Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Baju Adat Sasak Pak Jokowi dan 90 Ribu Penyintas Gempa NTB Belum Punya Rumah

16 Agustus 2019   20:44 Diperbarui: 19 Agustus 2019   15:21 5569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis dan Tina (17 tahun) bersama anaknya 9 bulan. Suaminya pekerja migran meninggalkan Tina sehari sesudah gempa pada 29 Juli 2018. ( Dokumentasi pribadi)

Karena selama 4 bulan penuh saya bersama kawan-kawan Gema Alam NTB membantu penyintas pasca gempa Lombok di tahun 2018, saya dapat sampaikan bahwa masyarakat NTB, khusunya penyintas belum bisa dikatakan menurun tingkat kemiskinannya. 

Kehamilan Risiko Tinggi
Antara September sampai Desember 2019, sambil memberi layanan kesehatan gratis pada ibu hamil, kami lakukan penapisan dengan USG kepada 409 ibu hamil di 11 desa di Lombok Timur. Ditemukan bahwa sekitar 23% dari ibu hamil yang diperiksa adalah ibu hamil dengan risiko tinggi (Leya Cattleya dan Haiziah Gazali untuk Gema Alam NTB" Kesehatan Reproduksi pada Pasca Gempa Lombok, Lombok Timur, Desember 2019). 

Dokter Risa Risfiandi, SPOG, Relawan Milenial menapis ibu hamil dengan USG yang harus kami sewa di Jakarta. Ibu hamil pada umumnya absen memeriksakan diri pada pasca bencana (Foto: Gema Alam NTB)
Dokter Risa Risfiandi, SPOG, Relawan Milenial menapis ibu hamil dengan USG yang harus kami sewa di Jakarta. Ibu hamil pada umumnya absen memeriksakan diri pada pasca bencana (Foto: Gema Alam NTB)
Artinya, satu di antara empat ibu hamil memiliki kehamilan berrisiko tinggi. Selanjutnya, dari ibu hamil yang berisiko tinggi tersebut, lebih dari separuhnya, yaitu 55% di antaranya adalah ibu yang hamil di bawah usia 18 tahun. 

Ketika saya berkunjung di desa Beririjarak di Lombok Timur, saya bertemu dengan Tina Tantri dan mengaku berusia 17 tahun. Ia menggendong bayinya yang berusia 9 bulan. Entah mengapa langsung menempel saya.

Sehari setelah bencana 29 Juli 2018, ia dititipkan oleh suaminya kepada bibinya di Beriri Jarak, 2 jam perjalanan dengan mobil dari Sembalun karena rumahnya di Sembalun Bumbung hancur karena gempa. Suaminya meninggalkannya untuk bermigrasi sebagai pekerja di perkebunan di Malaysia sehari setelah gempa pada 29 Juli 2018.

Tina tinggal di tenda massal ketika saya menemuinya. Kami akhirnya membantu bangunkan hunian sementara di Sembalun Bumbung. Ini untuk menghindarkannya dari risiko menjadi korban trafficking. Situasi Tina sebagai seorang ibu di usia anak dengan anak bayi adalah sangat berisiko tinggi. 

Dalam kerja kami selanjutnya, kami selalu berusaha libatkan Tina agar ia bisa terus berfokus pada upaya bangkit. Ia akhirnya berjualan pulsa untuk bisa bertahan, walau suaminya masih mengirim uang dari Malaysia. Ia bercita-cita untuk bisa membangun kembali rumahnya. 

Penulis dan Tina (17 tahun) bersama anaknya 9 bulan. Suaminya pekerja migran meninggalkan Tina sehari sesudah gempa pada 29 Juli 2018. ( Dokumentasi pribadi)
Penulis dan Tina (17 tahun) bersama anaknya 9 bulan. Suaminya pekerja migran meninggalkan Tina sehari sesudah gempa pada 29 Juli 2018. ( Dokumentasi pribadi)
Memang NTB memiliki prevalensi perkawinan anak yang tinggi. Prosentasi penduduk NTB yang menikah di bawah usia 15 tahun mencapai 4,5%, sementara yang menikah di bawah 19 tahun adalah 44 %. Pada umumnya alasan perkawinan anak adalah karena kemiskinan. Di masa pasca bencana, kasus ini meningkat karena mereka terdesak kondisi yang makin buruk. 

Bila kita gunakan definisi anak menurut PBB yaitu mereka yang di bawah 20 tahun, maka prevalensi perkawinan anak di NTB sebesar 44% di tahun 2017 itu adalah satu dari yang 10 provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di Indonesia. 

Tina dan anak perempuan senasibnya pada umumnya tidak punya BPJS. Mereka sudah tidak bersekolah karena dikeluarkan dari sekolah atau 'drop out'. Mengingat mereka lakukan hubungan seksual pada usia muda, mereka juga memiliki risiko terkena kanker serviks serta terkena penularan penyakit seksual. 

Mereka juga cenderung mempunyai anak yang banyak karena usia produktif yang panjang. Di sini, dicatat bahwa perempuan muda mempunyai risiko lebih tinggi ketika hamil. Mengingat statusnya yang bisa disebut sebagai anak anak, mereka pada umumnya tidak memeriksakan kehamilannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun