UU Cipta Kerja dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Pembentukan UU Cipta Kerja dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum selama tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan dibacakan. Dengan demikian, maka DPR dan Pemerintah berkewajiban untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam waktu 2 tahun atau UU Cipta Kerja akan batal demi hukum. Meskipun demikian, UU Cipta Kerja akan tetap berlaku selama jangka waktu 2 tahun tersebut, sehingga tidak ada perubahan yang terjadi terhadap ketentuan-ketentuan yang ada.Â
Pengujian Formil UU Cipta Kerja ini diajukan oleh 6 Pemohon yang memberikan kuasanya pada Tim Hukum Gerakan Masyarakat Pejuang Hak Konstitusi. Terdapat 4 Pemohon yang dinyatakan oleh Mahkamah memiliki legal standing, yaitu:Â
-
Pemohon III, Dosen Hukum Administrasi dan Tata Negara yang dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum oleh sebab proses pembentukan UU Ciptaker yang melanggar peraturan perundang-undangan;
Pemohon IV, Badan Hukum Pengadvokasian Buruh yang dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dilibatkan dalam pembahasan UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia;
Pemohon V dan VI, Badan Hukum yang merupakan kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang juga merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dilibatkan dalam perubahan ketentuan mengenai sanksi pidana atas penggunaan hak ulayat dalam UU Cipta Kerja.
Pada pokoknya, para Pemohon mengajukan pengujian formil terhadap UU Cipta Kerja karena dianggap bertentangan dengan Pasal 20 ayat (4) dan Pasal 22A UUD 1945, dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Metode omnibus law yang dijadikan metode pembentukan UU Cipta Kerja menyebabkan ketidakjelasan jenis undang-undang yang dibentuk, apakah sebagai undang-undang baru atau undang-undang perubahan ataukah undang-undang pencabutan (bertentangan dengan UU P3).
Metode omnibus law tidak dikenal dalam UU P3, sehingga metode omnibus law telah menimbulkan ketidakjelasan cara atau metode yang tidak pasti dan tidak baku (bertentangan dengan UU P3).
Terdapat perubahan materi muatan UU Cipta Kerja pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden yang bersifat substansial.
Pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 22A UUD 1945 serta asa pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
Mengenai dalil-dalil tersebut, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut:
Dalil Pertama
UU Cipta Kerja tidak sejalan dengan rumusan baku atau standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada.
Penamaan "Cipta Kerja" membuat seolah-olah UU Cipta Kerja adalah undang-undang baru, namun substansi terbesar dalam UU Cipta Kerja adalah perubahan terhadap sejumlah undang-undang.
Penjelasan umum UU Cipta Kerja yang mendalilkan bahwa perubahan undang-undang yang ada dalam UU Cipta Kerja tidak dapat dilakukan melalui cara konvensional tidak dapat dibenarkan karena tetap melanggar ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalil Kedua
Metode omnibus law tidak dapat digunakan selama belum diadopsi di dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Metode omnibus law dalam UU Cipta Kerja menjadi sulit dipahami apakah UU Cipta Kerja merupakan UU baru, UU perubahan, atau UU pencabutan.
Dalil Ketiga
Terdapat berbagai penghilangan dan perubahan pasal dan kata dalam RUU Cipta Kerja yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden dengan UU Cipta Kerja yang diundangkan.
Dalil Keempat
Tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak memenuhi asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan.
Pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal.
Naskah akademik dan rancangan UU cipta kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat
Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil. Namun, Mahkamah harus menyeimbangkan antara syarat pembentukan sebuah undang-undang yang harus dipenuhi sebagai syarat formil guna mendapatkan undang-undang yang memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, sehingga menurut Mahkamah UU Cipta Kerja harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat.
Pada intinya, Mahkamah mengeluarkan putusan sebagai berikut:
Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu (2) tahun sejak putusan ini diucapkan";
Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen;
Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali;
Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja.
Terkait putusan tersebut, tidak terdapat akibat hukum yang merubah ketentuan-ketentuan ataupun keberlakuan UU Cipta Kerja pada saat ini. Dimana, ketentuan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukannya perbaikan atau sampai dua tahun sejak putusan diucapkan jika tidak dilakukan perbaikan. Namun, kendati UU Cipta Kerja masih tetap berlaku, pemerintah dilarang untuk melakukan tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.Â
Setelah putusan ini, maka langkah yang tepat untuk dilakukan oleh DPR dengan Pemerintah adalah pertama, Melakukan perubahan terhadap UU 12/2011 untuk mengakomodasi teknik Omnibus Law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; dan kedua, membentuk lagi UU Cipta Kerja dari awal dengan memperhatikan syarat-syarat formil pembentukan undang-undang dan secara paralel juga memperbaiki materi muatan yang banyak diprotes oleh publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H