Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Taksi Online Menyoal Demokrasi Khakhistokrasi dan Kleptokrasi

26 September 2019   08:32 Diperbarui: 26 September 2019   13:11 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah menjadi pemimpin Myanmar yang resmi pada tahun 2016, Aung San Su Kyi terus menerima dukungan dari pihak yang sama selama ini. Sayang sekali, peristiwa eksodus lebih dari 700.000 pengungsi musli Rohingya ke wilayah Bangladesh karena tekanan militer membuat Su Kyi dihujat karena dianggap tidak mampu memberhentikan perkosaan, pembunuhan dan kekerasan yang dilakukan junta militer. Kegagalan Su Kyi untuk mengelola masyarakat yang plural dan tidak hanya membela kamu Buddha dianggap terlalu pragmatis menyikapi persoalan ini.

Kritik pada lemahnya kepemimpinan Au San Su Kyi dilemparkan banyak pihak. Dikatakan oleh analis politik bahwa ketika partai NLD menang, ia membuat kantornya di rumah. Iapun membuat jarak dengan orang partai yang telah mendukungnya. George Soros yang telah menginvestasikan banyak dana untuk proses demokrasi di Myanmar dikabarkan sulit untuk bisa menemuinya.

Realitas ini menunjukkan bahwa sebetulnya kekuatan politik pihak militer di Myanmar masih besar dan tak terbengkokkan oleh demokrasi. Au San Su Kyi sendiri lebih mirip pemimpin boneka dari junta miltier yang ada.

Walaupun Au San Sukyi adalah pejuang hak asasi manusia, kekuatan moral Sukyi rontok dan tak mampu melakukan sesuatu ketika kelompok minoritas di negaranya harus mengalami pembantaian, perkosaan, kekerasaan, dan pengusiran. Dan hal ini terkesan dilakukan Sukyi karena untuk mempertahankan posisinya.

Undang Undang Myanmar memang melarangnya untuk menjadi Presiden Myanmar karena ia memiliki 2 orang anak keturunan Amerika. Nampak sudah bahwa kekuatan Sukyi sebagai 'State Counsellor' hanyalah tameng yang dipakai Myanmar menghadapi dunia internasional. Walaupun Myanmar memiliki presiden, yaitu Win Myint, namun semua warga dan mata dunia tetap meminta pertanggungjawaban Sukyi yang dianggap sebagai pemimpin de facto. Posisi yang teramat sulit. 

Pada tahun 1988 Aung San Su Kyi sebetulnya kembali ke Myanmar untuk merawat ibunya yang sakit. Namun kondisi Myanmar yang sedang dalam situasi politik yang memanas dan mahasiswa, pegawai dan biksi melakukan protes di jalanan menuntut demokrasi menjadikannya terpanggil. Su Kyi yang terinspirasi oleh kampanye anti kekerasan yang dilakukan oleh Martin Luther King dan Mahatma Gandi melakukan kampanye reformasi demokrasi damai ke seluruh negeri.

Kasus kelompok Rohingya, yang merupakan kelompok muslim terbesar di Myanmar dengan jumlah keseluruhannya adalah sekitar 1 juta orang memang tak dikelola dengan baik di negerinya. Pemerintah Myanmar selama ini tidak mengakui keberadaan Rohingya sebagai warga negara. Bahkan Rohingya tidak diperbolehkan mengikuti pemilu pada tajun 2014.

Mereka akhirnya menjad imigran gelap di beberapa negara tetangganya, termasuk Bangladesh, Malaysia dan Indonesia. Ini adalah kekuasaan semua Sukyi yang menyedihkan, bukan hanya bagi kelompok minoritas Rohingya, tetapi juga bagi demokrasi Myanmar.

Libya yang saat ini pecah menjadi dua adalah contoh lainnya. Libya bagian Timur dengan dukungan dari PBB berbasis di Tripoli. Bagian ini dipimpin oleh Sarraj. Sementara itu, bagian lainnya berbasi di Tobruk, dipimpin pleh Haftar yang berlatar belakang militer. Di Libya, kebebasan berbicara tak diijinkan. Kelompok militer mengejar jurnalis yang menulis dengan kritik dan juga melarang keras kelompok minoritas seperti homoseksual.

Di Pakistan, walau saat ini merupakan negara demokrasi, namun kemungkinan akan berubah. Pemeintahan di Pakistan selalu berganti ganti antara demokratis dan junta militer. Presiden Pakistan Arif Alvi bukanlah seorang militer. Namun mudah sekali militer melakukan kudeta.

Pengalaman pemerintah diktator dalam kekuasaan Perves Musharraf menunjukkan bahwa begitu mudah pemerintahannya melakukan hal hal agresif dan melanggar hak asasi manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun