Karena selama 4 bulan penuh saya bersama kawan-kawan Gema Alam NTB membantu penyintas pasca gempa Lombok di tahun 2018, saya dapat sampaikan bahwa masyarakat NTB, khusunya penyintas belum bisa dikatakan menurun tingkat kemiskinannya.Â
Kehamilan Risiko Tinggi
Antara September sampai Desember 2019, sambil memberi layanan kesehatan gratis pada ibu hamil, kami lakukan penapisan dengan USG kepada 409 ibu hamil di 11 desa di Lombok Timur. Ditemukan bahwa sekitar 23% dari ibu hamil yang diperiksa adalah ibu hamil dengan risiko tinggi (Leya Cattleya dan Haiziah Gazali untuk Gema Alam NTB" Kesehatan Reproduksi pada Pasca Gempa Lombok, Lombok Timur, Desember 2019).Â
Ketika saya berkunjung di desa Beririjarak di Lombok Timur, saya bertemu dengan Tina Tantri dan mengaku berusia 17 tahun. Ia menggendong bayinya yang berusia 9 bulan. Entah mengapa langsung menempel saya.
Sehari setelah bencana 29 Juli 2018, ia dititipkan oleh suaminya kepada bibinya di Beriri Jarak, 2 jam perjalanan dengan mobil dari Sembalun karena rumahnya di Sembalun Bumbung hancur karena gempa. Suaminya meninggalkannya untuk bermigrasi sebagai pekerja di perkebunan di Malaysia sehari setelah gempa pada 29 Juli 2018.
Tina tinggal di tenda massal ketika saya menemuinya. Kami akhirnya membantu bangunkan hunian sementara di Sembalun Bumbung. Ini untuk menghindarkannya dari risiko menjadi korban trafficking. Situasi Tina sebagai seorang ibu di usia anak dengan anak bayi adalah sangat berisiko tinggi.Â
Dalam kerja kami selanjutnya, kami selalu berusaha libatkan Tina agar ia bisa terus berfokus pada upaya bangkit. Ia akhirnya berjualan pulsa untuk bisa bertahan, walau suaminya masih mengirim uang dari Malaysia. Ia bercita-cita untuk bisa membangun kembali rumahnya.Â
Bila kita gunakan definisi anak menurut PBB yaitu mereka yang di bawah 20 tahun, maka prevalensi perkawinan anak di NTB sebesar 44% di tahun 2017 itu adalah satu dari yang 10 provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di Indonesia.Â
Tina dan anak perempuan senasibnya pada umumnya tidak punya BPJS. Mereka sudah tidak bersekolah karena dikeluarkan dari sekolah atau 'drop out'. Mengingat mereka lakukan hubungan seksual pada usia muda, mereka juga memiliki risiko terkena kanker serviks serta terkena penularan penyakit seksual.Â
Mereka juga cenderung mempunyai anak yang banyak karena usia produktif yang panjang. Di sini, dicatat bahwa perempuan muda mempunyai risiko lebih tinggi ketika hamil. Mengingat statusnya yang bisa disebut sebagai anak anak, mereka pada umumnya tidak memeriksakan kehamilannya.