Mohon tunggu...
Levina Litaay
Levina Litaay Mohon Tunggu... Insinyur - Simple, smart, sportive

Community base development, complex problem solving, event organizer

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mutiara Kehidupan Keluarga #2 - Mental Petarung

21 Oktober 2024   16:19 Diperbarui: 21 Oktober 2024   16:42 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mutiara Kehidupan Keluarga #2 – Mental Petarung 

Dalam kehidupan, seseorang terlahir dalam sebuah keluarga yang tidak mungkin dipilihnya ; siapa ayah atau ibunya. Bagi penulis, orang tua akan dikaruniai “gift’ (hadiah) dari Tuhan dimana si anak akan dipelihara, dijaga, diasuh sesuai destinasi yang dirancangkan oleh Sang Khalik.

Ada satu ayat terkenal dalam Alkitab Yesaya 29 : 11 Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.

Disamping menumbuhkembangkan seorang anak, maka orangtua akan menanamkan nilai-nilai kehidupan dengan berbagai cara, agar anak kelak memiliki ketangguhan hidup serta kecakapan dalam menyikapi berbagai persoalan hidup.

Upaya menanam nilai telah penulis alami dalam kehidupan yang dilewatkan semasa kecil hingga SMA di Ambon bersama orang tua dengan latar belakang pendidik dan juga olahragawan. Ajaran nilai tersebut terkadang dilagukan dalam bentuk peribahasa yang sesungguhnya sangat tertanam kuat ( diingat) hingga saat ini. Nilai-nilai yang terpatri dapat digunakan sebagai jurus pamungkas dalam menghadapi kerasnya kehidupan di bumi ini.

Kali ini penulis akan mengangkat tulisan kedua tentang  mutiara kehidupan keluarga dari ufuk timur dengan judul  mental petarung. Sebuah pembelajaran nilai kehidupan dan berharap bermanfaat bagi pembaca se antero Nusantara.

“Seng tahu dansa , jang bilang flur turung nae”, adalah sebuah perumpaan atau peribahasa yang selalu terucap dari ayah kami ketika masih di Ambon. Arti peribahasa ini adalah “jangan memindahkan kesalahan pada orang lain”. Karena memakai dialek Ambon maka jika di sepadankan dalam bahasa Indonesia maka artinya menjadi  “tidak menguasai dansa tetapi menyalahkan lantai dengan mengatakan lantai (rumah/bangunan)  tidak rata”.

Ayah saya lahir di Kampung Mesa Pulau Vulkanik Teon Kabupaten Maluku Tengah di Provinsi Maluku. Sejak usia 9 tahun, ayah keluar merantau ke Kota Ambon, Ia membangun kehidupannya hingga melahirkan kami saudara bersaudara 9 orang dimana 8 dari kami adalah perempuan dan 1 saudara laki.

Ayah saya lahir di Kampung Mesa Pulau Vulkanik Teon Kabupaten Maluku Tengah di Provinsi Maluku. Sejak usia 9 tahun, ayah keluar merantau ke Kota Ambon, Ia membangun kehidupannya hingga melahirkan kami saudara bersaudara 9 orang dimana 8 orang dari kami adalah perempuan dan 1 saudara laki.

Adapun 2 dari saudara perempuan kami meninggal dalam usia yang masih balita, Kami kemudian tinggal bertujuh dan masih di tambah  “2 foster brother and sister”. Jadi tetap kami bersembilan saudara.

Dapat dibayangkan beta riuhnya rumah dalam usia - usia pertumbuhan karena kami berjarak dekat antar satu saudara dengan yang lainnya. Tapi lebih hebohnya jika natal tiba dimana orangtua kami harus membeli baju baru atau istilah orang Ambon, beli baju natal. 

Nah, karena kami berenam perempuan terkadang pakaian itu menjadi baju turunan, artinya baju sang kakak ketika sudah sesak ukurannya akan diwariskan ke adik dibawahnya demikian seterusnya hingga yang bungsu.

Ayah kami seorang sarjana muda pendidikan jasmani jebolan IKIP Surabaya dan sisa hidup diabadikan bagi pendidikan guru olahraga di Maluku. Pada masa mudanya menjadi seorang atlit. Selanjutnya menjadi pelatih/coach dari sejumlah cabang olahraga ( cabor) di Maluku. Akhirnya papie, biasanya kami panggil menjadi salah satu tokoh olahraga di Maluku dan selalu membawa kontingen Provinsi Maluku ke ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) di berbagai kota di Indonesia.

