Pelan pelan aku buka amplop. Puisi!!. Secarik kertas berisikan puisi.
*Pendulum Kita*
tidakkah kau lihat?
aku kini punya titik ordinat
bersimpuh di selasar orbitmu
tak perduli jarak lelah berjuta tahun cahaya
dan celotehan relativitas keparat
aku hanya ingin kita disatukan formula
merupa keabadian energi pendulum kenangan
menggerakkan pendar-pendar jagat raya
menjadi bilangan tak terhingga
sepanjang hidup kau dan aku
MAN, 26 Agustus 2019.
Jantungku berdebar keras. Aku agak bergetar membacanya. Kikuk. Malu. Padahal aku tahu tak ada orang di sekitarku.Â
Yang aku tahu, ini puisi indah. Tak hanya itu. Ada ketegasan di tiap katanya. Meski, puisi itu seakan menyimpan rahasia soal cinta yang sulit bertemu. Soal jarak. Ada urusan soal tahun cahaya.Â
MAN? Siapa MAN?Â
Inisial namanyapun aku tak paham.Â
Ah, sudahlah. Pagi pagi kok baca puisi. Aku harus bekerja. Kumasukkan amplop itu di ransel kecil tempat aku simpan segala hal dan uangku.Â
Aku harus lanjutkan kerjaku. Mahasiswa makin banyak yang datang.Â
Aku akan tanyakan nanti kepada Saskia. Toh Saskia selalu menunggu Pak Yanto menjemput di warungnya, siang atau sore nanti.
Memang, biasanya, setelah jam 3 siang, warung tidak terlalu ramai. Beberapa kali, mahasiswi duduk memesan jus atau rujak atau kopi, sambil "kingkow", membunuh waktu. Atau malah curhatan seperti Saskia.Â
Dibandingkan dengan kawan kawan kuliahnya, Saskia memang berbeda. Cantik yang alamiah. Meski tanpa dandanan.Â
Ia ramah dan sopan kepadaku. Dari cara berpakaiannya, aku paham ia dari keluarga berduit. Jahitan bajunya selalu rapi, meski dengan model dan warna warna sederhana. Â Sepatunya selalu mengkilap. Â