Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Taksi Online Menyoal Demokrasi Khakhistokrasi dan Kleptokrasi

26 September 2019   08:32 Diperbarui: 26 September 2019   13:11 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Militer Ada di Mana Mana dan Korupsi Didukung Perundangan

Semalam saya menumpang taksi online yang dikendarai seorang pemuda yang menarik. Bukan soal menarik wajahnya. Ia santun dan mengendari mobil dengan baik. Setelah obrolan basa basi soal kemacetan jalanan Jakarta dan juga soal demo di depan kantor DPRRI, kami akhirnya berbicara soal kekecewaan disetujui dan disahkannya revisi UU KPK yang membrangus KPK.

'Orang kok mau dibohongi Denny Siregar soal Taliban di KPK ya, bu. Saya pernah narik penumpang orang KPK, bu. Kan biasa ya orang berjenggot dan celana cingkrang. Masa yang begitu dibilang ekstrim", kata pengemudi, sebut saja mas Rahim. Wah ketemu teman tak percaya Denny Siregar.

"Saya memang sehari harinya bawa taksi online, tapi saya baca berita pokitik, bu. Saya sehati dengan mahasiswa yang menolak revisi UU KPK. Mestinya pak Jokowi buat Perpu ya bu. Ini kan darurat korupsi", katanya lagi.

Saya katakan benar adanya. Memang ini gawat darurat korupsi, dan keputusan menyepakati hampir semua aspek dari revisi UU KPK membuat koruptor berpesta.

"Kasihan saya lihat mahasiswa disemprot air, bu. Itu sakit lho bu. Kencang sekali itu. Banyak mahasiswi pingsan. Ini seperti pamer kekuatan. Polisi dan petugas keamanan dikerahkan seperti menghadapi penjahat. Memang justru jadi rusuh karena dimanfaatkan orang. Juga, pak Jokowi sepertinya disetir militer. Pak Wiranto, Pak Muldoko dan pak Luhut kan dominan sekali ya bu. Lalu korupsi kok juga seakan dihalalkan ya. Apa bedanya seperti jaman Suharto, bu. Ini bisa dibilang sebagai Khakistokrasi dan Kleptokrasi ya?".

Saya terdiam. 

"Maksud saya bukan pak Jokowi. Saya coblos dia, bu. Tapi kok beliau mau disetir partai partai korup itu ya", timpalnya.

Tentu saja saya memahami pertanyaannya. Namun, ini pertanyaan yang menusuk ulu hati. Soal dominasi militer pada masa kini memang menguat dan bahkan (sangat) kuat. Lalu kekuatan koruptor yang mengendalikan demokrasi. Si mas menyebut Kleptokrasi. Ada quotes yang saya pernah baca di Guardian terbitan lama  situlis Moises Naim"In a kleptocracy criminal behavior is collective, systematic, strategic, and permanent". 

"Bu, anak STM atau SMK atau apalah masa dinyinyirin ketika demo. Mereka itu kayak anak minder yang mau bicara saja sudah dicemooh", Mas Rahim terus bicara "Ibu baca tagar tentang #Aku Bersama Jokowi?. Itu lucu ya bu. Bagaimana mungkin banyak orang tagar itu kalau pada saat yang sama pak Jokowi tidak membela kepentingan masyarakat, dan malah dekat para jendral. Muldoko, Wiranto dan Luhut. Lalu tagarnya jadi #Jokowi Bersama Muldoko, Wiranto dan Luhut. Jadi kita itu mestinya pasang tagar #Aku Karo Sopo?". Saya yang hendak tertawa ngakak berbalik jadi tertawa getir. 

Saya lalu tanya mas Rahim soal pendidikannya. Dia menjawab "Saya sekolah bu. Boleh kan boleh narik taksi?". Iyalah mas, Rahim. 

Saya ucapkan terimakasih dan berucap untuk sukses hidup mas Rahim.

Junta Militer di dalam Demokrasi Dunia 

Ini mengingatkan akan tulisan saya di awal tahun 2019 tentang kembalinya junta militer yang muncul dalam bentuk baru di banyak belahan dunia.

Di awal tahun 2019, ada berita menarik tentang Ubolratana Rajakanya Sirivadhana Varnavadi, kakak perempuan Raja Thailand atau putri tertua dari mendiang King Bhumibol Adulyadej yang mengumumkan perlawanannya pada junta militer yang telah berkuasa selama 5 tahun melalui suatu kudeta di 2015.

Perlawanan Ubolratana pada junta militer ini ia sampaikan melalui keinginannya untuk turut serta dalam Pemilu yang diadakan pada 24 Maret 2019. Namun, akhirnya pencalonannya dibatalkan oleh sang kakak, sang raja Thailand, King Vajiralongkorn, yang diduga sebelumnya sempat memberi dukungan.

 Ubolratana yang saat ini berusia 64 tahun telah meninggalkan status putri raja sejak menikah dengan seorang laki laki berkebangsaan Amerika pada tahun 1970an. Selanjutnya, Ubolratana lebih dikenal sebagai aktivis anti narkoba yang melakukan kampanye melalui medsos. Di bulan Pebruari, ia mengumumkan bahwa ia akan berada pada partai 'Thai Raksa Chart Party" yang sebelumnya berasosiasi dengan perdana menteri terakhir, Thaksin Shinawatra.

Sang raja yang berkuasa mengatakan bahwa keterlibatan anggota kerajaan dalam dunia politik adalah melawan tradisi. Penolakan oleh Raja Thailand akan menghentikan keinginan saudara perempuannya bermain di politik dan membuatnya didiskualifikasi oleh Komisi Pemilu.

Saya kebetulan berada di Bangkok ketika pengumuman atas hasil pemilu Thailand yang memberikan kemenangan pada sipil yang berada pada posisi pertama, mengalahkan Prayut Chan-o-cha, pemimpin kudeta militer pada 2014. Komentar kawan kawan warga Thailand memang membuat saya melihat realitas perubahan yang menarik (yang juga mengkhawatirkan) di banyak negara. 

Jadi, walaupun sipil yang memimpin, Thailand menjadi lebih mirip negara yang dipimpin otoritarian. Kelompok HAM dan pakar-pakar IT Thailand meminta parlemen untuk mengubah Undang-Undang Keamanan Siber (Cybersecurity) yang menurut mereka memiliki kekuasaan tidak terbatas kepada pemerintah untuk memantau jaringan internet masyarakat. 

Rancangan Undang-undang itu diloloskan oleh parlemen tanpa oposisi di bulan Februari ketika Thailand masih dibawah kekuasaan junta militer.

Undang undang Keamanan Siber itu dinilai penggiat HAM sebagai alat pemerintah untuk membungkam pembela HAM. Ubolratana yang telah mencoba untuk turut Pemilu pada Maret ini merupakan satu bentuk dari perlawanan perempuan kepada melawan kekuasaan Junta militer.

Sebelum Ubolratana mengajukan diri untuk turut dalam Pemilu, terdapat beberapa perempuan yang juga melakukan beberapa hal untuk melawan pemerintahan junta militer. Satu di antaranya Sirikan Charoensiri atau Jun. Jun mendirikan lembaga perlindungan hukum dan hak asasi manusia. Ia bekerja secara probono membantu masyarakat yang menghadapi pelanggaran hak asasi manusia.

Ia mengkritisi pemerintahan militer yang menuliskan aturan yang ada pada konstitui tanpa ada akuntabilitas yang kuat melalui pengecekan dari lembaga lembaga demokrasi.

Ia juga mengalami penahanan oleh pihak militer sebanyak tiga kali karena ia bekerja untuk isu hak asasi manusia bagi orang orang yang membutuhkan pembelaannya. Pada maret 2018 ia menerima penghargaan dari Melania Trump atas keberaniannya bekerja untuk isu hak asasi manusia.

Apa itu Junta Militer?

Junta militer atau diktator militer adalah bentuk pemerintahan yang menggunakan kekuatan militer atau mengunakan militer dalam menjalankan otoritas politiknya. JUnta militer bisa dijalan oleh kekuasaan militer ataupun kemitraan antara sipil dan militer. Hal ini sering menjadi area abu abu, karena terdapat negara yang tidak mengakui bahwa ia adalah menggunakan junta militer dalam pengambilan keputusan politik dan kenegaraannya, tetapi pegaruh militer dalam peerintahan sipilnya kuat. Tentu hal semacam ini ada pula ada masa masa pemerintahan Orde Baru kita. Dan romantisme pada kekuasaan dan 'kestabilan' Orde Baru yang 'dibantu' atau 'didukung' meliter kitapun sering mendengarnya.

Namun, kadang kadang alasan menyelamatkan negara dari korupnya kelompok sipil dipakai untuk pembenaran adanya kekuasaan junta militer. Diktator militer ini biasanya disebut khakistocracy dengan khaki atau hijau mudah yang dipakai sebagai kamoflase penggunaan warna hijau militer sebagai seragam kerja.

Pada tahun 2018 Brazil baru saja menyumpah presidennya, Jair Bolsonaro. Ia seorang mantan anggota konggres sayap kanan dan sebelumnya adalah seorang militer. Beberapa pengamat menyampaikan kekutiran mereka terkait romantisme Jair Bolsonaro pada kekuasaan diktstor milter pada tahun 1964 sampai 1985.

Sejarah diktator militer di Brazil merupakan derita bagi rakyatnya. Pada masa itu, pemerintah membrangus kebebasan warga berbicara dan berkumpul. Era pemerintahan tersebut juga menculit 475 orang orang kritis, termasuk mereka yang menolak kekuasaan militer, dan menyiksa ribuan warga. Bahkan, disebutkan bahwa antara tahun 1976 sampai 1983, dilaporkan bahwa pemerintah membunuh sekitar 15.000 orang.

Yang jelas, pemerintah Brazil tidak pernah menghukum orang yang melakukan tindak kriminal dalam konteks pemerintahan diktator. Sebaliknya, Brazil seperti memanfaatkan kasus kasus yang ada pada kekuasaan diktator dan bahkan mengangkat presiden Jair Bolsonaro yang notabene dari kalangan militer untuk menjadi presiden.

Di Myanmar atau Burma, ada Aung San Suu Kyi yang saat ini berusaia 73 tahun. Ia adalah penerima anugerah Nobel perdamaian, dikenal sebagai seorang ikon yang rela kehilangan kebebasannya karena berdiri melawan kekuasaan junta militer di negerinya.

Selama 11 tahun, sejak 1989 sampai 2010 ia dipenjarajan di rumah kediamannya sendiri karena berusaha menegakkan demokrasi. Ia memimpin the National League for Democracy (NLD) yang akhirnya menang pada pemilu pada 2015, yaitu pemilu yang pertama dilakukan selama 25 tahun terakhir.

Setelah menjadi pemimpin Myanmar yang resmi pada tahun 2016, Aung San Su Kyi terus menerima dukungan dari pihak yang sama selama ini. Sayang sekali, peristiwa eksodus lebih dari 700.000 pengungsi musli Rohingya ke wilayah Bangladesh karena tekanan militer membuat Su Kyi dihujat karena dianggap tidak mampu memberhentikan perkosaan, pembunuhan dan kekerasan yang dilakukan junta militer. Kegagalan Su Kyi untuk mengelola masyarakat yang plural dan tidak hanya membela kamu Buddha dianggap terlalu pragmatis menyikapi persoalan ini.

Kritik pada lemahnya kepemimpinan Au San Su Kyi dilemparkan banyak pihak. Dikatakan oleh analis politik bahwa ketika partai NLD menang, ia membuat kantornya di rumah. Iapun membuat jarak dengan orang partai yang telah mendukungnya. George Soros yang telah menginvestasikan banyak dana untuk proses demokrasi di Myanmar dikabarkan sulit untuk bisa menemuinya.

Realitas ini menunjukkan bahwa sebetulnya kekuatan politik pihak militer di Myanmar masih besar dan tak terbengkokkan oleh demokrasi. Au San Su Kyi sendiri lebih mirip pemimpin boneka dari junta miltier yang ada.

Walaupun Au San Sukyi adalah pejuang hak asasi manusia, kekuatan moral Sukyi rontok dan tak mampu melakukan sesuatu ketika kelompok minoritas di negaranya harus mengalami pembantaian, perkosaan, kekerasaan, dan pengusiran. Dan hal ini terkesan dilakukan Sukyi karena untuk mempertahankan posisinya.

Undang Undang Myanmar memang melarangnya untuk menjadi Presiden Myanmar karena ia memiliki 2 orang anak keturunan Amerika. Nampak sudah bahwa kekuatan Sukyi sebagai 'State Counsellor' hanyalah tameng yang dipakai Myanmar menghadapi dunia internasional. Walaupun Myanmar memiliki presiden, yaitu Win Myint, namun semua warga dan mata dunia tetap meminta pertanggungjawaban Sukyi yang dianggap sebagai pemimpin de facto. Posisi yang teramat sulit. 

Pada tahun 1988 Aung San Su Kyi sebetulnya kembali ke Myanmar untuk merawat ibunya yang sakit. Namun kondisi Myanmar yang sedang dalam situasi politik yang memanas dan mahasiswa, pegawai dan biksi melakukan protes di jalanan menuntut demokrasi menjadikannya terpanggil. Su Kyi yang terinspirasi oleh kampanye anti kekerasan yang dilakukan oleh Martin Luther King dan Mahatma Gandi melakukan kampanye reformasi demokrasi damai ke seluruh negeri.

Kasus kelompok Rohingya, yang merupakan kelompok muslim terbesar di Myanmar dengan jumlah keseluruhannya adalah sekitar 1 juta orang memang tak dikelola dengan baik di negerinya. Pemerintah Myanmar selama ini tidak mengakui keberadaan Rohingya sebagai warga negara. Bahkan Rohingya tidak diperbolehkan mengikuti pemilu pada tajun 2014.

Mereka akhirnya menjad imigran gelap di beberapa negara tetangganya, termasuk Bangladesh, Malaysia dan Indonesia. Ini adalah kekuasaan semua Sukyi yang menyedihkan, bukan hanya bagi kelompok minoritas Rohingya, tetapi juga bagi demokrasi Myanmar.

Libya yang saat ini pecah menjadi dua adalah contoh lainnya. Libya bagian Timur dengan dukungan dari PBB berbasis di Tripoli. Bagian ini dipimpin oleh Sarraj. Sementara itu, bagian lainnya berbasi di Tobruk, dipimpin pleh Haftar yang berlatar belakang militer. Di Libya, kebebasan berbicara tak diijinkan. Kelompok militer mengejar jurnalis yang menulis dengan kritik dan juga melarang keras kelompok minoritas seperti homoseksual.

Di Pakistan, walau saat ini merupakan negara demokrasi, namun kemungkinan akan berubah. Pemeintahan di Pakistan selalu berganti ganti antara demokratis dan junta militer. Presiden Pakistan Arif Alvi bukanlah seorang militer. Namun mudah sekali militer melakukan kudeta.

Pengalaman pemerintah diktator dalam kekuasaan Perves Musharraf menunjukkan bahwa begitu mudah pemerintahannya melakukan hal hal agresif dan melanggar hak asasi manusia.

Di Sudan merupakan negara yang paling lama dan bermasalah dengan kekuasaan dictator. Sejak 2003, pemerintah sering melakukan tindakan tindakan brutal kepada warganya. Dengan presidennya al-Bashir, negara memperlakukan warga dengan tekanan tekanan.

Lima tahun setelah kudeta miliyer di Mesir pada Juli 2013 atas pemerintahan presiden Mohamed Mursi, pemerintah diktator militer yang dipimpin Abdel Fatah al-Sisi makin intensif dengan perlawanannya pada terorisme.

Bertahannya dan bangkitnya junta militer ataupun kekuasaan militer ataupun dipraktekkannya nilai nilai militerisme yang mengontrol politik dan sosial warga dalam bentuk dan alasan apapun tentu akan mengancam demokrasi. Terdapat beberapa alasan, antara lain alasan keamanan negara dan alasan situasi darurat atau emerjensi, yang kemudian menjadi legitimasi adanya kekuasaan militer.

Konsitusi yang modern tidak memasukkan aspek situasi emerjensi atau darurat di dalamnya. Namun, pada level perundang undangan hal ini sering ditemui. Aturan aturan tambahan terkait situasi emerjensi biasanya 'dihidupkan' ketika terdapat situasi yang dianggap mengancam kondisi negara.

Di Inggris, misalnya terdapat Defense Against Terrorism acts dan di Amerika terdapat the PATRIOT Act.16 yang dapat berfungsi pada periode tertentu, ketika dibutuhkan. Beberapa perundangan anti terorisme diberlakukan di Jerman dan di Itali pada tahun 1980an.

Keberadaan junta militer di beberapa wilayah negara di dunia ini tentu menjadikan banyak negara demokrasi khawatir. Negara sedemokratis Brazil dan telah menyelesaikan pemilunya pada 2018 pun telah menjadi negara yang dikontrol oleh militer.

Masa Junta Militer, Khakhistokrasi, Kleptokrasi? 

Pada saat persiapan pemilu 2019, beberapa media menyebut terdapat 11 jendral yang berada di belakang Jokowi. Memang terdapat sanggahan dari Jendral Muldoko bahwa seakan ada sepasukan Jendral ada di belakang Jokowi untuk menghadapi Prabowo di Pemilu 2019 (Tribun.com, 23 Mei 2019). 

Terdapat kalangan yang melihat adanya kecenderungan Khakhistokrasi dalam pemerintahan Jokowi seperti ditulis oleh media ini. 

Dengan adanya banyak jendral di belakang Jokowi, apalagi ditunjukkan dengan respons pemerintah yang menggunakan pendekatan militer untuk kasus Papua dan juga demo tolak revisi UU KPK, dan juga pemikiran dan sentimen menangkal isu radikalisme dan juga gerakan demo yang disertai 'tumpangan' kelompok 'anarkis', kemungkinan menguatnya peran militer seakan mendapat Justifikasi. 

Lalu,  ada pertanyaan tentang apakah kita ada dalam suatu Junta militer? Atau Demokrasi berbaju Khaki? Atau malah juga Demokrasi Kleptokrasi?  

Ini mungkin guyonan, tetapi juga renungan suatu negara terbesar ketiga dalam demokrasi di dunia?

Wah masa sih kita harus pasang tagar yang disebut  mas Rahim soal #Aku Karo Sopo?

Pustaka : Satu; Dua, Tiga, Empat, Lima 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun