Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Taksi Online Menyoal Demokrasi Khakhistokrasi dan Kleptokrasi

26 September 2019   08:32 Diperbarui: 26 September 2019   13:11 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Sudan merupakan negara yang paling lama dan bermasalah dengan kekuasaan dictator. Sejak 2003, pemerintah sering melakukan tindakan tindakan brutal kepada warganya. Dengan presidennya al-Bashir, negara memperlakukan warga dengan tekanan tekanan.

Lima tahun setelah kudeta miliyer di Mesir pada Juli 2013 atas pemerintahan presiden Mohamed Mursi, pemerintah diktator militer yang dipimpin Abdel Fatah al-Sisi makin intensif dengan perlawanannya pada terorisme.

Bertahannya dan bangkitnya junta militer ataupun kekuasaan militer ataupun dipraktekkannya nilai nilai militerisme yang mengontrol politik dan sosial warga dalam bentuk dan alasan apapun tentu akan mengancam demokrasi. Terdapat beberapa alasan, antara lain alasan keamanan negara dan alasan situasi darurat atau emerjensi, yang kemudian menjadi legitimasi adanya kekuasaan militer.

Konsitusi yang modern tidak memasukkan aspek situasi emerjensi atau darurat di dalamnya. Namun, pada level perundang undangan hal ini sering ditemui. Aturan aturan tambahan terkait situasi emerjensi biasanya 'dihidupkan' ketika terdapat situasi yang dianggap mengancam kondisi negara.

Di Inggris, misalnya terdapat Defense Against Terrorism acts dan di Amerika terdapat the PATRIOT Act.16 yang dapat berfungsi pada periode tertentu, ketika dibutuhkan. Beberapa perundangan anti terorisme diberlakukan di Jerman dan di Itali pada tahun 1980an.

Keberadaan junta militer di beberapa wilayah negara di dunia ini tentu menjadikan banyak negara demokrasi khawatir. Negara sedemokratis Brazil dan telah menyelesaikan pemilunya pada 2018 pun telah menjadi negara yang dikontrol oleh militer.

Masa Junta Militer, Khakhistokrasi, Kleptokrasi? 

Pada saat persiapan pemilu 2019, beberapa media menyebut terdapat 11 jendral yang berada di belakang Jokowi. Memang terdapat sanggahan dari Jendral Muldoko bahwa seakan ada sepasukan Jendral ada di belakang Jokowi untuk menghadapi Prabowo di Pemilu 2019 (Tribun.com, 23 Mei 2019). 

Terdapat kalangan yang melihat adanya kecenderungan Khakhistokrasi dalam pemerintahan Jokowi seperti ditulis oleh media ini. 

Dengan adanya banyak jendral di belakang Jokowi, apalagi ditunjukkan dengan respons pemerintah yang menggunakan pendekatan militer untuk kasus Papua dan juga demo tolak revisi UU KPK, dan juga pemikiran dan sentimen menangkal isu radikalisme dan juga gerakan demo yang disertai 'tumpangan' kelompok 'anarkis', kemungkinan menguatnya peran militer seakan mendapat Justifikasi. 

Lalu,  ada pertanyaan tentang apakah kita ada dalam suatu Junta militer? Atau Demokrasi berbaju Khaki? Atau malah juga Demokrasi Kleptokrasi?  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun