Dusun Sade, desa Rambitan, tak jauh dari bandara Praya - Lombok  Tengah di NTB. Masyarakat Sade sendiri menganut agama Wektu Telu - Sholat 3 kali sehari - Islam dengan pengaruh Hindu dan Buddha, begitu penjelasan dari pak Rakha, sang pemandu wisata warga Sade.
1. Sejak Lahir Perempuan Diposisikan Inferior
Sejak lahir perempuan Sasak telah disubordinasikan atau dinomorduakan. Mereka selalu dipersiapkan sebagai calon istri laki laki dan mendapat status "ja'ne lalo atau ja'ne tebait si' semamenne".Â
Ini memiliki makna bahwa perempuan akan meninggalkan orang tua dan untuk kemudian, mereka adalah milik suaminya. Di lain pihak, sejak kelahirannya, seorang anak laki-laki pertama biasanya lebih disukai dan dikenal sebagai "anak prangge" atau pewaris tahta orang tuanya.
Saya mengamati kebiasaan ibu ibu, anak anak perempuan dan anak anak kecil di area dusun Sade. Nampak bahwa kualitas hidup mereka masih sangat terbatas.Â
Dari sisi higienis, saya lihat anak kecil mandi sendiri dan sesekali ia minum air dalam bak mandinya dengan gayung mandinya. Beberapa ibu nampak mencari kutu di kepala anaknya. Anak remaja perempuan duduk duduk bersama anak bayi, dan ternyata mereka adalah ibu ibu muda dari perkawinan anak. Â Â
Penghuni di dusun Sade adalah dari satu keturunan karena masyarakatnya melakukan perkawinan antar saudara. Ini dilakukan karena bagi mereka pernikahan seperti ini mudah dan cukup murah dibandingkan dengan pernikahan dengan perempuan dari desa lain yang harus mengeluarkan beberapa ekor kerbau sebagai mahar.Â
Pernikahan sedarah ini khususnya dilakukan untuk memastikan keberlangsungan suku dan keaslian tradisi yang masih dianut. Sepupu perempan tidak dilamar, tapi dilarikan/diculik. Kawin culik ini yang kemudian dikenal sebagai Merarik.Â
Terdapat argumentasi yang mengatakan bahwa Merarik meninggikan posisi perempuan karena niatannya mendudukkan perempuan pada posisi dihargai dan 'diculik' dengan heroisme kaum laki laki. Namun perlu dipahami bahwa dampak ketika kita menghirung untung rugi suatu budaya atau kebijakan, yang perlu diperhitungkan adalah dampaknya bagi perempuan, dan bukan pada niatannya.Â
3. Poligami Biasa di Kalangan Masyarakat Sade.
Laki laki Sade bisa kawin lebih dari satu perempuan. Artinya, poligami adalah biasa. Penculikan sepupu juga biasa terjadi di antara para sepupu yang satu dan yang lain. Saya menemui Resti, seorang perempuan muda berumur 17 tahun yang sudah menggendong anak ke 2. Ia juga menikah melalui Merarik yang dilakukan oleh sepupunya.Â
Sayang sekali agak sulit saya berkomunikasi dengan Resti. Sedikit perempuan Sade yang dapat berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Apa yang diaalami Resti nampaknya juga dialami banyak gadis di dusun ini. Saya bertemu dengan beberapa perempuan muda yang telah menggendong anak anak dan bayi.Â
Terbayang di kepala saya bagaimana mereka menikah sebagai anak anak, tanpa pendidikan yang memadai. Mereka seakan mesin produksi yang dikendalikan oleh sistem yang bernama perkawinan. Memang, data Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan BPS untuk periode 2008 sd 2014 menunjukkan prosentasi perkawinan anak di wilayah Lombok adalah satu dari beberapa wilayah Indonesia dengan nilai tertinggi (25,7%) di bawah Sulawesi Barat (37,3%). Ini tinggi. Artinya, 1 dari 3 perkawinan adalah perkawinan anak.Â
Apakah demi keaslian budaya dan murninya keturunan harus dilakukan dengan mengorbankan generasi? Sampai kapan mereka bertahan tanpa pendidikan memadai. Ini adalah 'mengkonservasi' budaya menjadi bagian dari upaya bertahan hidup atas nama pengembangan wisata budaya, jelasnya ekonomi.
4. Perempuan Dibuang bila Salah Menetapkan Mahar.
Terdapat persoalan pelik lain dalam pernikahan Sasak ini. Meminang gadis di luar dusun Sade artinya membayar mahar, minimal Rp 20 juta untuk harga seekor kerbau. Bila 2 ekor kerbau yang dijadikan mahar, artinya laki laki harus membayar Rp 40 juta. Sementara, 'menculik' sepupu atau Merarik hanya memerlukan dana maksimal Rp 2,5 juta.Â
Sedihnya, bila angka mahar melebihi angka itu, maka si perempuan dikeluarkan dari adat. Nyata bahwa perempuan menjadi 'komoditas' yang sensitif pada persoalan dan besaran uangnya. Padahal kita tahu, dalam budaya seperti ini, uang mahar toh bukan diterima oleh si perempuan. Ia menjadi aset dari keluarga besarnya.Â
Jadi, kalaupun mahar itu besar, bukan berarti si perempuan dinilai tinggi, melainkan pemberi mahar makin besar kekuasaannya kepada si perempuan. Makin besar mahar, makin kecil daya tawar perempuan.Â
5. Perempuan 'Dibuang' Bila Menikahi laki laki dengan Strata Lebih Rendah.
Garis keturunan darah yang ditekankan pada laki laki menyebabkan perempuan bangsawan dibuang 'teketeh' dari keluarga bila menikahi laki laki yang memiliki strata lebih rendah. Hal ini akan berbeda bagi laki-laki bangsawan. Dia berhak untuk memilih perempuan dari kalangan manapun sebagai istrinya. Di kalangan bangsawan banyak perempuan tidak menikah dan menjadi perawan tua 'mosot atau dedare toaq' karena persoalan ini.Betapa peliknya posisi perempuan di masyarakat ini.Â
6. Adat Perkawinan yang Merugikan Perempuan
Kawin cerai banyak terjadi di kalangan masyarakat dusun Sade. Seringkali, nilai nilai perkawinan di masyarakat ini tergeser oleh pelunasan uang pisuke. Juga, bila terjadi perceraian, perempuan akan menyingkir (disingkirkan) dari rumah tanpa menikmati nafkah selama masa 'iddah', kecuali bila mereka telah membuat perjanjian adat.Â
Pembagian harta gono gini jarang dikenal dalam masyarakat ini. Â Oleh karenanya, banyak perempuan Sasak yang bercerai tergantung hidupnya pada anaknya karena ia tak berhak atas kekayaan yang dihasilkan dari perkawinan.
7. Peran Domestik adalah Dominasi Perempuan.
Di kalangan masyarakat Sade, hampir semua pekerjaan domestik hanya adalah ranah kerja perempuan. Pada saat yang sama, laki laki Sasak ditabukan untuk mengerjakan tugas tugas domestik. Oleh karenanya, walaupun perempuan Sasak memiliki pekerjaan di ruang publik, mereka tetap wajib melakukan peran dan tugas domestik. Ini tentu menyebabkan terdapat beban berganda di kalangan perempuan Sasak.
Sayangnya, apa yang terjadi di dusun Sade dianggap sebagai kearifan lokal yang terus dijaga dan dilestarikan. Dijadikannya dusun Sade menjadi tujuan wisata adat mekin menempatkan nilai nilai konservatif yang memarjinalkan dan mensubordinasikan perempuan bagai hal yang justru disuburkan.
Mayoritas tulisan tentang dusun Sade hanya mengupas keunikan budaya rumah dan masyarakat asli Sasak dari kacamata bisnis wisata. Sekiranya perempuan Sade ada dalam tulisan, pada umumnya kecantikan karya tenunnya serta budaya Merariknya yang disampaikan. Sedikit perhatian diberikan pada aspek ketidakadilan adat dan budaya kepada kelompok perempuan Sade.Â
Mudah mudahan Pak Jokowi tidak meminta masyarakat Sade untuk melestarikan seluruh nilai nilai budaya, termasuk budaya yang memposisikan perempuan berada lebih rendah dair laki laki. Â Perlu diseleksi mana budaya yang perlu dirubah dan mana yang dilanggengkan.Â
Dari kunjungan pendek ke Sade, saya melihat betapa perempuan dalam posisi terbelakang. Tidak mengenyam pendidikan. Tidak bisa berbahasa Indonesia. Juga paparan sistem budaya yang sangat patriarki sangat merugikan perempua . Â Perempuan perempuan benar benar tak berdaya. Mereka tak bisa melepaskan diri dari cengkeraman budaya setempat, dan bahkan malah dilestarikan untuk dijual sebagai komoditi pariwisata.Â
Sebetulnya ini bisa dikatakan sebagai penjajahan dalam bentuk baru, atas nama pariwisata. Perempuan tunduk pada budaya. Pada adat. Dan industri wisata mengekalkan situasi.Â
Menjadikan suatu wilayah budaya dan adat sebagai obyek wisata adalah bukan suatu kesalahan. Namun, ketika terdapat pengekalan budaya yang merugikan masyarakat asli itu sendiri, hal ini perlu menjadi perhatian.Â
Adalah suatu ironi bila perempuan perempuan di Sade 'dipaksa' untuk menerima situasi kurang berpendidikan, tingkat kesehatannya tak terjamin, harus menikah selagi anak anak, berada pada posisi tersub-ordinasi karena dipoligami dan tidak punya kemampuan dalam menentukan posisi tawar karena 'Merarik' adalah tidak adil.Â
Untuk itu, pemerintah nasional dan pemerintah daerah perlu memilah mana yang bisa dipertahankan atas nama budaya dan mana yang perlu diperbaiki. Ini demi keadilan dan hak asasi manusia, hak asasi perempuan.
Pustaka : 1) Jokowi Kunjungi Sade; 2) Ketimpangan Gender di Sade
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H