Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Subordinasi Perempuan Sade Dikekalkan Industri Wisata dan Nilai Patriarki

21 Mei 2019   17:23 Diperbarui: 22 Mei 2019   07:48 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dusun Sade, desa Rambitan, tak jauh dari bandara Praya - Lombok  Tengah di NTB. Masyarakat Sade sendiri menganut agama Wektu Telu - Sholat 3 kali sehari - Islam dengan pengaruh Hindu dan Buddha, begitu penjelasan dari pak Rakha, sang pemandu wisata warga Sade.

Dilombok.com
Dilombok.com
Pak Rakha menceritakan situasi di dusun Sade. Dengan luas 5,5 Hektar, lingkungan ini dihuni oleh keluarga yang mendiami 150 rumah tradisional. Uniknya, kehidupan 700 orang penduduk di dusun Sade ini sangatlah sederhana. 

Papuq dalam rumah gelap (dokumentasi pribadi)
Papuq dalam rumah gelap (dokumentasi pribadi)
Memang, bangunan rumah masyarakat Sade bisa dikatakan unik. Rumah adat dengan atap rumbia dan lantai terbuat dari kotoran Sapi kering adalah ciri khasnya. Karena menariknya budaya dusun Sade, tak urung Pak Jokowi pada tanggal 18 Mei yang lalu berkunjung ke Sade.

Jokowi melihat-lihat tenun kreasi perempuan di Dusun Sade. (Foto: Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden)
Jokowi melihat-lihat tenun kreasi perempuan di Dusun Sade. (Foto: Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden)
Tulisan ini tidak hendak meliput kunjungan pak Jokowi, namun hendak melihat beberapa budaya masyarakat dusun Sade, khususnya terkait adat perkawinannya dari kacamata yang berbeda dari apa yang ditulis Kompasianer Runi Fazalani.  

1. Sejak Lahir Perempuan Diposisikan Inferior

Sejak lahir perempuan Sasak telah disubordinasikan atau dinomorduakan. Mereka selalu dipersiapkan sebagai calon istri laki laki dan mendapat status "ja'ne lalo atau ja'ne tebait si' semamenne". 

Ini memiliki makna bahwa perempuan akan meninggalkan orang tua dan untuk kemudian, mereka adalah milik suaminya. Di lain pihak, sejak kelahirannya, seorang anak laki-laki pertama biasanya lebih disukai dan dikenal sebagai "anak prangge" atau pewaris tahta orang tuanya.

Saya mengamati kebiasaan ibu ibu, anak anak perempuan dan anak anak kecil di area dusun Sade. Nampak bahwa kualitas hidup mereka masih sangat terbatas. 

Dari sisi higienis, saya lihat anak kecil mandi sendiri dan sesekali ia minum air dalam bak mandinya dengan gayung mandinya. Beberapa ibu nampak mencari kutu di kepala anaknya. Anak remaja perempuan duduk duduk bersama anak bayi, dan ternyata mereka adalah ibu ibu muda dari perkawinan anak.   

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
2. Merarik Posisikan Perempuan Sebagai Subordinat Laki laki 

Penghuni di dusun Sade adalah dari satu keturunan karena masyarakatnya melakukan perkawinan antar saudara. Ini dilakukan karena bagi mereka pernikahan seperti ini mudah dan cukup murah dibandingkan dengan pernikahan dengan perempuan dari desa lain yang harus mengeluarkan beberapa ekor kerbau sebagai mahar. 

Pernikahan sedarah ini khususnya dilakukan untuk memastikan keberlangsungan suku dan keaslian tradisi yang masih dianut. Sepupu perempan tidak dilamar, tapi dilarikan/diculik. Kawin culik ini yang kemudian dikenal sebagai Merarik. 

Terdapat argumentasi yang mengatakan bahwa Merarik meninggikan posisi perempuan karena niatannya mendudukkan perempuan pada posisi dihargai dan 'diculik' dengan heroisme kaum laki laki. Namun perlu dipahami bahwa dampak ketika kita menghirung untung rugi suatu budaya atau kebijakan, yang perlu diperhitungkan adalah dampaknya bagi perempuan, dan bukan pada niatannya. 

Mencari Kutu (dokumentasi pribadi)
Mencari Kutu (dokumentasi pribadi)
Bagi kalangan laki laki Sade, melakukan penculikan menimbulkan heroisme karena dianggap berani mengambil risiko. Oleh karenanya, Merarik mewakili simbol maskulinitas laki laki. Di lain pihak, terdapat kepasrahan perempuan yang menerima saja prosesi kawin culik ini. 

