Layanan kesehatan tidak bisa berhenti pada layanan di fasilitasi kesehatan. Pengungsi tidak berani atau enggan meninggalkan tenda pengungsian. Pembelajaran yang lalu mestinya cukup untuk membuat keputusan bahwa kita terlalu berasumsi bahwa pengungsi dan penyintas mau mendatangi fasilitas kesehatan.Â
Mereka akan menghitung uang transport dan biaya ekstra yang selalu muncul dan meningkat selama mereka tinggal di pengungsian. Â Belum lagi, tak semua warga memiliki kartu BPJS. Saya sering geregetan pada pikiran dan asumsi orang 'kota dan Jakarta' bahwa kehidupan penyintas di wilayah bencana itu sesuatu yang normal.
Dalam kasus Papua, selain terdapat pengungsi banjir bandang Sentani yang belum kembali ke rumah, terdapat pula pengungsi karena adanya konflik bersenjata di Nduga. Dilaporkan bahwa lebih dari 200 anak sekolah tidak dapat mengikuti ujian nasional. Berkembangnya konflik papua di Wamena membuat pengungsi mencapai ribuan. Ini juga perlu jadi perhatian.Â
Persoalan di atas menunjukkan bahwa cakupan layanan bagi pengungsi mencakup multi-sektoral.Â
Mengapa Semua Harus Wiranto?
Terdapat kesan bahwa saat ini Wiranto, sebagai Menko Polhukam  melaksanakan banyak tugas dan wewenang. Wikipedia.org mencatat bahwa tugas seorang Menko Polhukam adalah membidangi koordinasi perencanaan dan penyusunan kebijakan, serta sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang politik, hukum, dan keamanan.
Melihat aspek yang perlu dicakup dalam penanganan pengungsi pada keadaan darurat, sebetulnya koordinasi dukungan pengungsi mestinya bukan hanya pada Menko Polhukam, tetapi melibatkan Menko Kesra dan Menko Sumber Daya Manusia.
Bahkan observasi menunjukkan bahwa pada beberapa (banyak) kesempatan Wiranto seakan adalah juru bicara kepresidenan pada akhir akhir ini. Memang dulu terdapat Johan Budi yang merupakan Staf Khusus Komunikasi Kepresidenan. Namun, saat ini, sejak Johan Budi menjadi anggota DPRRI, tidak kita ketahui siapa yang menjalankan peran tersebut. Peran ini nampak kosong.Â
Dalam hal pengungsi dan penanganan pasca bencana, kerjasama pemerintah nasional dan pemerintah daerah sangat diperlukan. Untuk itu komunikasi di antara keduanya sangat diperlukan. Bila komando untuk melakukan tanggap bencana dan pasca bencana dilakukan oleh Wiranto, akan makin kuat kesan bahwa saat ini pendekatan keamanan yang dipakai, bahkan untuk isu sosial dan ekonomi yang ada di Indonesia.Â
Tanggapan soal terlalu berfokusnya pemerintah kita pada penggunaan pendekatan keamanan dan militer pada isu konflik Papua dan isu demonstrans yang lalu saja sudah mendatangkan kritik. Mengapa pendekatan keamanan juga dipakai dalam tanggap dan pasca bencana seperti gempa Ambon?
Mengingat Indonesia adalah negara yang berada pada 'ring of fire', kita akan selalu menghadapi kemungkinan adanya gempa dan bencana. Upaya upaya pencegahan dan mitigasi bencana perlu juga jadi pemikiran. Ini perlu menjadi tanggung jawab bersama, pemerintah dan masyarakat.Â
Pengungsi adalah warga negara yang sedang kesusahan dan (tentu) bingung. Pemahaman yang menyeluruh pada penanganan korban dan penyintas agar optimal sangat diperlukan. Tidak bisa semuanya di'handle' dengan pendekatan keamanan, seperti yang ditunjukkan oleh 'komando' Wiranto.Â