan Wiranto seakan adalah juru bicara kepresidenan pada akhir akhir ini. Memang dulu terdapat Johan Budi yang merupakan Staf Khusus Komunikasi Kepresidenan. Namun, saat ini, sejak Johan Budi menjadi anggota DPRRI, tidak kita ketahui siapa yang menjalankan peran tersebut. Peran ini nampak kosong. 

Dalam hal pengungsi dan penanganan pasca bencana, kerjasama pemerintah nasional dan pemerintah daerah sangat diperlukan. Untuk itu komunikasi di antara keduanya sangat diperlukan. Bila komando untuk melakukan tanggap bencana dan pasca bencana dilakukan oleh Wiranto, akan makin kuat kesan bahwa saat ini pendekatan keamanan yang dipakai, bahkan untuk isu sosial dan ekonomi yang ada di Indonesia. 

Tanggapan soal terlalu berfokusnya pemerintah kita pada penggunaan pendekatan keamanan dan militer pada isu konflik Papua dan isu demonstrans yang lalu saja sudah mendatangkan kritik. Mengapa pendekatan keamanan juga dipakai dalam tanggap dan pasca bencana seperti gempa Ambon?

Mengingat Indonesia adalah negara yang berada pada 'ring of fire', kita akan selalu menghadapi kemungkinan adanya gempa dan bencana. Upaya upaya pencegahan dan mitigasi bencana perlu juga jadi pemikiran. Ini perlu menjadi tanggung jawab bersama, pemerintah dan masyarakat. 

Pengungsi adalah warga negara yang sedang kesusahan dan (tentu) bingung. Pemahaman yang menyeluruh pada penanganan korban dan penyintas agar optimal sangat diperlukan. Tidak bisa semuanya di'handle' dengan pendekatan keamanan, seperti yang ditunjukkan oleh 'komando' Wiranto. 

Pustaka :  Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, Delapan, Sembilan, Sepuluh, Sebelas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun