Pelanggan yang datang belakanganpun harus puas dengan jus dari buah yang tersisa. Jus alpukat paling laku. Mungkin karena ini yang paling mengenyangkan. Beberapa mahasiswa bercakap sambil sesekali mengambil kerupuk udang dan kerupuk kampung di kaleng besar. Cukup riuh percakapannya.
Aku bayangkan, mereka tentunya saling mencocokkan apa yang mereka kerjakan di UAS tadi. Akupun kembali jadi ingat masa kuliahku. Aku bukan mahasiswi bodoh. Bukan pula mahasiswi terbodoh. Nilai nilaiku lumayan.Â
Ketika aku terpaksa meninggalkan semua kehidupan kuliahku di semester 4, IPK ku 3,4. Memang beberapa kawanku di kampus menyayangkan keputusanku mengikuti permintaan ayahku untuk menikahi Mas Hari. Namun, sudahlah, aku rasa itu yang terbaik.Â
Jam menunjukkan pukul 3.30 sore ketika Saskia datang setelah selesai ujian. Biasanya, Mas Yanto menjemputnya jam 4 sore. Aku jadi teringat puisi yang Saskia berikan tadi pagi.
Setelah Saskia duduk tenang meminum jus Jambunya yang tanpa gula, aku duduk di sebelahnya. Aku tidak membuka suara. Saskia yang memulainya dengan santai "Mbak Sri, sudah baca puisinya? Bagus ya?". Aku diam beberapa saat. Tidak menjawab pertanyaannya. Aku hanya bertanya balik "Itu siapa sih, mbak Saskia?".Â
Saskia mengerutkan dahinya "Lho, bukannya mbak Sri tahu itu dari siapa?".Â
"Cuma inisial, mbak. Siapa itu MAN?", tanyaku.
Saskia tertawa terbahak "Lha..tiap hari ia di sini, kok malah tidak tahu namanya. Ia kakakku, mbak. Mas Adimas. Kakakku yang minggat dari rumah itu".Â
"Adimas? Ia kakak mbak Saskia?'Â
"Inisial itu nama kakakku. Mas Adimas Notonegoro", Saskia menjawab sambil tergelak.Â
Sejujurnya, aku kaget. Â Aku hanya bisa terdiam. Jantung dan mataku sebetulnya terasa mau copot. "Hah...Adimas, si Brondong Pelupa itu?!. Tak mungkin! Sudah pasti tak mungkin", suara di kepalaku bersahutan.Â