Tulisan ini terinspirasi prosa pendek Kompasianer Pak Guru Ropingi "Beliung Dalam" yang saya baca tadi pagi. Soal Kalimantan. Soal Sawit. Soal hilangnya kekayaan warga Dayak. Dan ada catatan kerja saya yang hanya teronggok lama, saya buka sebagai bahan tulisan ini.Â
Menikmati terangnya bintang di malam gelap sering sekali saya lakukan di rumah saya di desa. Namun, kenangan akan keindahan tidur di bawah bintang hanya saya dapatkan di Teluk Sumbang.Â
Teluk Sumbang adalah salah satu desa di Kecamatan Biduk Biduk di ujung Kabupaten Berau di Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Kabupaten Kutai Timur. Wilayah teluk ini luar biasa indah.Â
Saya bersama kawan satu tim kerja saat itu sedang melakukan penelitian sosial dalam rangka persiapan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembagkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) di beberapa desa, yaitu Long Beliu, Merabu dan Teluk Sumbang. Ketiga desa itu memiliki daya tarik alam dan budaya yang berbeda beda. Merabu, misalnya, memiliki kisah budaya adat yang unik. Namun karena kami bermalam di Teluk Sumbang pada hari ke 2 kunjungan ke Kecamatan Biduk Biduk, maka kenangan indah tentang Teluk Sumbanglah yang  cukup lama tinggal di memori saya.Â
Pada saat kami hadir di Teluk Sumbang pada akhir tahun 2017, listrik 24 jam dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) belum dapat dinikmati. Lampu listrik hanya menyinari perumahan masyarakat melalui genset komunal yang beroperasi 4 jam saja. Sejak pukul 18.00 sore dan padam persis pukul 22.00. Bahan bakar berupa minyak solar untuk genset cukup mahal dan masyarakat tak mampu untuk mengoperasikannya lebih lama. Tentu saja kita catat bahwa bahan bakar solar juga tidak ramah lingkungan.
Mbak Nani Saptariani, teman serombongan saat itu berulang tahun. Untuk itu, pada pergantian waktu yaitu jam 00, beberapa kawan membuat acara kejutan. Kami menyalakan lilin untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Tak ada perayaan besar. Sambil memandang teluk yang ada di kejauhan, kami cukup membakar Ikan Merah dan makan di antara tim kami. Walau saya tidak ikut serta dalam menikmati Ikan Merah, tetap saja suasana menyenangkan itu terasa. Apa ya saya hendak bilang? Lagu John Legend "Under the Stars" ada di telinga saya sepanjang malam.Â
Here we are, under the stars
Here we are, under the stars
Heaven is not so far
Heaven is not so far
Heaven is not so far
Under the stars
Inilah kita di bawah bintang
Inilah kita di bawah bintang
Surga tidaklah terlalu jauh
Surga tidaklah terlalu jauh
Surga tidaklah terlalu jauh
Di bawah bintang
Signal HP tak ada, itupun bukan masalah. Tak ada orang yang harus saya hubungi setelah perjalanan 7 jam yang melelahkan dari Tanjung Redeb, ibukota Kabupaten Berau di Kalimantan Timur. Apalagi perjalanan kami juga disertai diskusi dengan masyarakat di  desa Merabu dan Long Beliu di hari pertama. Ketika ribuan kerlip bintang di atas di langit menyinari malam, tak ada pula keinginan untuk memotretnya. Hanya menikmati ketenangan malam. Takjub memandangnya. Susah menceritakannya. Saya mencoba mereka reka mana yang bintang jauh dan mana yang planet dari pengetahuan yang saya ingat. Memang kumpulan kata sayapun terbatas. Semilir angin membuat saya terkantuk. Itu saja sudah sangat lebih dari cukup.
Di pagi hari, badan terasa luar biasa segar. Entah mengapa. Saya percaya soal enerji bintang yang memberi ketenangan jiwa. Sementara, udara terbuka tentu mengganti udara di paru paru kita dengan udara segar yang baru. Pemandangan Teluk Sumbang dari rumah panggung kayu tempat kami tinggal sangatlah indah pagi itu.
Pertemuan kami dengan warga Teluk Sumbang baru bisa kami lakukan jam 10.00 pagi. Artinya, kami dapat memanfaatkan waktu yang ada. Kami bersama tim mengikuti perahu tim Akuo yang mengembangkan eko wisata laut, sebagai bagian dari proyek mereka. Kami patungan untuk bisa menyewa perahu. Beberapa teman 'snorgling'. Saya cukup duduk di dalam perahu. Mata saya yang menggunakan 'soft lens' minus tujuh dan tidak membawa 'soft lense' pengganti tidak memungkinkan untuk seperti mereka. Â Hari hari kami masih panjang untuk berada di wilayah Berau. Bisa bisa, nantinya saya harus dituntun untuk berjalan. Â
Perahu kami melewati air yang jernih kebiruan. Pasir putih. Dan penyu penyu berkejaran berenang di bawah perahu. Pohon nyiur berjejer, sebagiannya melengkung. Satu lagi keindahan Teluk Sumbang yang saya kagumi. Kami antusias mendapat kabar seringnya ikan paus bermain dengan para penyelam.Tak apa kami tak bertemu dengannya, yang penting ikan paus tidak punah karena tergusur oleh banyaknya wisatawan yang mungkin akan terus hadir di masa masa datang.Â
Ternyata tidak jauh, hanya 500 meter, jarak dari rumah panggung tempat kami menginap ke wilayah rumah warga Dayak Basap. Udara di wilayah perumahan warga Dayak Basap masih sejuk pagi itu. Rumah rumah yang ada pada umumnya terbuat dari kayu 'Bale Sapoklit". Rumah yang sederhana. Â Memang nampak terdapat sembilan rumah berbahan material batako dan bersemen serta beratap seng. Orang menyebutnya rumah batu. Rumah itu adalah bantuan dari Dinas Sosial bagi warga. Ini merupakan program Kementrian Sosial yang telah ada sejak lama.Â
Masyarakat warga Dayak Basap sangatlah bergantung pada alam. Mereka hidup dari padi, sayur dan buah buahan yang tumbuh liar di hutan sekitar Teluk Sumbang. Hampir semua kebutuhan hidup berasal dari hutan. Sementara perempuan bekerja di hutan dan kebun, laki laki menjerat musang dan babi untuk lauk. Untuk kelompok Muslim, mereka menangkap rusa.Â
Di perkampungan ini, kami menemui Ibu Hartinah, satu dari lima perempuan Dayak Basap yang menganyam bahan rotan menjadi tas cantik. Rotan rotan itu dibuat tas tas dan keranjang cantik. Sangat halus. Sayang sekali, saat itu Ibu Hartinah tidak memiliki banyak persediaan tas dan keranjang yang sudah siap jadi. Namun kami beruntung menyaksikan Ibu Hartinah mendemonstrasikan cara pembuatan tas yang ada. Wah, karya seni yang luar biasa halus dan memerlukan ketelitian. Proses yang ditunjukkan Ibu Hartinah membuat saya sulit membayangkan. Bila tidak membuat anyaman, rotan dijual Rp 50 ribu seonggok yang dikumpulkan sehari penuh. Bila dibuat tas rotan memang memerlukan waktu lama, namun ibu ibu dapat menjualnya dengan Rp 500.000 sebuahnya. Itupun saya kira tidak memberi kecukupan nafkah bagi perempuan perempuan suku Dayak Basap karena satu tas dikerjakan hampir sekitar 4 sampai 5 hari kerja. Harga Rp 500.000 adalah harga yang seharusnya tidak boleh ditawar lagi. Itu kami pahami sebagai sesama pekerja. Walau sering beberapa kawan tega menitipkan uang untuk membeli tas dan keranjang itu dengan pesan 'tolong ditawar'. Sadis itu.Â
Di pasar yang lebih dewasa di Jakarta dan di kalangan pembeli yang memahami seni anyaman, misalnya, saya rasa tas dan keranjang seperti karya ibu ibu warga Dayak Basap dapat dihargai lebih baik, di atas Rp 1,5 juta. Khususnya bila tas dan keranjang telah diberi 'lining' pelapis kain di dalamnya dan peganggannya diganti kulit atau kain pelapis agar lebih nyaman di tangan dan lebih kuat pula. Saya jadi ingat apa yang dikerjakan 'Du Anyam', sekelompok perempuan muda yang bekerja dengan penganyam di Flores dan membantu ekspor anyaman untuk memberdayakan perempuan perempuan di Flores tersebut. Perempuan perempuan yang masih memiliki persoalan kesehatan reproduksi digerakkan dalam bentuk kelompok untuk bisa mandiri secara ekonomi, dan amemecahkan persoalan sosialnya.Â
Mbak Nita menerangkan bahwa ibu ibu menanam sayuran tanpa pupuk buatan. Selain jarak jauh dari kota membuat akses mereka pada pembagian pupuk terbatas, ibu ibu ini memang lebih terbiasa dengan tumbuhnya tanaman secara alami. Ibu ibu memanfaatkan semua vegetasi yang ada. Mulai dari akar sampai daun pohon. Pengetahuan mereka akan tanaman sekitarnya mengajarkan kita akan manfaat daun daun untuk kesehatan dan untuk pangan.
Tak ada yang disia-siakan dari hasil alam Teluk Sumbang. Mulai dari akar sampai daun pohon, semua bermanfaat. Bahkan, untuk kesehatan, warga Dayak Basap juga mengandalkan hasil alam. Misalnya, akar akaran kuning dikenal sebagai obat aneka penyakit, seperti kolesterol, alat pencernaan hingga kanker. Â Banyak pohon lain yang disebutkan dapat menjadi obat. Kulit pohon Kayu Jawa sering dimanfaatkan untuk obat luka luar. Obat obatan itu selain diberikan kepada manusia juga diberikan kepada ternak, baik kambing maupun sapi.
Setelah obrolan ke sana kemari tentang keindahan desa dan teluk, tibalah kegaulaun itu. Hiruk pikuk pembangunan jalan selebar 6 meter yang memotong hutan kami temui sepanjang perjalanan dari Biduk Biduk ke Teluk Sumbang. Masyarakat memberitakan akan berdirinya pabrik semen. Ibu ibu mengeluhkan makin sulitnya air karena air menjadi keruh setelah bercampur dengan kars gamping. Ini membuat turbin penyedot air tersumbat. Â Rusaknya hulu sungai pada kawasan Sangkulirang-Mangkalihat ini tentu akan menyebabkan kerusakan di sisi hilir juga.
Hari beranjak sore dan kami harus kembali ke Tanjung Redeb, ibu kota Berau. Tujuh jam lamanya kami terguncang dalam kendaraan menuju Berau. Kami melihat kembali jalanan yang sedang dibangun untuk pabrik semen. Sempat kami berhenti dan balik ke lokasi yang jaraknya masih 2 jam dari Tangjung Redeb, ketika satu kendaraan dari tim kami mogok. Saat itu sudah jam 22.00 malam. Mobil akhirnya ditinggalkan di tengah jalan atau hutan tepatnya.Â
Tibalah kami di hotel yang kami tuju di Tanjung Redeb. Jam menunjukkan jam 12.30. Sambil menunggu petugas hotel mempersiapkan kamar yang kami pesan. Waktu menanti itu membuat mata saya sempat tercengang mendengar seorang perempuan cantik berpakaian terbuka dan berdandan tidak biasa yang berdiri dengan seorang laki laki di sebelah saya.Â
Saya tidak harus bercuriga. Namun beberapa rekan laki laki dalam satu tim (yang nampaknya ahli) melihat hal ini sebagai simptom pekerja di wilayah 'tua'. Mereka mendaftar dengan KTP si perempuan. Ini agak janggal. Sementara sang laki laki yang berpakain rapi berdiri agak berjarak tak acuh, tidak terlibat dalam percakapan dengan petugas hotel. Bahkan, seakan laki laki tersebut tidak mengenal perempuan yang sibuk mendaftar di meja resepsionis.Â
Petugas hotel merekonfirmasi alamat si perempuan dengan suara yang dapat kami dengar. Dari Teluk Sumbang, katanya. Saya dan tim saling bertatap mata. Tujuh jam jauhnya dari desa itu ke Tanjung Redeb. Rasanya apa yang kami duga cukup dekat dengan analisis situasi yang ada. Pada situasi terdapat pembangunan konstruksi jalan jalan yang membuka hutan, persoalan sosial semacam ini sering mengemuka. Adanya kehilangan hutan karena dibeli untuk kebun kelapa sawit atau pabrik semen membuat akses mata pencaharian masyarakat hutan hilang atau berkurang. Solusi untuk bertahan sering dibuat, antara lain dengan mengakses pekerjaan di kota.
Malam makin tua. Saya masih membuat catatan perjalanan, karena takut terlupa. Pembukaan akses jalan dan pemasangan listrik akan membawa harapan masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan ekonomi dengan lebih baik. Anyaman perempuan perempuan dari suku Basap dapat dilakukan juga kapan saja. Ikan ikan dapat diproses dengan bantuan listrik. Ada pula merica untuk dikembangkan dan mungkin dikemas dengan bantuan alat pres listrik.Â
Tapi bagi saya, kegalauan lebih kuat pada dampak dampak sampingan dari dibukanya jalan. Hutan yang terpotong (tergunduli) untuk jalan. Konversi tanah hutan menjadi kebun sawit. Pembukaan pabrik semen. Semuanya ini membawa cerita panjang untuk kehidupan masyarakat asli. Pembangunan jalan yang besar besaran dan industri semen serta kebun sawit itu juga memicu munculnya warung remang remang dan warung karaoke. Saya kira tidak hanya itu saja.Â
Uang kompensasi tanah hutan yang kemudian menjadi kebun sawit sering kali mendatangkan rejeki dadakan, uang banyak. Tanpa literasi keuangan yang memadai, penggunaan uang banyak ini seringkali untuk hal yang bukan bagi kebutuhan keluarga. Ada 'uang laki laki' yang penggunaannya antara lain untuk rokok, juga untuk keperluan hiburan lainnya. Minuman keras, dan bukan tidak mungkin untuk wanita. Â Ini sering membawa keresahan dan penyakit sosial (dan penyakit menular lainnya, tentunya).Â
Pembuat peraturan penggunaan hutan adalah di tingkat pemerintahan pusat di Kementrian Kehutanan dan Lingkungan. Namun, penguasa dan pengambil keputusan atas dibukanya pabrik semen, kebun sawit dan investasi lain ada di tangan Bupati dan Gubernur. Di sini, ada yang salah. Bagaimana mungkin anomali kebijakan terjaidi untuk urusan sepenting hutan, keperluan masyarakat  adat dan lomba investasi.Â
Keindahan bintang yang berkelip di malam gelap tertutup oleh persoalan persoalan yang ada di wilayah itu. Kepala saya sibuk dengan makna Peta Pola Ruang RTRW Provinsi Kaltim 2016-2036. Peta menunjukkan pengaplingan peruntukan wilayah Teluk Seumbang dan Teluk Sulaiman serta desa desa yang ada di sekitarnya. Â Pengaplingan untuk perkebunan swit, pengaplingan untuk tambang minerla non logam dan pengaplingan lain. Pengaplingan pengaplingan ini entah bagaimana terjadi. Milik siapa?Â
Pada akhir tahun 2018 lahirlah Instruksi Presiden 08 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinanan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Inpres ini memiliki misi untuk menyetop adanya ijin baru pembukaan kebun kelapa sawit di Indonesia. Saya sangat berharap Inpres ini akan memiliki akuntabilitas yang kuat. Tak ada lagi pengaplingan pengaplingan yang mengancam keberlanjutan hidup warga asli dan hutannya.Â
Kerlip bintang Teluk Sumbang akan selalu saya rindukan. Meski itu rindu yang terus bercampur keresahan dan kekuatiran, juga kemarahan.Â
Pustaka :
Leya Cattleya, Catatan analisis sosial, Proyek Listrik Tenaga Matahari dan Mikro Hidro (Millenium Challenge Account Indonesia), 2017
Sulaiman, http://kaltim.tribunnews.com/2016/05/03/bisa-baca-tulis-saja-sudah-cukup-beginilah-potret-pendidikan-anak-di-kampung-teluk-sulaiman.
https://handhikabahaduri.wordpress.com/2016/12/01/teluk-sumbang-sedikit-menoleh-ke-belakang/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H