Sering kita temui mama-mama sudah ditunggui oleh suaminya yang meminta hasil jerih payah mama-mama secara langsung di pasar untuk membeli miras. Ini sering menjadi pertengkaran dan konflik di pasar. Ini ditemukan di pasar kaget di depan KFC di jayapura maupun di pasar Yotefa di Jatapura.
Sejarah konflik dan pasca konflik di Papua juga meninggalkan tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat keamanan. Anak korban relasi perempuan dengan aparat sering disebut sebagai 'anak rumput' karena terjadi di rerumputan. Ini menyebabkan stigmatisasi dan anak tidak bisa mendapatkan akta kelahirannya.
Repotnya, kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat bila dilaporkan kepada pimpinan hanya diselesaikan secara adat. Pelaku hanya disuruh membayar Rp 2 sampai 5 juta, bakan tidak jarang perempuan tidak bisa membuktikan dan akhirnya hanya menjadi peristiwa hidup semata (Laporan Komnas Perempuan 2017).Â
Pada 17 Juli 2015 terjadi konflik di Tolikara. Karena konflik menyebabkan pembakaran dan mengenai masjid, kemudian dihembus sebagai konflik agama. Ini tentu membuat persoalan lebih rumit.
Selanjutnya terdapat pula beberapa konflik lain, termasuk yang terjadi di Paniai pada Oktober 2016. Juga konflik terjadi di Manokwari tanggal 22, 26 dan 27 Oktober 2016 antara komunitas Makasar dan Komunitas Papua di kampung Sanggeng, Kabupaten Manokwari.
Selama ini, konflik yang berulang selalu diselesaikan oleh aparat kepolisian dengan mengedepankan pendekatan keamanan. Laporan Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kasus semacam yang terjadi di Manokwari bukanlah peristiwa yang pertama.
Akhir akhir ini konflik antara kontraktor pembangunan atau perusahaan dengan masyarakat karena persoalan pembebasan tanah komunal (ulayat) sering terjadi. Penyebab utamanya bisa berbagai, termasuk sulitnya terjadi kesepemahaman tentang apa itu perjanjian jual beli lahan dan tenurial serta "resettlement". Politik 'Palang Pintu' sering dipakai masyarakat ketika mereka hadapi jalan buntu.Â
Konflik dan Perempuan dalam Konteks Otsus.Â
Undang undang Otonomi Daerah terkait bab Otonomi Khusus (Otsus) untuk Papua menetapkan bahwa rakyat Papua memiliki Majelis Rakyat Papua (MRP) yang terdiri dari sepertiganya adalah wakil masyarakat adat, sepertiganya adalah masyarakat gereja dan sepertiganya adalah dari kelompok perempuan.Â
Peran MRP ini adalah, antara lain, untuk menyampaikan aspirasi serta pengaduan dari kelompok adat, agama, dan perempuan terkait hak masyarakat asli (UU 21/2001, pasal 19). Dengan demikian, keterwakilan perempuan memang kuat di dalam MRP.
Sebetulnya, masyarakat adat, gereja dan perempuan memiliki hak sebesar 8% dari dana Otsus. Implementasi dari penyaluran dana nampaknya hampir selalu bermasalah.
Sejak reformasi, sebetulnya isu konflik yang menggunakan argumentasi Papua Merdeka terjadi dalam ruang terbatas. Seringkali, masyarakat, khususnya perempuan merasa bingung dan marah karena Otsus tidak membawa kebaikan dan manfaat bagi kelompok termiskin dan perempuan.