Saya sempat menunda untuk menuliskan artikel ini. Namun, konflik di Nduga nampak makin serius di pertengahan Agustus yang lalu. Tim Pemerintah Kabupaten Nduga mencatat jumlah pengungsi adalah sekitar 38.000 orang, antara lain berasal dari Distrik Mapenduma (4.276 jiwa), Distrik Mugi (4.369 orang) dan Distrik Jigi (5.056 orang), Distrik Yal (5.021 orang), dan Distrik Mbulmu Yalma sebesar (3.775 orang).Â
Terdapat pengungsi dari distrik lain yaitu Kagayem (4.238 orang), Distrik Nirkuri (2.982 orang), Distrik Inikgal (4.001 orang), Distrik Mbua (2.021 orang), dan Distrik Dal (1.704 orang). Juga terdapat 182 pengungsi, 113 di antaranya adalah perempuan, meninggal. Korban pada umumnya meninggal karena kedinginan, lapar dan sakit.
Sedihnya, tim melaporkan bahwa anak anak yang tidak bisa tahan dingin terpaksa makan rumput, daun kayu dan segala yang bisa dimakan (bbc.com, 14/08/2019). Ini sangat menyayat hati. (bbc.com).Â
Ribuan warga sipil di Kabupaten Nduga mengungsi setelah terjadi pembunuhan belasan karyawan PT. Istaka Karya di Gunung Kabo, Desember 2018 lalu oleh anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). BBC.com melaporkan bahwa masyarakat, khususnya perempuan ketakutan dan menolak kehadiran TNI dan juga bantuan dari Kementrian Sosial karena takut kepada OPM. Perempuan ada di tengah tengah, bagai pelanduk di tengah gajah.
Lalu, minggu yang lalu, muncul aksi rasialis atas masyarakat Papua di Jawa Timur yang membawa rentetan demonstrasi yang mengakibatkan perusakan fasilitas umum dan bangunan negara, baik di Papua maupun di Papua Barat. Sorong, Manokwari dan Jayapura alami pembakaran.Â
Pengalaman konflik dan kekerasan yang dialami perempuan Papua sejalan dengan sejarah masa kolonialisme, masa 'integrasi' dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sampai masa implementasi Otonomi Khusus. Seakan rantai konflik dan kekerasan yang dialami masyarakat Papua, khususnya perempuan, tak pernah putus.
Jadi, konflik yang dialami masyarakat Papua dan terjadi akhir akhir ini, baik yang terjadi di Nduga dan juga yang terjadi antara masyarakat Jawa Timur dengan masyarakat Papua bukanlah konflik yang baru. Â Ini terjadi dari akumulasi isu yang lama, yang diduga ditiup oleh elit politik.Â
Ketertinggalan dan Konflik
Konflik yang terjadi di Papua dan Papua Barat, sedikit banyak sangat dipengaruhi oleh berbagai persoalan sosial, politik dan ekonomi. Kajian, studi, serta konsultasi dengan banyak kelompok perempuan, anggota masyarakat, dan Majelis Rakyat Papua (MRP), memberikan catatan atas beberapa isu yang diangkat oleh masyarakat Papua, khususnya kelompok perempuannya.Â
Ini mengingatkan saya pada diskusi dengan Mama Kambu, panggilan untuk Ibu Dra. Katherine Kareth yang bersama mendorong perubahan di Papua Barat. Beliau meninggal di tahun 2014, tak lama setelah kami mengadakan konsultasi dengan beliau dan kelompok perempuan.
Mama Kambu adalah mantan kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Manokwari. Setelah pensiun, mama Kambu buka sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, satu satunya di Manokwari.Â