Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Korupsi Perhutanan, Kebakaran Hutan, dan Pengebirian KPK

17 September 2019   09:38 Diperbarui: 18 September 2019   11:22 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebakaran Hutan Indonesia (Foto : Strait Times)

Gubrak! DPRRI dan Pemerintah Menyepakati 7 Poin Revisi UU No 30 tahun 2002

Berita tentang akan disahkannya revisi UU KPK pada rapat paripurna DPR pagi ini makin santer. Beberapa media telah memberitakannya. Kompas.com pagi ini 17 September 2019 bahwa DPR RI dan Pemerintah akhirnya menyepakati seluruh poin revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Kesepakatan tersebut diambil dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) di ruang Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin kemarin 16 September 2019.

Ketujuh poin itu adalah, Pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen. Kedua, terkait pembentukan Dewan Pengawas. Ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK. Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh KPK. Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan. Ketujuh terkait sistem kepegawaian KPK.

Tentunya kita tidak bisa mengomentari bila tidak membaca detil dari ketujuh aspek yang ada pada revisi UU KPK. Namun demikian, dari sub judulnya, kita bisa melihat bahwa ketujuh aspek yang diangkat DPR diterima oleh pemerintah. 

Ini kekalahan telak. Bukan hanya kekalahan pemerintah, tetapi Jokowi, KPK, dan terlebih rakyat Indonesia. Pembayar pajak di Republik ini. 

Kita saat ini menyaksikan betapa 'slintutannya' (bergerak dengan sembunyi sembunyi) DPRRI dan Pemerintah. Presiden Jokowi seakan sudah tidak ada hati untuk mendengar apa yang menjadi kekuatiran beberapa pihak yang punya kredibilitas.


Presiden Jokowi tidak perdulikan keinginan KPK untuk berbicara. Presiden Jokowi sudah tidak perduli dengan masukan Ornop sekelas ICW dan MTI serta PSHK yang telah terbukti bertahun tahun sejak reformasi bekerja di ranah anti korupsi dan penegakan hukum.

Presiden Jokowi bahkan sudah tidak perduli bahwa alamamernya, termasuk guru besar, dosen dan civitas akademika dan juga citivitas akademika dari berbagai universitas menolak revisi UU KPK.

Presiden Jokowi tidak memperdulikan ribuan masyarakat dari kalangan professional yang meminta perhatiannya untuk adanya dialog.

Presiden seakan malah lebih percaya dan nyaman untuk berkawan dengan DPR yang jago tidur dan omong dan massa bayaran yang melakukan demo di jalanan untuk pro pada revisi UU KPK. 

Beginilah saya, patah hati yang begitu sakit, sebagai akibat dari cinta yang dalam dan saya rasa teramat tulus. Saya masih berharap pak Jokowi mendengar suara rakyat. 

Apakah saya menyesal memilih Bapak pada Pilpres kemarin? Tidak. Wong saya tidak mampu untuk bisa memilih Prabowo, dengan sejuta alasan. 

Ada hal lain. Masih terkait urusan korupsi. 

Presiden Jokowi yang ahli kehutananpun seakan beku ketika berhadapan dengan kebakaran hutan yang luar biasa. Apalagi kita tahu, kebakaran ini berhubungan pula dengan tindak korupsi.

Bahkan, komentarnya tentang pentingnya pencegahan kebakaran melalui pemda tak jelas agendanya. Menurut saya, penegakan hukum yang terpenting karena korporasi pasati tak akan dengar advokasi dan pendidikan. Apalagi pemda dan bupati biasanya gunakan billboard untuk sosialisasi. 

Ini adalah sebagian dari gambar kebakaran hutan akhir akhir ini.


Kebakaran Hutan dan Tindak Korupsi 

Analisis dan laporan tentang kaitan kebakaran hutan dengan tindak korupsi di Indonesia sudah lama kita dengar.

Di tahun 2017 Greenpeace melaporkan adanya keterkaitan korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah daerah dengan kasus kebakaran hutan di wilayah Riau, Sumatera. Saat itu kebakaran terjadi di wilayah Dumai, Bengkalis dan Rokan Hilir.

Disinyalir, korupsi dari pejabat pemerintah daerah terjadi karena mereka menutup mata ketika perusahaan besar, khususnya perusahaan kebun kelapa sawit membakar hutan untuk membuka lahan.

Pada 14 Juni 2017, Gubernur Riau, Rusli Zainal ditahan KPK karena tuduhan korupsi, di antaranya adalah pemberian ijin kehutanan.

Perusahaan asing juga melakukan penyuapan pejabat untuk menghalalkan perbuatannya. Sayangnya, masyarakat luas sudah kadung percaya seakan masyarakat asli Kalimantan dan Sumatera yang masih mempraktekkan pembakaran hutan untuk menjalankan metode ladang berpindah yang tradisional. Ini tidak adil.


Di seluruh dunia, para pengelola lahan -- mulai dari petani kecil, menengah hingga perusahaan besar -- jmenggunakan metode pembersiahan lahan dengan cara membakar hutan. Pembakaran dipercaya bisa meningkatkan kesuburan tanah, menurunkan salinitas, mencegah hama, dan meningkatkan nilai lahan di pasar lahan lokal karena telah siap tanam.

Namun demikian, sebenarnya alasan utama dari metode ini adalah karena biayanya yang relative murah bagi perusahaan. Menurut ilmuwan CIFOR, Herry Purnomo, dalam konteks Indonesia, pembakaran hanya menelan biaya sekitar 20 dolar AS per hektare, sementara metode lain menelan biaya sekitar 400 dolar AS per hektare. Alasan relative murahnya menggunakan metode pembakaran sering dijajarkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk aspek pembebasan tanah dan tenurial.

Pemerintah dilaporkan telah mengerahkan setidaknya 9.000 personel gabungan dan 42 helikopter untuk mengatasi karhutla yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan yang terjadi pada bulan Agustus dan Sseptember ini. Dukungan TNI AU dengan pengerahan C-130, CN 295 pun telah dilakukan. Tapi toh kebakaran terus terjadi. Masyarakat Kalimantan dan Sumatera menjalani hidup yang tidak normal. Penerbangan terganggu. Kesehatan keluarga, khususnya anak anak terganggu. Persoalan ISPA melanda.

Memalukan sekali kejadian ini.

Pemandangan hutan rimba Komunitas Adat Laman Kinipan, yang sudah jadi kebun sawit. Belum adanya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat ini menyebabkan warga hidup dalam ketidakpastian. (Mongabay)
Pemandangan hutan rimba Komunitas Adat Laman Kinipan, yang sudah jadi kebun sawit. Belum adanya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat ini menyebabkan warga hidup dalam ketidakpastian. (Mongabay)
KPK pernah menyatakan bahwa lembaganya bisa terlibat dalam upaya pemberantasan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) karena ini melibatkan korupsi dan terjadi kerugian negara dalam peristiwa ini.

Sudah jelas bahwa jumlah hutan kita makin berkurang. KPK bisa memberikan rekomendasi terkait langkah pencegahan korupsi dalam tata kelola sektor kehutanan. Juga, KPK bisa melakukan penindakan. 

Karhutla terjadi di sejumlah daerah di Indonesia pada musim kemarau tahun ini. Daerah-daerah terjadi karhutla di antaranya Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

Di Palangkaraya nampak titik kebakaran hutan berada dekat dengan pemukiman warga. Di Pontianak, asap membuat jarak pandang menjadi 100 hingga 200 meter.

Tentu saja persoalan kesehatan dan keamanan menjadi kekuatiran warga masyarakat. Presiden Joko Widodo menyatakan malu asap karhutla sampai masuk ke negara tetangga. Bahkan sampai menjadi berita utama media massa di sana.

Saya kira kekuatiran harus melewati rasa malu. Ini malu dan mengerikan. Suatu saat pemerintah Indonesia bisa mendapat tuntutan dari negara tetangga dan juga perusahaan swasta yang bisisnya rugi karena terhambat persoalan asap hutan kebakaran kita. Belum lagi soal kerugian ekonomi, sosial, lingkungan dan kesehatan.

Nah, kalau sudah demikian, bukankah kita masih butuh KPK yang efektif ?

Rencana Presiden Jokowi yang hendak membuka investasi asing seluasnya akan mengerikan bila diikuti dengan pelanggaran pada aspek lingkungan, sosial dan budaya yang ada di wilayah investasi. Lalu, apakah artinya memang korupsi di tingkat pemda juga akan terus dirawat?

Apakah pengebirian KPK juga, salah satunya karena kita akan membuka investasi asing besar besaran? Saya pikir produktivitas kita dan daya kompetisi kita yang semestinya kita dorong. Bukan hanya sekedar membuat aturan lingkungan, sosial dan budaya lebih longgar dengan korupsi dan suap.

Kebakaran Hutan dan Kerugian Ekonomi

Biaya Ekonomi Kebakaran Hutan yang Luar Biasa. Suatu studi "The Cost of Fire, An Economic Analyses of Indonesia's 2015 Fire Crisis' yang diterbitkan oleh the World Bank pada 2016 menunjukkan bahwa sekitar 2,6 juta hektar hutan Indonesia terbakar pada Juni sampai Oktober 2015. Ini artinya, hutan yang terbakar adalah 4 kali dari pulau Bali.

Di antara luas hutan yang terbakar itu, sekitar 100.00 hektar dibakar secara senagaja untuk kebutuhan pembukaan lahan, karena pertimbangan biaya.

Abainya pemerintah untuk mengontrol kebakaran hutan, yang dipicu oleh lemahnya pemegakan hukum membuat kebakaran hutan tidak bisa ditanggulangi. Ini menyebabkan persoalan krisis ekonomi dan lingkungan. Transportasi terhambat. Perdagangan dan wisata mandeg. Sekolah tutup dan isu kesehatan meningkat.

Ratusan bisnis tidak bisa beroperasi. Sekitar empar ribuan petani yang menggantungkan hidupnya pada lahan dan hutan menjadi kehilangan mata pencaharian.

Sementar itu, jutaan penduduk mengalami gangguan dan persoalan kesehatan. Di tahun 2015 saja, kebakaran hutan Indonesia memakan kerugian sebesar 221 triliun.

Ini seharusnya jadi perhatian pemerintah. Kerugian itu tentu harus didanai oleh anggaran pemerintah, yang notabene dana pajak warganya.

Sampai dengan Oktober 2015, 8 provinsi membakar sekitar 100.000 hektar. Area lahan gambut di Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah yag merupakan lahan gambut adalah wilayah yang paling rentan. Di kedua wilayah itu merupakan 23% dan 16% dari keseluruhan wilayah kebakaran hutan.

Sebelumnya, kita bahkan alami kebakaran hutan Papua yang membakar sekitar 10% dari keseluruhan wilayah kebakaran secara nasional.

Studi menunjukkan bahwa kebakaran hutan pada umumnya untuk pembukaan hutan kelapa sawit. Pemerintah melalui Instruksi Presiden 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produkvitas Perkebunan Kelapa Sawit.

Peraturan ini sudah ditunggu tunggu lebih dari 2 tahun, sebagai bagian dari janji Presiden Jokow. Instruksi Presiden (Inpres) tentang penghentian sementara (moratorium) perluasan lahan dan evaluasi perkebunan sawi ini bertujuan, memberikan waktu untuk mengevaluasi dan menata kembali izin-izin perkebunan sawit dan meningkatkan produktivitas.

Aturan ini diharapkan mampu meningkatkan tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi gas rumah kaca.

Regulasi ini juga menugaskan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Dalam Negeri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, para gubernur dan bupati/walikota untuk menunda izin baru perkebunan sawit, baik permohonan baru, permohonan telah mendapatkan persetujuan prinsip maupun permohonan yang diajukan namun belum melengkapi persyaratan.

Regulasi ini juga menyentuh pada penyelesaian konflik sosial di lapangan, dan tentu juga menjaga agar korporasi lebih terkontrol untuk tidak berkontribusi pada isu kebakaran hutan.

Secara khusus, rasanya diperlukan peraturan untuk pengelolaan kebakarn hutan di Indonesia. 

Berharap moratorium perkebunan sawit bisa menjawab konflik-konflik lahan seperti ini.

#KPK SOS

Pak Jokowi, maafkan ya bila saya meneruskan untuk terus berjalan bersama saudara dan sahabat dan membuat petisi ini.

Saat ini (jam 9.30) terdapat 1.890 penandatangan petisi #KPK SOS. Batalkan Pimpinan KPK Bermasalah dan Tunda Revisi UU KPK. 

Mudah mudahan, Pak Jokowi bisa bergabung bersama kami. Terima Kasih untuk menandatangani Petisi ini, pak Jokowi. http://chng.it/sVWQfNjk

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun