Kewenangan Pendelegasian Wewenang Kepada Perguruan Tinggi
Untuk melaksanakan peraturan tersebut di tingkat perguruan tinggi, perlu dibuat pengaturan lebih lanjut di internal perguruan tinggi. Oleh sebab itu, dibutuhkan pelimpahan kewenangan, yakni pelimpahan dari Permen yang bersangkutan yang kemudian dikonversikan menjadi peraturan di dalam perguruan tinggi masing-masing.
Pelimpahan kewenangan ini pada umumnya diberikan kepada pemrakarsa untuk membuat pengaturan hukum lebih lanjut agar ketentuan yang diatur dalam undang-undang bersangkutan dapat dilaksanakan sesuai yang telah dicita-citakan sejak peraturan yang telah dibuat disahkan.Â
Menurut Hadjon, salah satu syarat delegasi adalah harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang mana dimaksudkan bahwa delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.Â
Kewenangan delegasi yang dinyatakan dengan tegas dalam Permen antara lain pengaturan mengenai tata pemberian persetujuan, pengenaan sanksi administratif, hasil pembentukan dan rekrutmen keanggotaan panitia seleksi, keanggotaan satuan tugas, rekomendasi untuk korban apabila terbukti terdapat tindak kekerasan seksual, dan pemulihan nama baik terlapor terhadap dugaan kasus kekerasan seksual.
Â
Diskresi dan Kewenangan Rektor
Dalam bagian yang telah disebutkan di atas, Permen menetapkan bahwa permasalahan tersebut akan dilakukan berdasarkan "Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi". Hal ini berkaitan dengan sejumlah kewajiban yang diberikan oleh Permen tersebut.
Bagian III Pasal 10 dalam Permen a quo ini menyatakan bahwa Perguruan Tinggi wajib melakukan penanganan kekerasan seksual melalui pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administrasi, dan pemulihan korban. Wewenang ini atas diskresi rektor pada korban untuk memberikan jaminan serta fasilitas perlindungan pada korban baik keberlanjutan mahasiswa atau tenaga kependidikan atas segala ancaman.
Dalam hal pemulihan akan dilakukan pendampingan atas persetujuan korban maupun wali/orang tua korban lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (2) yaitu berupa konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi; dan/atau bimbingan sosial dan rohani. Dalam tahap ini perlu diperhatikan juga apabila korban merupakan penyandang disabilitas maka akan diberikan fasilitas tertentu selama masa pendampingan. Serta untuk korban belum dewasa maka dapat mengikutsertakan lembaga yang membidangi perlindungan anak.
Selanjutnya terkait perlindungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 yang memuat jaminan bagi mahasiswa untuk menyelesaikan pendidikan, jaminan pekerjaan bagi tenaga kependidikan, perlindungan dari ancaman fisik atau non fisik.Â