Tak jarang kami sudah diarahkan sejak anak-anak untuk menjadi atlit dan kelak menjadi seorang olahragawan berprestasi. Disamping ada klub yang dibangun di rumah seperti Sasana Tinju Amaci (Air Mata Cina), juga ada Pelatihan Anggar dll.

Masih teringat beberapa nama yang sangat terekam dan hari ini ada di panggung politik dan Pemerintahan di Provinsi Maluku seperti alm. Evert Kermite (Mantan Anggota DPRD Maluku dari PDIP ) juga Abraham Malioi ( Mantan Anggota DPRD Maluku dari Golkar) , Lutfi Mual, Daan Talanila mereka adalah petinju yang sempat dilatih papie di Sasana Tinju Amaci di Kompleks SPG Ambon tempat kami tinggal.

Dari kakak tertua hingga bungsu, sejak kecil kami sudah diarahkan untuk menekuni salah satu bidang olahraga prestasi. Sebagai seorang pelatih beliau tahu persis bagaimana karakter dan fisik tiap anak. Kakak tertua kami diarahkan ke atletik, satu-satunya saudara lelaki kami diarahkan berlatih anggar, dan saudara-saudara lainnya juga diarahkan untuk menekuni berbagai cabang olahraga, ada yang memilih tenis meja, berenang, sepeda balap dan basket.

Bagi penulis sendiri maka sejumlah cabang olahraga dicoba untuk ditemukan bakatnya oleh papie. Mulai dengan cabang atletik, hal ini pada masa remaja penulis berperawakan kurus, pikir papie cocok untuk pelari (sprinter). Namun tidak berapa lama, kelihatan penulis tidak memiliki minat dan daya tahan berlatih lari dalam panas di lapangan, cukup menantang!.

Merasa tidak cocok, selanjutnya papie memanggil pelatih pencak silat ke rumah untuk melatih secara privat. Masih ingat betul saat itu, Ros Likumahua adalah jebolan kejurnas silat yang merupakan  salah salah satu murid Sekolah Guru Olahraga (SGO) binaannya. Pikir papie, silat sedikit soft dan ada estetika gerakannya, paling tidak saya bisa menyukai bahkan menekuni.

Ternyata bukan hal yang mudah karena silat termasuk kategori olahraga bela diri maka latihan terberat adalah latihan “kuda- kuda” ( kekuatan kaki). Dalam beladiri kita harus kokoh berdiri ketika bertanding dengan pijakan kaki yang kuat di lantai sehingga tidak dapat dirobohkan lawan.

Akh! kelihatannya latihan privat, kurang seru! menjelang SMA, kembali penulis berpindah minat ke olahraga basket kebetulan ada ekstra kurikuler di SMA Negeri 1 Ambon. Lebih ramai ada temannya , karena bermain dalam tim.

Saat itu penulis nekat melakukan latihan pada pagi hari jika bersekolah siang. Dan latihannya dilakukan di Lapangan Segitiga Merdeka  ataupun sesekali di Lapangan Sekolah Tinggi Theologia  (STT) Ambon di Tanah Lapang Kecil ( Talake).

Anggota Drumband Siwalima Maluku tahun 1984 (dokumentasi pribadi)
Anggota Drumband Siwalima Maluku tahun 1984 (dokumentasi pribadi)

Di tahun 1984 ada perhelatan akbar Sidang Raya DGI ( Dewan gereja Indonesia ) di Ambon yang akan dihadiri Presiden Soeharto. Lagi-lagi penulis terpilih sebagai Tim Drumband Siwalima Maluku yang akan beraksi dalam acara Pembukaan Sidang Raya DGI di Stasiun Mandala Karang Panjang Ambon. Pada acara ini maka nama DGI berubah menjadi PGI ( Persekutuan Gereja – gereja di  Indonesia).

Melewati serangkaian latihan yang padat bukan saja dari Depdikbud tetapi juga dari Korsik ( Korps Musik ) Kodam Pattimura. Dan yang luar biasa kenangan yang tersisa ketika alat Parade Drum yang dipegang penulis juga melatih kekuatan kaki dalam berbaris sambil memanggul alat musik  tersebut. Terkadang pulang latihan nampak paha yang membiru akibat berjalan/berbaris dan menahan berat alat musik parade drum.

Akhirnya menjelang PON XI di Jakarta tanggal 9-20 September 1985, papie harus menyiapkan atlit Anggar wanita. Obsesinya menyertakan salah satu anak pada cabang olahraga prestasi. Mulai anak pertama hingga ketiga tidak berhasil dicetaknya menjadi atlit  Harapan papie  mungkin anak yang keempat  yakni penulis.

Kembali penulis dilatih secara privat di rumah bersama Jimmy Supusepa. Wow ! ternyata, cabang olahraga (cabor ) Anggar adalah salah satu cabor bela diri juga , yang lagi-lagi harus mengandalkan ketahanan kuda-kuda pada kedua kaki.  

Latihan dasar cabor Anggar cukup berat. Setiap latihan dimulai dengan pemanasan gerak badan dilanjutkan mengangkat barbel yang diletakkan di bahu, kemudian menaiki undakan secara naik turun. Ini salah satu cara melatih kekuatan tungkai kaki. Alat bantu olahraga barbel digunakan untuk melatih dan memaksimalkan kekuatan seluruh tubuh.

Sambil mengintip dari jendela, ibu saya “berteriak he! jangan paksaan itu anak”. Terikan itu ditujukan ke papie yang sementara melatih. Kenapa demikian dengan perawakan yang hanya seberat 42 kg dan tinggi 160 m, saya terlihat cukup berat memanggul barbel pada bahu dengan naik turun undakan guna latihan kuda-kuda.

Singkat cerita kedua orangtua penulis saling membahas : ‘coba tanyakan ke anaknya mau jadi atlit atau melanjutkan sekolah? Pinta ibu saya ke papie . Memang saat itu sudah masuk dalam bulan menuju ujian akhir untuk menamatkan SMA. Disinilah penulis harus memilih!.

Sebagai seorang anak yang melihat antusias papie melatih dengan obsesinya ingin mencetak atlit pada salah satu anak, berat rasanya harus membuat pilihan di hadapan kedua orang tua.

Akhirnya saya harus memilih dan dengan nada datar saya mengatakan : “saya pilih lanjut studi”. Seketika tampak dalam raut muka papie terlihat melas dan disitulah saya belajar melihat kebesaran hatinya sebagai seorang pelatih/coach ketika seorang anak harus memilih.

Saya membathin jika ini pilihan saya maka saya harus berprestasi untuk tidak mengecewakan mereka di dunia pendidikan. Saya meninggalkan arena latihan Anggar dan Jimmy yang merupakan calon atlit putera lanjut dilatih papie untuk dipersiapkan mengikuti PON dan kemudian bergabung dengan Kontingen Maluku.

Apa moral dari cerita kehidupan ini? yang penulis ingat dan menjadi nilai yang tinggi yaitu mental petarung pantang menyerah dan itu diajarkan sejak dari rumah. Orang tua berjuang untuk bukan cuma mengajar, membangun tetapi juga menanamkan nilai sportivitas pada diri tiap anak. Dan kebetulan ayah saya seorang coach maka sportivitas itu diajarkan melalui olahraga. Apapun juga pilihanmu kamu harus cakap melakukannya, kecakapan itu membuat kamu tangguh dan unggul, tidak menyalahkan sekitar ketika kita tidak bisa atau tidak berhasil.

Jatuh bangun upaya papie untuk melatih dalam visi dan harapannya untuk mencetak seorang atlit, kandas karena pilihan yang seluas-luasnya diberikan bagi sang anak. Dititik durasi hidup penulis yang harus memilih, maka pilihan sudah di jatuhkan bukan oleh sang ayah tetapi penulis.

Bagaimana dengan pembaca sekalian dalam hidup yang bergelimang kondisi harus memilih, butuh kecakapan dalam memilih. Tetapi dalam memilihpun butuh sportivitas. Akibat pilihan itu mungkin saja melukai atau memupuskan harapan orang lain.

Dan jika pilihan telah dijatuhkan, ingatlah pesan sederhana dari timur “ seng tahu dansa jang bilang flur turung nae”. Jangan salahkan ketika kita tidak bisa/berhasil akibat pilihan itu dengan lapang dada, harus menerima.

Dengan memiliki mental petarung, butuh sportivitas terhadap pilihan yang telah dipilih. Tidak perlu menyalahkan kondisi sekeliling, perlu fokus dan berjuang meraih kemenangan atau kesuksesan sekalipun kondisi sekitar mengalami keterbatasan. Salam Terobosan.

(LL) Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun