Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Secangkir Sanger Gayo dan Max Havelaar

4 Januari 2019   10:51 Diperbarui: 4 Januari 2019   14:35 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel Max Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan Hindia Belanda karya Multatuli ini terbit tahun 1860. Ada andil besar Max Havelaar pada kehidupan bukan hanya petani kopi di Takengon, tetapi juga petani kecil di berbagai negara. 

Sang penulis, Multatuli yang artinya 'sudah lama menderita' adalah nama samaran Douwes Dekker, seorang asisten regen (bupati) Lebak, Jawa Barat. Selaku asisten regen (bupati), ia pernah menulis pengaduan tertulis tentang ketidakadilan budaya perdagangan di wilayah Lebak kepada sang bupati Belanda ini. 

Tentu saja, pengaduan itu ditolak. Douwes Dekker lalu mengundurkan diri dari posisinya dan ia kembali ke Eropa. Ia, akhirnya, menetap di Brussels. Di sinilah, Douwes Dekker menterjemahkan keluhan dan aduan lamanya dalam bentuk novel. Sebuah Max Havelaar.

Hanya sebulan Douwes Dekker menulisnya. Namun, proses dan perjuangan untuk menerbitkannya cukup tidak biasa. Douwes Dekker mengirim manuskrip ke seorang kawannya, seorang penulis yang juga ahli hukum, Jacob van Lennep. Di tangan Van Lennep, manuskrip Max Havelaar mengalami editing dan sensor besar, sebelum kemudian dibawanya ke penerbit.

Novel yang mengungkapkan kemarahan penulis pada budaya perdagangan yang eksploitatif dan busuknya kolonialisme Hindia Belanda ini menjadi narasi dunia. Multatuli menuliskan kejahatan budaya dagang Belanda yang menyedot keuntungan perdagangan kopi dan produk lainnya dari Hindia Belanda melalui suatu Novel. 

Novel ini bercerita tentang banyak hal. Seperti campur sari. Sebuah novel, sekaligus biografi, serta kisah cinta orang Jawa. Ada Batavus Droogstoppel, seorang pedagang kopi yang kikir. Ada kisah pegawai di kantor kabupaten Lebak, Jawa Barat. Yang ini biografi penulis. Juga ada kisah cinta Saijah dan Adinda yang haru sedih. Juga ada puisi puisi yang penulis selipkan. 

Tidak lazim. Tanpa struktur. Tapi mengalir dan melengkapi. Orang boleh memilih. Seperti tulisannya di Bab 15 "Pembaca, saya mencari jawaban bagaimana itu, dan itulah mengapa buku saya begitu membingungkan. Ini adalah kartu pola penjual... tentukan pilihan Anda". 

Dengan gaya tulisan yang satiris, Multatuli membeberkan budaya berdagang Belanda yang hanya mengeruk keuntungan. Multatuli menggugat pejabat kolonial yang korup dan memuji mereka yang berusaha mendobrak ketimpangan tersebut.

Saija dan Adinda adalah gambaran cinta dunia manusia Jawa yang mengharukan. Inipun mungkin sebagai gambaran betapa upaya upaya orang Jawa untuk hidup bahagia sejahtera tidaklah mudah dicapai. 

Adalah Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali memperkenalkan buku ini di Indonesia melalui sabatnya di Lekra. Pram menyebutnya sebagai buku yang melawan kolonialisme. Tentu saja, buku ini sempat tidak boleh beredar di jaman Order Baru.

Di Indonesia, kita mengenal Max Havelaar yang diterjemahkan oleh HB Yassin. Jauh sebelumnya, novel ini menghebohkan pemerintah Belanda. Buku ini merubah secara radikal kebijakan dagang Belanda di luar negeri. Atau, bisa dikatakan merombak kebijakan kolonisasi Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun