Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Secangkir Sanger Gayo dan Max Havelaar

4 Januari 2019   10:51 Diperbarui: 4 Januari 2019   14:35 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sanger dan Jajanan Pagi Takengon (Foto : Dokumentasi Pribadi)

Sanger Gayo dari Takengon

Pagi ini, saya menyeruput secangkir kopi. Bukan kopi Sanger Gayo Takengon favorit saya. Tapi cukuplah, Kopi Arabica Gayo Organic produksi Koperasi Kopi Perempuan Kokowagayo. Ini adalah oleh oleh dari sahabat saya, dik Dati Fatimah. Simpanan untuk obat kangen, yang harus selalu ada. 

Dataran Tinggi Gayo di Takengon selalu ngangeni. Saya sudah bolak balik ke Takengon sebanyak 5 kali. Untuk urusan pekerjaan. Atau untuk menghadiri perkawinan putra Ibu Rahmah, Ketua Koperasi Ketiara. Atau sekedar untuk urusan menikmati kopi Sanger ini.

Di luar Sanger, tentu ada Danau Laut Tawar yang indah. Udara sejuk. Ikan Depik Goreng. Ketan bakar.  Tapi, beberapa cangkir Sanger lagi di hari yang sama, pada akhirnya tetaplah ikhlas kuterima. 

Sempat bertanya apa arti Sanger.

"Asal cerita Sanger berasal dari kedai kopi Solong di Banda Aceh", begitu tuturan pemilik kedai kopi Kenary langganan saya di daerah Kabayakan, Takengon. "Karena mahasiswa di Banda (Aceh) sering "tongpes" alias kantong kempes dan tak mampu membeli kopi susu dalam gelas besar, maka 'Sanger' sajalah. Iya, Sanger itu Sama Sama ngerti", gelaknya. 

Pahamlah saya, mengapa Sanger dihidangkan dalam cangkir kecil. Dan oleh karenanya, harga jadi miring. Bagaimana tidak? Untuk secangkir kopi Arabica yang nikmat luar biasa, kita cukup bayar Rp 10.000. Dan, di manapun di belahan dunia ini, tak akan kita dapatkan Sanger seenak dan seindah yang ada di Takengon. 

Saat ini Takengon memang kesohor sebagai salah satu pemasok kopi Arabica Gayo terbaik di pasar international, khususnya Amerika dan Eropa. Karena tuntutan pasar, kopi Arabica Gayo yang diekspor ke kedua pasar tersebut adalah kopi Arabica Gayo bersertifikasi organik.

Kopi ini diekspor dalam bentuk biji kopi 'green been' yang dihasilkan dari pertanian organik. Sementara proses 'roasting' dilakukan di Negara tujuan. Tentu saja pelaku bisnis kopi di kedua benua tersebut sangat diuntungkan dengan melakukan 'roasting' dan menjualnya kepada konsumen. 

Di samping kopi Arabika Gayo dengan sertifikasi organik, cukup banyak kopi Arabica Gayo yang dieksport ke Eropa dan Amerika dengan menggunakan sertifikasi Fairtrade. Tak kurang dari 28 unit usaha eksportir kopi Gayo yang menempuh sertifikasi Fairtrade. 

Fairtrade memfasilitasi adanya perdagangan adil antara produsen atau petani, pedagang, bisnis dan konsumen. Perdagangan dengan keadilan di seluruh rantai nilai.

Bentuk badan usaha pengekspor kopi bersertifikasi Fairtrade adalah koperasi. Bentuk usaha koperasi yang menghormati prinsip sukarela, mandiri, demokrasi, dan tata kelola ini menjadi menarik. Terutama dengan situasi mati surinya koperasi di negeri ini. Padahal, Koperasi adalah soko guru ekonomi yang ditetapkan konstitusi. 

Anggota koperasi Fairtrade, yaitu petani kopi, mendapatkan keuntungan tambahan melalui pembagian 'fee premium' dari eksport kopinya. Petani bisa memanfaatkan dana premium untuk perbaikan jalan di sekitar rumah petani.

Bisa untuk membangun klinik kesehatan. Bisa juga untuk membangun PAUD. Atau bisa untuk pemeriksaan kanker serviks. Atau untuk pelatihan. Petani sebagai anggota koperasi yang menentukan penggunaan fee premium. Kesemuanya diputuskan dalam rapat komisi premium yang dilaporkan dalam rapat anggota.

Satu contoh saja. Koperasi Pedagang Kopi Ketiara di Takengon yang didirikan oleh beberapa pengepul dan pedagang kopi pada 2009, telah menyerahkan pemanfaatan dana premium kepada petani. Ketua koperasi Ketiara, Rahmah, yang sejak kecil melihat orang tuanya menjadi pengepul dan pedagang kopi, bangga pada Koperasi yang dipimpinnya.

"Ketika saya menikah, saya mendapatkan sebidang kopi seluas 1 hektar. Karena Kopi adalah satu satunya yang saya pahami, jadilah saya petani kopi. Tahun 1997 saya serius geluti kopi. Jadi pengepul kopi. Pedagang kopi. Agen lebih besar. Eskportir. Dan sekarang ketua Koperasi Ketiara. Sebagai Koperasi Kopi Fairtrade, petani senang. Mereka mendapatkan pembagian jasa premium. Mereka bisa gunakan dana untuk beli alat pertanian. Bisa juga untuk bangun jalan di perkampungan. Juga untuk bangun klinik kesehatan. Petani yang putuskan". 

Saat ini, anggota koperasi Ketiara adalah lebih dari 1.700 orang. Tiga puluh persen antaranya adalah perempuan. Di tahun 2017, Koperasi Ketiara yang terdiri dari lebih dari 1.800 unit kebun kopi ini, mengekspor lebih dari 2.600 metrik ton kopi. Ini prestasi. 

Menarik, ketika mencoba memahami proses sertifikasi kopi Organik dan Sertifikasi Fairtrade. Pernah saya tanyakan kepada Riska, salah satu staf baru yang cerdas di Koperasi Ketiara.

"Mudah. Ketika audit sertifikasi organik, kita fokus pada tanamannya, kebunnya. Memastikan tidak ada penggunaan pupuk dan pembasmi hama non organik. Semua harus organik. Ketika audit sertifikasi Fairtrade, kita fokus pada kesejahteraan petani".

Koperasi Ketiara hanyalah satu dari sekitar 28 Koperasi Fairtrade yang ada di Takengon da Bener Meriah, Aceh Tengah. 

Kopi Gayo dan Max Havelaar 

Kejayaan kopi Arabica Gayo yang diekspor ke daratan Amerika dan Eropa, dan sebagiannya melalui sertifikasi Fairtrade tidaklah terlepas dari semangat yang ada pada Novel Max Havellar.

Novel Max Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan Hindia Belanda karya Multatuli ini terbit tahun 1860. Ada andil besar Max Havelaar pada kehidupan bukan hanya petani kopi di Takengon, tetapi juga petani kecil di berbagai negara. 

Sang penulis, Multatuli yang artinya 'sudah lama menderita' adalah nama samaran Douwes Dekker, seorang asisten regen (bupati) Lebak, Jawa Barat. Selaku asisten regen (bupati), ia pernah menulis pengaduan tertulis tentang ketidakadilan budaya perdagangan di wilayah Lebak kepada sang bupati Belanda ini. 

Tentu saja, pengaduan itu ditolak. Douwes Dekker lalu mengundurkan diri dari posisinya dan ia kembali ke Eropa. Ia, akhirnya, menetap di Brussels. Di sinilah, Douwes Dekker menterjemahkan keluhan dan aduan lamanya dalam bentuk novel. Sebuah Max Havelaar.

Hanya sebulan Douwes Dekker menulisnya. Namun, proses dan perjuangan untuk menerbitkannya cukup tidak biasa. Douwes Dekker mengirim manuskrip ke seorang kawannya, seorang penulis yang juga ahli hukum, Jacob van Lennep. Di tangan Van Lennep, manuskrip Max Havelaar mengalami editing dan sensor besar, sebelum kemudian dibawanya ke penerbit.

Novel yang mengungkapkan kemarahan penulis pada budaya perdagangan yang eksploitatif dan busuknya kolonialisme Hindia Belanda ini menjadi narasi dunia. Multatuli menuliskan kejahatan budaya dagang Belanda yang menyedot keuntungan perdagangan kopi dan produk lainnya dari Hindia Belanda melalui suatu Novel. 

Novel ini bercerita tentang banyak hal. Seperti campur sari. Sebuah novel, sekaligus biografi, serta kisah cinta orang Jawa. Ada Batavus Droogstoppel, seorang pedagang kopi yang kikir. Ada kisah pegawai di kantor kabupaten Lebak, Jawa Barat. Yang ini biografi penulis. Juga ada kisah cinta Saijah dan Adinda yang haru sedih. Juga ada puisi puisi yang penulis selipkan. 

Tidak lazim. Tanpa struktur. Tapi mengalir dan melengkapi. Orang boleh memilih. Seperti tulisannya di Bab 15 "Pembaca, saya mencari jawaban bagaimana itu, dan itulah mengapa buku saya begitu membingungkan. Ini adalah kartu pola penjual... tentukan pilihan Anda". 

Dengan gaya tulisan yang satiris, Multatuli membeberkan budaya berdagang Belanda yang hanya mengeruk keuntungan. Multatuli menggugat pejabat kolonial yang korup dan memuji mereka yang berusaha mendobrak ketimpangan tersebut.

Saija dan Adinda adalah gambaran cinta dunia manusia Jawa yang mengharukan. Inipun mungkin sebagai gambaran betapa upaya upaya orang Jawa untuk hidup bahagia sejahtera tidaklah mudah dicapai. 

Adalah Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali memperkenalkan buku ini di Indonesia melalui sabatnya di Lekra. Pram menyebutnya sebagai buku yang melawan kolonialisme. Tentu saja, buku ini sempat tidak boleh beredar di jaman Order Baru.

Di Indonesia, kita mengenal Max Havelaar yang diterjemahkan oleh HB Yassin. Jauh sebelumnya, novel ini menghebohkan pemerintah Belanda. Buku ini merubah secara radikal kebijakan dagang Belanda di luar negeri. Atau, bisa dikatakan merombak kebijakan kolonisasi Belanda.

Di Belanda, Max Havelaar bukan hanya menjadi bacaan wajib di sekolah. Sebuah Museum Multatuli juga didirikan untuk menghormati nilai nilai Max Havellar. Lalu, seberapa, kita orang Indonesia mengenal Max Havelaar dan spirit yang diperjuangkan Multatuli?

Max Havelaar (Foto : Dokumentasi Pribadi)
Max Havelaar (Foto : Dokumentasi Pribadi)
Max Havelaar dan Perdagangan Adil

Dalam perkembangannya. Max Havellar sendiri menjadi latar sejarah hadirnya gerakan perdagangan adil di sekitar tahun 1980an, yang kemudian disebut sebagai Fairtrade di Belanda.

Gerakan ini kemudian menyebar ke Swiss dan negara negara di Eropa dan Amerika. Sebagai gerakan, terdapat 10 prinsip yang dihormati dan dipraktekkan.

Pertama, memberi kesempatan ekonomi kepada kelompok produsen yang selama ini tidak diuntungkan. Kedua, transparansi dan akuntabilitas. Ketiga, praktek dagang adil. Keempat, pembayaran harga adil. Kelima, memastikan tak ada pekerja anak. Keenam, Komitmen pada tak adanya diskriminasi dan penghargaan pada kesetaraan gender dan kebebasan berasosiasi. Ketujuh, kepastian pada kondisi kerja yang baik. Kedelapan, Peningkatan kapasitas. Kesembilan, promosi perdagangan adil. Kesepuluh, penghormatan pada lingkungan.

Lahirnya gerakan perdagangan adil atau Fairtrade oleh pengikut Max Havelaar kemudian disusul dengan dorongan membuat label dan sertifikasi produk perdagangan yang menjalankan prinsip Fairtrade. Saat ini, bukan hanya produk pertanian seperti kopi dan teh saja, tetapi juga kerajinan tangan. Bahkan paket wisata dengan label Fairtrade juga ada. Rasanya ini potensi bagi negeri ini. 

Memang, sebagai gerakan, sertifikasi dan praktek perdagangan, Fairtrade juga bukan tidak menuai kritik. Pada beberapa kondisi, tingkat kemahalan dari proses sertifikasi dan audit tahunan Fairtrade menyebabkan hanya sebagian kecil petani dapat menikmati keadilan perdagangan di dunia perdagangan yang kompetitif dengan konteks sistem Free Trade. Petani lain yang tidak berhasil mendapatkan sertifikasi Fairtrade tetap menjadi petani kecil yang miskin.

Max Havelaar lebih dari Fairtrade. Max Havelara lebih dari kemarahan pada kolonialisme. Max Havelaar mempengaruhi secara radikal pemikiran tentang relasi dan budaya perdagangan dunia dan kekuasaannya. Selain itu, tentu saja Max Havelaar adalah bagian penting dari sejarah kemerdekaan Indonesia dan sejarah kebijakan Belanda. 

Spirit perjuangan Max Havelaar seharusnya masih relevan untuk masa kini. Tentang proses partisipasi dalam relasi kuasa perdagangan. Tentang bentuk perekonomian dan perdagangan alternatif yang memastikan semua pemain mendapat keuntungan yang adil. Tentang tata perdagangan yang adil, beretika, dan bertanggungjawab. 

Kopi saya sudah dingin. Dan, rasanya saya harus mencari upaya untuk bisa kembali ke Takengon. Untuk mendapatkan kembali secangkir Sanger Gayo Takengon. Tapi secangkir tidaklah cukup untuk teman membaca ulang Max Havelaar. 

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun