Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jelang Pilpres Indonesia, Cambridge Analytica Mati atau Pura-pura Mati?

17 Januari 2019   10:10 Diperbarui: 19 Januari 2019   17:09 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cambridge Analytica dan Kenya (Foto :Qz.com)

Walau tahun 2019 sudah masuk ke hari ke 17 dan Cambridge Analytica sudah dinyatakan bangkrut dan ditutup pada Mei 2018, saya merasa masih ada misteri di balik semua ini.  

Cambridge Analytica adalah perusahaan yang ahli dalam mengumpulkan dan menganalisis data untuk merubah perilaku audiens atau warga. Sebagai konsultan, Cambridge Analytica melayani pekerjaan dari sektor bisnis maupun politik. Lembaga ini mengklaim mampu memasak analisis prediksi, ilmu perilaku, dan menggunakan teknologi pemasaran berbasis data untuk menyetir kampanye kampanye.

Cambridge Analytica mempunyai kantor kantor di jantung politik dunia. Di New York, Washington DC, London, Brazil dan Malaysia.

Cambridge Analytica dituduh telah membuat sistem untuk memanipulasi data dan informasi untuk mempengaruhi atau mengendalikan pemilu di seluruh dunia. Ramainya diskusi tentang Cambridge Analytica meningkat ketika perusahaan ini dianggap mencuri dan memanfaatkan data lebih dari 50 juta profil pengguna Facebook di Amerika dan menyasar pemilih Amerika untuk kemudian dimanfaatkan menjadi pemasaran politik yang berbasis profil psikhologi dari masyarakat. Dan, Trump adalah pengguna jasa Cambridge Analytica, yang pada akhirnya menang.

Zuckerberg telah meminta maaf soal kebocoran itu. Tetapi bagaimana dengan pemanfaatan dan rekayasa atas informasi yang bocor tersebut. Adalah Christopher Wylie, salah satu yang membantu pendirian Cambridge Analytica dan bekerja sampai dengan 2014, yang dianggap membocorkan informasi soal Cambridge Analytica ke Gurdian.

Christopher Wylie salah satu yang membocorkan kerja Cambridge Analytica kepada Guardian(Foto : New York Times)
Christopher Wylie salah satu yang membocorkan kerja Cambridge Analytica kepada Guardian(Foto : New York Times)
Beberapa media menulis tentang beberapa negara yang dianggap pernah memanfaatkan jasa Cambridge Analytica, antara lain Kenya ketika pilpres tahun 2013 dan 2014 untuk mendukung kemenangan Presiden Uhuur Kanyatta, pemilu di Brazil tahun 2018, Meksiko pada tahun 2018, dan di India untuk partai politik yang berkuasa, di Malaysia mendukung pemilu mantan Perdana Menteri Najib Razak.   Hillary Clinton mengatakan bahwa pemilu di berbagai Negara, termasuk Kenya, adalah 'proyek' dari perusahaan Amerika ini.

Beberapa orang yang ada di lembaga ini juga diduga membantu partai besar di Indonesia pada tahun 1999 untuk merobohkan kekuasaan Suharto, melalui SCL atau Strategic Communication Laboratories. 

SCL yang berdiri pada 1990 di Inggris adalah perusahaan induk Cambridge Analytica. SLC sendiri mengklaim telah mempengaruhi lebih dari 100 kampanye di 32 negara yang mencakup 5 benua. Jaringan SCL pun luas, disinyalir berkaitan denan perusahaan yang akan merugi dengan adanya kebijakan perubahan iklim. 

Jejaring Cambridge Analytica dan SCL (Foto : littlesis.org)
Jejaring Cambridge Analytica dan SCL (Foto : littlesis.org)
SCL atau Wawancara New York Times dengan lebih dari 6 mantan pegawai dan kontraktor dari Cambridge Analytica menunjukkan bahwa perusahaan bukan hanya memanfaatkan data Facebook saja. Masih ada data data lain yang juga dimanfaatkan.

The Observer mengatakan bahwa data dikumpulan melalu suatu aplikasi yang bernama thisisyourdigitallife, yang didesain oleh Aleksander Kogan, sebagai kerja sampingan selain di Universitas Cambridge.

Salah satu pemilik Cambridge Analytica, Robert Mercer adalah pendukung kunci Trump dan telah menginvestasikan 15 juta dollar Amerika untuk mengoperasikan Cambridge Analytica. Selanjutnya, data Federal Election Commision melaporkan bahwa Trump menyewa Cambridge Analytical senilai 6,2 juta dollar Amerika pada kampanye 2016.

Salah satu pimpinan eksekutif Cambridge Analytica, Alexander Nix berhentikan, setelah ia direkam secara diam diam oleh seorang reporter. Dalam rekaman itu, Nix mengumbar informasi tentang kampanye politik yang Cambridge Analytical lakukan melalui intimidasi dan perangkap perempuan.

Adanya gossip tentang data pribadi yang digunakan secara salah untuk merekayasa keperluan pihak yang pro-Brexit terkait referendum bagi Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa.

Adanya tuduhan tuduhan itu menyebabkan Cambridge Analytica mengumumkan kondisi bangkrut karena bisnis mereka menjadi anjlog. Sejak Mei 2018, Cambridge Analytica tidak beroperasi. Laporan dari Wall Street Journal mengatakan, perusahaan induk Camcridge Analytica, yaitu SCL Group yang berkantor di Inggris juga tutup.

Namun, terdapat paling tidak 18 perusahaan dan cabang dari Cambridge Analytica dan SCL, disinyalir bahwa misi perusahaan masih berjalan melalui pendiri, eksekutif dan konsultan yang kemudian bekerja di perusahaan dengan nama lain. Salah satu mantan eksekutif itu, Alexander Nix bekerja untuk Emerdata. Sementara yang lain juga tersebar ke Firecrest Technologies. 

Apa yang ditulis kompasianer Susy Haryawan ini mungkin perlu dibaca lagi. Soal kebocoran data KTP bukanlah main main. Makin dekat dengan Hari H, rasanya kita semua perlu berhati hati. Apakah Cambridge Analytica sudah mati, mati suri, atau pura pura mati?

Pustaka

straitstimes.com | fastcompany.com | qz.com | qz.com/cambridge-analytica

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun