Pak Agus dan Pak Arief manggut-manggut. Mereka sepakat, itu adalah alternatif terbaik di antara pilihan-pilihan yang semuanya buruk.
Setelah dua orang bawahannya itu me-ninggalkan ruangan, lelaki itu kembali menghadapi layar laptop-nya dan meneruskan pekerjaannya.
KEKASIHKU, perempuanku,
Tentu sekarang kau masih mengenalku sebaik kau mengenalku dulu: lelaki yang keras kepala dengan sekeranjang ambisi; keranjang itu ia beri nama "idealisme". Ketika kita pacaran di semasa kuliah 35 tahun yang lalu, aku selalu bangga dan bahagia mendengarmu menyebutku begitu. Bukan sebutan, yang selalu kauulang dengan nada setengah mengejek, itu yang sesungguhnya terasa mem-bahagiakan. Tapi kenyataan di baliknya: kau mengenalku lebih dari aku mengenal diriku sendiri. Dan sekarang, setelah 35 tahun, bagaimanakah kau membayangkan diriku?
Keranjang idealisme itu perempuanku, masih kupikul meski warnanya tak seterang dulu. Maklumlah, waktu 35 tahun lebih dari cukup untuk mengubah apa pun. Apalagi buah-buahan di dalam keranjang itu. Ada yang habis kumakan setelah ranum. Ada yang tak sempat kumakan sehingga membusuk dan digerogoti ulat-ulat. Ada juga yang dari dulu tak kunjung masak. Tapi ada juga yang setelah masak dan kumakan tak habis-habis sehingga menjadi menu harian yang akhirnya membosankan.
Yang terakhir itu, kau tahu, ialah pekerjaanku sekarang. Tuhan menciptakan dunia dengan Takdir-Nya. Dan wartawan membangun kembali dunia itu dengan pena. Bila Tuhan yang mengatur segala kejadian, wartawanlah yang berwenang menentukan mana peristiwa yang sebaiknya direnungkan dan mana yang harus dilupakan. Wartawan, kukira semula, dapat menjadi nabi: pembantu Tuhan di bumi yang bertugas menjabarkan kehendak-Nya kepada umat manusia setelah rasul tak ada lagi. Betapa mulia tugas itu, namun betapa naif perkiraanku.
Bergelut dengan satu pekerjaan selama 30 tahun membuatku berpikir kembali, benarkah jurnalistik berguna bagai nubuwat. Ada sekelumit sinisme di situ, yang timbul dari jarak: kebosanan, mungkin ke-lelahan. Ya kekasihku, apa sebenarnya guna "membangun kembali dunia denga pena"? Untuk mencerdaskan bangsa? Aku sudah lama tidak percaya dengan omong kosong besar itu. Hari-hari wartawan semakin mengukuhkan diri sebagai pe-dagang, bukan pendidik. Ia menjual setiap kata yang disusun berdasarkan fakta, setiap kata yang telah dimiskinkan dari makna, setiap kata yang nyaris hampa belaka, setiap kata yang akhirnya juga tidak bisa dipercaya. Kata-kata wartawan adalah slogan dan bukan puisi--sebab siapakah yang masih sudi membeli puisi? Hi-dup di tengah-tengah kubangan kata-kata yang seperti itu, aku sering kehilangan puisi, suara-suara Hidup yang murni. Alangkah sepi ke-kasihku, alangkah kosong hidup ini tanpa puisi.
TUUUTT... tutt... tuuutt....
Telepon itu mengganggu lagi.
"Hallo?"
"Telepon dari ibu, Pak. Beliau ingin bicara."
"Ya, sambungkan."