3. Poligami Biasa di Kalangan Masyarakat Sade.

Laki laki Sade bisa kawin lebih dari satu perempuan. Artinya, poligami adalah biasa. Penculikan sepupu juga biasa terjadi di antara para sepupu yang satu dan yang lain. Saya menemui Resti, seorang perempuan muda berumur 17 tahun yang sudah menggendong anak ke 2. Ia juga menikah melalui Merarik yang dilakukan oleh sepupunya. 

Sayang sekali agak sulit saya berkomunikasi dengan Resti. Sedikit perempuan Sade yang dapat berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Apa yang diaalami Resti nampaknya juga dialami banyak gadis di dusun ini. Saya bertemu dengan beberapa perempuan muda yang telah menggendong anak anak dan bayi. 

Terbayang di kepala saya bagaimana mereka menikah sebagai anak anak, tanpa pendidikan yang memadai. Mereka seakan mesin produksi yang dikendalikan oleh sistem yang bernama perkawinan. Memang, data Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan BPS untuk periode 2008 sd 2014 menunjukkan prosentasi perkawinan anak di wilayah Lombok adalah satu dari beberapa wilayah Indonesia dengan nilai tertinggi (25,7%) di bawah Sulawesi Barat (37,3%). Ini tinggi. Artinya, 1 dari 3 perkawinan adalah perkawinan anak. 

Anak Anak Perempuan Tak Bersekolah (Dokumentasi Pribadi)
Anak Anak Perempuan Tak Bersekolah (Dokumentasi Pribadi)
Ada rasa sedih melihat ini karena lokasi Sade tidak jauh dari bandara Lombok. Artinya, ia berada di antara hiruk pikuk manusia yang berpindah dari sati tempat ke tempat lain, dengan membawa begitu banyak informasi. 

Apakah demi keaslian budaya dan murninya keturunan harus dilakukan dengan mengorbankan generasi? Sampai kapan mereka bertahan tanpa pendidikan memadai. Ini adalah 'mengkonservasi' budaya menjadi bagian dari upaya bertahan hidup atas nama pengembangan wisata budaya, jelasnya ekonomi.

4. Perempuan Dibuang bila Salah Menetapkan Mahar.

Terdapat persoalan pelik lain dalam pernikahan Sasak ini. Meminang gadis di luar dusun Sade artinya membayar mahar, minimal Rp 20 juta untuk harga seekor kerbau. Bila 2 ekor kerbau yang dijadikan mahar, artinya laki laki harus membayar Rp 40 juta. Sementara, 'menculik' sepupu atau Merarik hanya memerlukan dana maksimal Rp 2,5 juta. 

Sedihnya, bila angka mahar melebihi angka itu, maka si perempuan dikeluarkan dari adat. Nyata bahwa perempuan menjadi 'komoditas' yang sensitif pada persoalan dan besaran uangnya. Padahal kita tahu, dalam budaya seperti ini, uang mahar toh bukan diterima oleh si perempuan. Ia menjadi aset dari keluarga besarnya. 

Jadi, kalaupun mahar itu besar, bukan berarti si perempuan dinilai tinggi, melainkan pemberi mahar makin besar kekuasaannya kepada si perempuan. Makin besar mahar, makin kecil daya tawar perempuan. 

5. Perempuan 'Dibuang' Bila Menikahi laki laki dengan Strata Lebih Rendah.

Garis keturunan darah yang ditekankan pada laki laki menyebabkan perempuan bangsawan dibuang 'teketeh' dari keluarga bila menikahi laki laki yang memiliki strata lebih rendah. Hal ini akan berbeda bagi laki-laki bangsawan. Dia berhak untuk memilih perempuan dari kalangan manapun sebagai istrinya. Di kalangan bangsawan banyak perempuan tidak menikah dan menjadi perawan tua 'mosot atau dedare toaq' karena persoalan ini.Betapa peliknya posisi perempuan di masyarakat ini. 

6. Adat Perkawinan yang Merugikan Perempuan

Kawin cerai banyak terjadi di kalangan masyarakat dusun Sade. Seringkali, nilai nilai perkawinan di masyarakat ini tergeser oleh pelunasan uang pisuke. Juga, bila terjadi perceraian, perempuan akan menyingkir (disingkirkan) dari rumah tanpa menikmati nafkah selama masa 'iddah', kecuali bila mereka telah membuat perjanjian adat. 

Pembagian harta gono gini jarang dikenal dalam masyarakat ini.  Oleh karenanya, banyak perempuan Sasak yang bercerai tergantung hidupnya pada anaknya karena ia tak berhak atas kekayaan yang dihasilkan dari perkawinan.

7. Peran Domestik adalah Dominasi Perempuan.

Di kalangan masyarakat Sade, hampir semua pekerjaan domestik hanya adalah ranah kerja perempuan. Pada saat yang sama, laki laki Sasak ditabukan untuk mengerjakan tugas tugas domestik. Oleh karenanya, walaupun perempuan Sasak memiliki pekerjaan di ruang publik, mereka tetap wajib melakukan peran dan tugas domestik. Ini tentu menyebabkan terdapat beban berganda di kalangan perempuan Sasak.

Sayangnya, apa yang terjadi di dusun Sade dianggap sebagai kearifan lokal yang terus dijaga dan dilestarikan. Dijadikannya dusun Sade menjadi tujuan wisata adat mekin menempatkan nilai nilai konservatif yang memarjinalkan dan mensubordinasikan perempuan bagai hal yang justru disuburkan.

Mayoritas tulisan tentang dusun Sade hanya mengupas keunikan budaya rumah dan masyarakat asli Sasak dari kacamata bisnis wisata. Sekiranya perempuan Sade ada dalam tulisan, pada umumnya kecantikan karya tenunnya serta budaya Merariknya yang disampaikan. Sedikit perhatian diberikan pada aspek ketidakadilan adat dan budaya kepada kelompok perempuan Sade. 

Mudah mudahan Pak Jokowi tidak meminta masyarakat Sade untuk melestarikan seluruh nilai nilai budaya, termasuk budaya yang memposisikan perempuan berada lebih rendah dair laki laki.  Perlu diseleksi mana budaya yang perlu dirubah dan mana yang dilanggengkan. 

Dari kunjungan pendek ke Sade, saya melihat betapa perempuan dalam posisi terbelakang. Tidak mengenyam pendidikan. Tidak bisa berbahasa Indonesia. Juga paparan sistem budaya yang sangat patriarki sangat merugikan perempua .  Perempuan perempuan benar benar tak berdaya. Mereka tak bisa melepaskan diri dari cengkeraman budaya setempat, dan bahkan malah dilestarikan untuk dijual sebagai komoditi pariwisata. 

Sebetulnya ini bisa dikatakan sebagai penjajahan dalam bentuk baru, atas nama pariwisata. Perempuan tunduk pada budaya. Pada adat. Dan industri wisata mengekalkan situasi. 

Nemek memintal (dokumentasi pribadi)
Nemek memintal (dokumentasi pribadi)
Saya juga temukan seorang Papuq (nenek) yang duduk dengan alat pintalnya di antara rumah di Sade. Ketika saya melakukan pencarian dengan 'google', wajah nenek ini ada di banyak website biro perjalanan yang menawarkan paket wisata ke Sade dan Lombok. Rupanya Papuq ini artis wisata. Ketika ditanya apakah dia masih menenun, tetangga yang hidup di dekat rumahnya menjawab untuk saya "cucunya yang menenun'. Sudah tua rupanya, dan nenek lebih menjadi bagian dari cagar budaya. Tetap sehat ya nenek.

Menjadikan suatu wilayah budaya dan adat sebagai obyek wisata adalah bukan suatu kesalahan. Namun, ketika terdapat pengekalan budaya yang merugikan masyarakat asli itu sendiri, hal ini perlu menjadi perhatian. 

Adalah suatu ironi bila perempuan perempuan di Sade 'dipaksa' untuk menerima situasi kurang berpendidikan, tingkat kesehatannya tak terjamin, harus menikah selagi anak anak, berada pada posisi tersub-ordinasi karena dipoligami dan tidak punya kemampuan dalam menentukan posisi tawar karena 'Merarik' adalah tidak adil. 

Untuk itu, pemerintah nasional dan pemerintah daerah perlu memilah mana yang bisa dipertahankan atas nama budaya dan mana yang perlu diperbaiki. Ini demi keadilan dan hak asasi manusia, hak asasi perempuan.

Pustaka : 1) Jokowi Kunjungi Sade; 2) Ketimpangan Gender di Sade

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun