Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tidur di Bawah Bintang Teluk Sumbang dan Kegalauan pada Nasib Suku Dayak Basap

5 Februari 2019   12:30 Diperbarui: 5 Februari 2019   18:19 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertemuan kami dengan warga Teluk Sumbang baru bisa kami lakukan jam 10.00 pagi. Artinya, kami dapat memanfaatkan waktu yang ada. Kami bersama tim mengikuti perahu tim Akuo yang mengembangkan eko wisata laut, sebagai bagian dari proyek mereka. Kami patungan untuk bisa menyewa perahu. Beberapa teman 'snorgling'. Saya cukup duduk di dalam perahu. Mata saya yang menggunakan 'soft lens' minus tujuh dan tidak membawa 'soft lense' pengganti tidak memungkinkan untuk seperti mereka.  Hari hari kami masih panjang untuk berada di wilayah Berau. Bisa bisa, nantinya saya harus dituntun untuk berjalan.  

Perahu kami melewati air yang jernih kebiruan. Pasir putih. Dan penyu penyu berkejaran berenang di bawah perahu. Pohon nyiur berjejer, sebagiannya melengkung. Satu lagi keindahan Teluk Sumbang yang saya kagumi. Kami antusias mendapat kabar seringnya ikan paus bermain dengan para penyelam.Tak apa kami tak bertemu dengannya, yang penting ikan paus tidak punah karena tergusur oleh banyaknya wisatawan yang mungkin akan terus hadir di masa masa datang. 

Berperahu dari Teluk Sumbang ke Teluk Sulaiman serta Lubuk Cermin (dokpri)
Berperahu dari Teluk Sumbang ke Teluk Sulaiman serta Lubuk Cermin (dokpri)
Kami hanya perlu waktu 2 jam berperahu untuk sampai di tujuan dan kembali ke pondok. Kami kembali ke rumah pondok kami untuk berganti baju. Selanjutnya kami naik sepeda motor ke wilayah pemukiman Suku Basap. Perlu kami bertemu dengan warga, khususnya kelompok perempuan dan kelompok yang kurang beruntung untuk mendengar apa yang mereka ketahui tentang rencana pembangunan instalasi listrik bertenaga matahari dan mikro hidro. Tentang kesiapan mereka. Tentang kemampuan mereka mengelola instalasi listrik ini. 

Ternyata tidak jauh, hanya 500 meter, jarak dari rumah panggung tempat kami menginap ke wilayah rumah warga Dayak Basap. Udara di wilayah perumahan warga Dayak Basap masih sejuk pagi itu. Rumah rumah yang ada pada umumnya terbuat dari kayu 'Bale Sapoklit". Rumah yang sederhana.  Memang nampak terdapat sembilan rumah berbahan material batako dan bersemen serta beratap seng. Orang menyebutnya rumah batu. Rumah itu adalah bantuan dari Dinas Sosial bagi warga. Ini merupakan program Kementrian Sosial yang telah ada sejak lama. 

Perkampungan Warga Suku Basap (dokpri)
Perkampungan Warga Suku Basap (dokpri)
Nama suku Basap mengandung arti 'tinggal di gunung tinggi'. Beberapa catatan menunjukkan kisah kedatangan suku Dayak Basap ke wilayah Teluk Sumbang. Seperti namanya, Suku Basap semula bermukim di kawasan komunal di gunung dan kemudian turun ke kawasan teluk. Ini terjadi sekitar tahun 1940 dan 1950 an. Suku ini mengindetifikasi diri terdiri dari enam kelompok, yaitu Basap Selatan, Basap Gagas, Basap Daliun, Basap Riwa, Basap Paleng dan Basap Panyombot. Mereka masih percaya adanya kelompok masyarakat Basap Marabulan dan Rijeng yang hidup secara spiritual dan gaib di hutan dan gunung. Masing masing kelompok yang merupakan sub etnis ini memiliki bahasa ibu yang berbeda. Bahasa Dayak yang umum hanya dipergunakan ketika mereka bergaul di kelompok Sayak lebih luas.

Masyarakat warga Dayak Basap sangatlah bergantung pada alam. Mereka hidup dari padi, sayur dan buah buahan yang tumbuh liar di hutan sekitar Teluk Sumbang. Hampir semua kebutuhan hidup berasal dari hutan. Sementara perempuan bekerja di hutan dan kebun, laki laki menjerat musang dan babi untuk lauk. Untuk kelompok Muslim, mereka menangkap rusa. 

Di perkampungan ini, kami menemui Ibu Hartinah, satu dari lima perempuan Dayak Basap yang menganyam bahan rotan menjadi tas cantik. Rotan rotan itu dibuat tas tas dan keranjang cantik. Sangat halus. Sayang sekali, saat itu Ibu Hartinah tidak memiliki banyak persediaan tas dan keranjang yang sudah siap jadi. Namun kami beruntung menyaksikan Ibu Hartinah mendemonstrasikan cara pembuatan tas yang ada. Wah, karya seni yang luar biasa halus dan memerlukan ketelitian. Proses yang ditunjukkan Ibu Hartinah membuat saya sulit membayangkan. Bila tidak membuat anyaman, rotan dijual Rp 50 ribu seonggok yang dikumpulkan sehari penuh. Bila dibuat tas rotan memang memerlukan waktu lama, namun ibu ibu dapat menjualnya dengan Rp 500.000 sebuahnya. Itupun saya kira tidak memberi kecukupan nafkah bagi perempuan perempuan suku Dayak Basap karena satu tas dikerjakan hampir sekitar 4 sampai 5 hari kerja. Harga Rp 500.000 adalah harga yang seharusnya tidak boleh ditawar lagi. Itu kami pahami sebagai sesama pekerja. Walau sering beberapa kawan tega menitipkan uang untuk membeli tas dan keranjang itu dengan pesan 'tolong ditawar'. Sadis itu. 

Di pasar yang lebih dewasa di Jakarta dan di kalangan pembeli yang memahami seni anyaman, misalnya, saya rasa tas dan keranjang seperti karya ibu ibu warga Dayak Basap dapat dihargai lebih baik, di atas Rp 1,5 juta. Khususnya bila tas dan keranjang telah diberi 'lining' pelapis kain di dalamnya dan peganggannya diganti kulit atau kain pelapis agar lebih nyaman di tangan dan lebih kuat pula. Saya jadi ingat apa yang dikerjakan 'Du Anyam', sekelompok perempuan muda yang bekerja dengan penganyam di Flores dan membantu ekspor anyaman untuk memberdayakan perempuan perempuan di Flores tersebut. Perempuan perempuan yang masih memiliki persoalan kesehatan reproduksi digerakkan dalam bentuk kelompok untuk bisa mandiri secara ekonomi, dan amemecahkan persoalan sosialnya. 

Ibu Haryati dan anyaman rotan (Dokpri)
Ibu Haryati dan anyaman rotan (Dokpri)
Karena kami sangat ingin menjajagi produksi anyaman ibu ibu dari masyarakat Dayak Basap, akhirnya, kami bertemu dengan Ibu ibu lain di gereja untuk melihat karya karya mereka. Lokasi gereja hanya beberapa meter dari kediaman Ibu Haryati. Dan, begitu banyak produk rotan dijejer. Karya yang indah membuat mata terbalalak tetapi pasrah. Saya hanya berbekal uang secukupnya dan paparan tas dan keranjang itu sangat menggoda. Saya akhirnya memilih satu tas keranjang saja yang diberi harga Rp 500 ribu. Selebihnya saya menikmati dan menyentuh tas tas rotan itu. Tas tas dan keranjang Anjat ini pada akhirnya menjadi bahan pameran dan materi buku karya perempuan Dayak Basan beberapa bulan setelah kunjungan kami.

Mata Tombak (Nita Roshita)
Mata Tombak (Nita Roshita)
Mata Tombak Bertumpuk (Nita Roshita)
Mata Tombak Bertumpuk (Nita Roshita)
Aneka Model Anyaman Dayak Basap (Nita Roshita)
Aneka Model Anyaman Dayak Basap (Nita Roshita)
Adalah mbak Nita Roshita yang telaten membantu dan mendukung ibu ibu untuk terus berkarya dan memasarkannya pada pasar yang lebih pantas. Bravo untuk mbak Nita Roshita yang keren. 

Mbak Nita menerangkan bahwa ibu ibu menanam sayuran tanpa pupuk buatan. Selain jarak jauh dari kota membuat akses mereka pada pembagian pupuk terbatas, ibu ibu ini memang lebih terbiasa dengan tumbuhnya tanaman secara alami. Ibu ibu memanfaatkan semua vegetasi yang ada. Mulai dari akar sampai daun pohon. Pengetahuan mereka akan tanaman sekitarnya mengajarkan kita akan manfaat daun daun untuk kesehatan dan untuk pangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun